(Lutfi A.S)
Bangsa kita, masyarakat kita, sangat membutuhkan para guru-guru yang mampu mengangkat citra dan marwah pendidikan kita yang terkesan sudah carum marut, dan seperti benang kusut. Sehingga bagaimana harus dimulai, kapan dan siapa yang memulainya, dan dari mana harus dimulai.
Kalaulah kita masing-masing menyadari, dan kalaulah kita masih memiliki rasa keperdulian, dan kalaulah kita mau berbagi rasa, dan kalaulah mau kita berteposeliro, maka pendidikan kita seperti disebutkan di atas, akan dapat dianulir. Oleh sebab itu semua kita memiliki satu persepsi, satu langkah dan satu tujuan bagaimana kita berusaha mengangkat "batang terendam" tersebut, menjadi pendidikan bermutu, dan tentunya diharapkan mampu untuk mengangkat peringkat dan citra pendidikan termasuk terendah di Asia.
Satu hal yang akan menjadi titik perhatian kita adalah "bagaimana merancang guru masa depan". Guru masa depan adalah guru yang memiliki kemampuan, dan ketrampilan bagaimana dapat menciptakan hasil pembelajaran secara optimal, selanjutnya memiliki kepekaan di dalam membaca tanda-tanda zaman, serta memiliki wawasan intelektual dan berpikiran maju, tidak pernah merasa puas dengan ilmu yang ada padanya.
Bagaimana sebenarnya guru masa depan seperti yang diidamkan oleh banyak pihak, diantaranya adalah:
1. Planner, artinya guru memiliki program kerja pribadi yang jelas, program kerja tersebut tidak hanya berupa program rutin, misalnya menyiapkan seperangkat dokumen pembelajaran seperti Program Semester, Satuan Pelajaran, LKS, dan sebagainya. Akan tetapi guru harus merencanakan bagaimana setiap pembelajaran yang dilakukan berhasil maksimal, dan tentunya apa dan bagaimana rencana yang dilakukan, dan sudah terprogram secara baik;
2. Inovator, artinya memiliki kemauan untuk melakukan pembaharuan dan pembaharuan dimaksud berkenaan dengan pola pembelajaran, termasuk di dalamnya metode mengajar, media pembelajaran, system dan alat evaluasi, serta nurturant effect lainnya. Secara individu maupun bersama-sama mampu untuk merubah pola lama, yang selama ini tidak memberikan hasil maksimal, dengan merubah kepada pola baru pembelajaran, maka akan berdampak kepada hasil yang lebih maksimal;
3. Motivator, artinya guru masa depan mampu memiliki motivasi untuk terus belajar dan belajar, dan tentunya juga akan memberikan motivasi kepada anak didik untuk belajar dan terus belajar sebagaimana dicontohkan oleh gurunya;
4. Capable personal, maksudnya guru diharapkan memiliki pengetahuan, kecakapan dan ketrampilan serta sikap yang lebih mantap dan memadai sehinga mampu mengola proses pembelajaran secara efektif;
5. Developer, artinya guru mau untuk terus mengembangkan diri, dan tentunya mau pula menularkan kemampuan dan keterampilan kepada anak didiknya dan untuk semua orang. Guru masa depan haus akan menimba ketrampilan, dan bersikap peka terhadap perkembangan IPTEKS, misalnya mampu dan terampil mendayagunakan computer, internet, dan berbagai model pembelajaran multi media.
Jadi, guru masa depan adalah guru bertindak sebagai fasilitator; pelindung; pembimbing dan punya figur yang baik (disiplin, loyal, bertanggung jawab, kreatif, melayani sesuai dengan visi, misi yang diinginkan sekolah); termotivasi menyediakan pengalaman belajar bermakna untuk mengalami perubahan belajar berdasarkan keterampilan yang dimiliki siswa dengan berfokus menjadikan kelas yang konduktif secara intelektual fisik dan sosial untuk belajar; menguasai materi, kelas, dan teknologi; punya sikap berciri khas "The Habits for Highly Effective People" dan "Quantum Teaching" serta pendekatan humanis terhadap siswa; Guru menguasai komputer, bahasa, dan psikologi mengajar untuk diterapkan di kelas secara proporsional. Diberlakukan skema rewards dan penegakan disiplin yang humanis terhadap guru dan karyawan.
Guru masa depan juga memiliki kemampuan untuk mengembangkan kemampuan para siswanya melalui pemahaman, keaktifan, pembelajaran sesuai kemajuan zaman dengan mengembangkan keterampilan hidup agar siswa memiliki sikap kemandirian, perilaku adaptif, koperatif, kompetitif dalam menghadapi tantangan, tuntutan kehidupan sehari-hari. Secara efektif menunjukkan motivasi, percaya diri serta mampu mandiri dan dapat bekerja sama. Selain itu guru masa depan juga dapat menumbuhkembangkan sikap, disiplin, bertanggung jawab, memiliki etika moral, dan memiliki sikap kepedulian yang tinggi, dan memupuk kemampuan otodidak anak didik, memberikan reward ataupun apresiasi terhadap siswa agar mereka bangga akan sekolahnya dan terdidik juga untuk mau menghargai orang lain baik pendapat maupun prestasinya. Kerendahan hati juga perlu dipupuk agar tidak terlalu overmotivated sehingga menjadi congkak. Diberikan pelatihan berpikir kritis dan strategi belajar dengan manajemen waktu yang sesuai serta pelatihan cara mengendalikan emosi agar IQ, EQ dan ke dewasaan sosial siswa ber imbang.
Selain itu, guru masa depan juga harus memiliki keterampilan dasar pembelajaran, kualifikasi keilmuannya juga optimal, performance di dalam kelas maupun luar kelas tidak diragukan. Tentunya sebagai guru masa depan bangga dengan profesinya, dan akan tetap setia menjunjung tinggi kode etik profesinya.
Oleh sebab itu, untuk menjadi guru masa depan diperlukan kualifikasi khusus, dan barangkali tidak akan terlepas dari relung hati dan sanubarinya, bahwa mereka memilih profesi guru sebagai pilihan utama dan pertama. Weternik memberikan dengan istilah rouping atau "pangilan hati nurani" Rouping inilah yang merupakan dasar bagi seseorang guru untuk menyebutkan dirinya sebagai "GURU MASA DEPAN". Semoga.
Di samping melayani kebutuhan masyarakat, guru juga harus mengembangkan cara berfikir ilmiah, yaitu berfikir berdasarkan data, menyelesaikan massalah dengan alternatif-alternatif serta merumuskan kesimpulan secara kritis dan hari-hati. Berpikir seperti ini bermanfaat bagi setiap orang dalam aktivitasnya sehari-hari untuk kemajuan dirinya, keluarganya, dan massyarakat. Bila cara berfikir ini sejak kecil sudah ditanamkan di sekolah, nanti kalau ia sudah besarkan menjadi anggota masyarakat yang tidak lagi berfikir cara kuno berdasarkan fantasi, emosi, dan dengan mencoba-coba.
Ciri yang lain adalah guru sebagai sumber ilmu pengetahuan, guru harus lebih tahu dalam bidangnya. Hal ini menuntut setiap guru harus memahami sungguh-sungguh pengetahuan yang akan dipelajari oleh anak-anak dalam bidang ilmu yang ia bina dan bersifat terbaru. Hal ini mengharuskan si guru belajar seumur hidup.
Tugas guru yang terakhir adalah mengorganisasi proses belajar murid-murid, merencanakan bagaimana caranya agar murid-murid dapat belajjar dengan aktif, rajin, teliti dan tekun. Ia harus mengelola segala sesuatu untuk kepentingan itu, termasuk mengatur sarana, fasilitas, situasi belajar, dan aktivitas murid-murid itu sendiri. Guru adalah motor penggerak aktivitas murid belajar, terutama bila ada hambatan-hambatan, ketidaklancaran yang sumbernya padda mmurid itu sendiri. Guru adalah pembimbing dan konsultan bagi murid yang menghadapi kesulitan. Akhirnya guru juga bertugas memperbaiki kelemahandan kekurangan anak dalam mengembangkandan menumbuhkan dirinya.
Selanjutnya di bagian lain buku tersebut tertera:
…. the teacher goes beyond the task of giving instruction to become a guide to his
pupils, an affective mediator between the young child and the confusion of the
environment………………………………………………………………….He has to
assume a new role in the development of the children’s moral philosophy and world
view. He has to develop the capacity for creative, selfconfident response to an unknown
future, (APEID, 1976: 33).
Dalam tulisan ini dinyatakan bahwa guru merupakan petunjuk jalan bagi anak-anak atau sebagai penghubung antara anak-anak dengan lingkungan yang masih kabur bagi mereka. Anak-anak merassakan lingkungan hidupnya sebagai sesuatu yang masih kabur, karena mereka belum banyak berppengalaman dalam masyarakat. Lebih-lebih masyarakatzaman sekarang yang cepat berubah sebagai akibat pesatnyaperkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Keadaan seperti ini dappat membuat anak-anak menjadi bertambah bingung : dahulu waktu mereka masuh kecil masyarakatnya berbeda dengan sekarang setelah mereeka remaja, begitu pula kalau mereeka sudah tua masyarakat akan berubah pula. Untuk itulah guru perlu memberi petunjuk, suatu cara yang dapat di pakai untuk menghilangkan kebingungan itu.
Rasa senang yang dimiliki siswa terhadap sekolah, ekspektasi yang tinggi, perhatian dan sikap adil seorang guru, dan hubungan yang positip antar sesama teman, juga meruppakan faktor lain sebuah lembaga pendidikan menjadi efektif (Samdal et. al. 1998,19). Keseluruhan faktor di atas mmerupakan dimensi lembaga pendidikan yang dapat meningkatkan prestasi akademik siswa. Beberappa peneliti lain menemukan, tersedianya fassilitas belajar-mengajar, bangunan sekolah yang memedai merupakan ffaktor lain yang juga harus memppengaruhi prestasi belajar siswa.
1. Guru
Guru merupakan elemen terpenting dalam sebuah sistem pendidikan. Ia merupakan ujung tombak. Proses belajar siswa sangat dipengaruhi oleh bagaimana siswa memandang performance guru mereka (Halsall, 1973). Kepribadian guru seperti memberi perhatian, hangat dan suportif (memberi semangat), diyakini bisa memberi motivasi yang pada gilirannya meningkatkan prestasai siswa. Empati yang tepat seorang guru kepada siswanya membantu perkembangan prestasi akademik mereka secara signifikan (Halsall, 1973). Guru juga perlu membangun citra yang positipp tentang dirinya jika ingin agar siswanya memberi respon dan bisa diajak kerjasama dalam pproses belajar-mengajar (Troisi,1983). Lebih jauh, rasa hormat dan kasih saying yang ditunjukkan seorang guru meruppakan syarat utama kesuksesan siswa. Sebagaimana halnya orang dewasa, pemenuhan aspek psikologis siswa akan membuat mereka berusaha menunjukkan kemampuan terbaik yang bisa mereka lakukan dan ,secara otomatis, akan meningkatkan prestasi mereka.
Jackson et al. (1999) menemukan bahwa seorang guru yang humanis –bertindak sebagai seorang manusia biasa disamping sebagai seorang guru, menaruh rasa hormat dan penghargaan kepada siswa merupakan yang menentukan persepsi siswa tentang kemampuan guru menciptakan atmosfir yang kondusif untuk belajar. Dalam suasana demikian, siswa merasa leluasa bertanya dan memberikan komentar, mendekati guru untuk melakukan pembicaraan face to face, dan secara keseluruhan akan membuat ruang kelas menjadi penuh semangat dan antusias. Dengan mengembangkan kemampuan berkomunikasi antar individu dan kepekaan terhadap kebutuhan emosional siswa, guru berarti memasuki zone belajar (realm of learning) yang sesungguhnya (Rogers and Renard, 1999). Jika proses pembelajaran di sekolah memenuhi kebutuhan-kebutuhan emosional siswa, maka kemungkinan besar proses belajar akan berjalan dengan lancar dan berhasil.
Perilaku guru tidak hanya menentukan kesuksesan atau kegagalan sebuah kurikulum, tetapi secara independen juga memiliki pengaruh terhadapp efektifitas sekolah. Secara khusus seorang guru hendaknya:
- Sesering mingkin memanfaatkan pertanyaan dengan memperhatikan kemamppuan anak yang beragam;
- Menjaga agar pembelajaran terfokus ppada asspek tertentu.
Mempelajari subjek yang terlalu beragam dalam satu jam mata pelajaran bisa mengurangi intensitas interaksi guru-siswa.
Guru dan siswa masing-masing disibukkan oleh pekerjaan yang menumpuk. Rutinitas yang cenderung membuang-buang waktu menjadi semakin meningkat.
- Menjaga agar siswa atau kelas selalu berorientasi pada belajar;
- Mempertahankan perkembangan belajar padda tingkata yang relatif cepat;
- Memastikan bahwa rutinitas dan peraturan kelas dipahami dengan baik, sehingga mengurangi kemungkinan siswa menemui guru hanya untuk meminta petunjuk atau bimbingan; dan
- Menciptakan suasana kelas dimana siswa merasa leluasa bisa meminta pertolongan, terutama bagi siswa yang berasal dari latarbelakang ekonomi lemah (Reynold dan Tedli, 2000).
Hasil studi Cole dan Chan (1994) memperkuat hal ini. Sifat-sifat personal guru seperti memberikan kepercayaan terhadapp siswa, bersedia mendengar apa yang disampaikan siswa ddan tidak mendominasi jalannya proses belajar-mengajar menjadi sangat menetukan dalam membangun suasana belajjar dalam kelas yang kondusif. Kepercayaan (trust), menurut Cole dan Chan, secara khusus menjadi efektif ketika berhadapan dengan siswa yang memiliki persoalan pribadi. Mendengar secara aktif memungkinkan guru untuk memahami apa yang terjadi di kelas, dan pada waktu yang bersamaan mendorong siswa untuk lebih banyak aktif dalam ppercakappan serta mendorong siswa untuk berani mengungkapkan ide-ide mereka.
Penguasaan guru terhadap bidang studi yang diajarkan merupakan dimensi lain yang memppengaruhi persepsi siswa terhadap kualitas kelass dan, pada gilirannya, berpengaruh pula terhadap prestasi mereka (Burdsal dan Bardo, 1986). Lebih jauh, persiapan guru, penguasaan diri, kemampuan menyampaikan bahan ajar, pemakaian metode presentassi yang tepat, kemampuan menjawab pertanyaan dan membuat siswa memahami tujuan pengajaran dengan jelas juga merupakan faktor yang mempengaruhi keberhasilan belajar dan pandangan siswa terhadap guru. Sebaliknya, guru yang dalam pandangan siswa kurang mempersiapkan bahan pelajarannya, kurang mampu mengorganisir pendekatan terhadap kelas dan bahan ajarnya, menyampaikan konsep yang tidak benar dan memakai metode yang tidak tepat, tidak memiliki pengaruh terhadap peningkatan prestasi siswa.
2. Harapan yang Tinggi
“Ana ‘inda zhonni ‘abdi maa dzakaranii, Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku kepada-Ku,” firman Allah dalam sebuah hadits Qudsi. Seseorang akan sukses jika ia merassa yakin bahwa ia akan sukses. Demikian juga, seseorang akan mengalami kegagalan jika ia menyangka bahwa ia akan gagal. “Expectation of success breeds success and expectation of failure breeds failure”, kata Troisi (1993). Tentu ingat buku terkenal You can if you think you can-nya Peale itu. Disini, Peale menunjukkan betapa besar kekuatan sebuah keyakinan. Dalam proses belajar, Tomlinson (1999) dalam studinya yang mendalam menunjukkan bahwa keyakinan atau harapan sangat membantu siswa berkembang bahkan melampaui apa yang biassa mereka capai.
Harapan atau keyakinan yang tidak harus datang dari diri sendiri tapi juga dari orang lain; dari harapan-harapan, doa-doa dan keyakinan orang lain baik orang tua, teman, guru, atau siapa saja. Brunner (1988) menunjukkan bahwa secara psikologis seseorang akan melakukan apa yang orang lain harapkan untuk ia lakukan. Demikianlah, ekspektasi (harapan) seorang guru secara positif berpengaruh terhadap kesuksesan siswa.
Reynolds dan Teddlie (2000), dalam penelitian mereka terhaddap pengaruh ekspektasi atau harapan dalam berbagai artikel psikologi, menemukan sebuah kesimpulan yang konsisten bahwa harapan yang tinggi serta usaha mengkomunikasikan harapan-harapan tersebut memiliki pengaruh signifikan terhdap prestasi belajar siswa. Lebih jauh, mereka menganjurkan, dalam mengkomunikassikan harapan yang tinggi tersebut sebaiknya diberikan kepada siswa dalam bentuk tindakan-tindakan praktis dan penguatan-penguatan lisan. Contoh sederhananya, seorang guru perlu mengatakan “Saya yakin kamu bisa,” kepada siswa, untuk memberi semangat dan menumbuhkan keyakinannya bahwa ia bisa jika belajar dengan sungguh-sungguh.
Dalam penelitian mereka tentang teori tingkataspirasi (aspiration level theory), Doornum, Voeten, dam Jungbluth (1989) menemukan bahwa tingkat aspirasi atau ekspektasi yang diberikan kepada siswa memiliki ppenngaruh yang kuat terhadap kemampuan bersaing siswa dalam meraih kesempatan untuk memasuki lembaga pendidikan lanjutan yang lebih bermutu. Semakin tinggi tingkat aspirasi yang diberika guru, semakin tinggi pula daya saing siswa dan semakin besar kesemppatan mereka untuk memasuki lembaga pendidikan yang lebih bermutu. Hanya saja perlu dijelaskan bagaimana ekspektasi atau aspirasi tersebut mempengaruhi pprestasi dan, dalam kadar tertentu, mengubah cara guru mengajar dan menghadapi siswa.
Menurut Creemers (1996) ekspektasi yang terlalu tinggi secara negatif mempengaruhi peformance siswa, dan malah tidak memotivassi mereka.Tetspi, sebuah ekspektasi yang seimbang dan rasional seperti ditemukan oleh Hallinger dan Murphy (1986), memberikan motivasi positif bagi siswa untuk melakukan yang terbaik.
Seperti Creemers, Samdal et al. (1999) juga menemukan bahwa harapan atau kepercayaan yang berlebihan bisa menurunkan prestasi belajar siswa. Jauh sebelumnya, Finn (1989) menemukan bahwa harapan yan tidak rasional, yang biasanya terjadi ketika ekspektassi melampaui tingkat kemampuan siswa, kemungkinan besar mengakibatkan rasa keterasingan dan kegagalan. Karenanya, tantangannya adalah bagaimana sekolah menemukan keseimbangan; menguak potensi siswa tanpa secara berlebihan memacu mereka sehingga mereka justru merasa khawatir mengalami kegagalan. Dengan menetapkan standar sebuah prestasi yang bisa mereka capai sesuai dengan kemampuan mereka, kemungkinan besar semua siswa dapat meraih kesuksesan dan sekaligus pengakuan terhadap prestasi mereka. Dalam konteks demikian, siswa lebih memungkinkan mengalami dorongan untuk menunjukkan yang terbaik yang bisa mereka lakukan, untuk menumbuhkan kecintaan pada pelajaran yang dibberikan di sekolah dan juga menumbuhkan rasa senang terhadap sekolah (Samdal et. al., 1998:334).
Sangat menarik untuk dicermati disini pendekatan transenden yang digunakan Kessler (2000) untuk meningkatkan prestasi siswa. Dengan mengadopsi skema “spiritual-urges”-nya Weaver dan Cotrel, ia menulis: “transendensi ialah upaya melintas batas-batas kemampuan manusiawi, to transcend is to rise above or pass beyond a human limit” (Kessler, 2000:117). Ia kemudian menganjurkan: ketimbang menekankan ekspektasi guru yang notabene-nya dari luar diri siswa, adalah lebih baik “”mengakui dan mendukung keinginan-keinginan siswa sendiri untuk mengambil langkah yang bisa melampaui prestasi yang biasa mereeka capai” (Kessler, 2000:118).
Contoh baik untuk ini adalah apa yang dilakukan A’a Gymnastiar di Pesantren Darut Tauhid. Di pesantren ini para santri di dorong untuk berkreasi mengembangkan kemampuan masing-masing dengan suatu keyakinan bahwa “anda akan berhasil selama anda percaya bahwa anda akan berhasil, dan yakin bahwa Allah akan membantu.”
3. Melibatkan Siswa
Upaya melibatkan siswa telah menjadi fenomena yang cukup berkembangan
dalam peendidikan akhir-akhir ini. Hanya saja, belum cukup banyak siswaa yang ikut terlibat dan mempengaruhi proses pembuatan program belajar-mengajar di sekolah.
Menurut studi Potts (1986), siswa akan belajar dengan efeektif bila kurikulum dikembangkan secara gradual berdasarkan kebutuhan dan kepentingan siswa. Finn (1989) menemukan bahwa siswa yang memiliki massalah dengan perilakunya merasa tersisihkan jika kurikulum yang diajarkan kepada mereka tidak didisain sesuai dengan kebutuhan mereka, terlebih lagi jika peraturan-peraturan sekolah tidak disusun secara fair dan efektif dengan melibatkan mereka.
Adalah penting melibatkan siswa dalam prose pembuatan keputusan seperti dalam penyusunan kurikulum, pembuatan peraturan dan hal-hal yang berkenaan dengan penyusunan materi-materi pembelajaran. Sebuah lingkungan kelas yang memberi otonomi atau keleluassaan bagi siswa memiliki kaitan erat dengan kemampuan siswa dalam berekspresi, kreatif, menunjukkan kemampuan diri (self-esteem), belajar secara konseptual, dan senang terhadap tantangan (Woolfolk, 2000), Dalam sebuah studi internasional mereka, Samdal bersama koleganya (1998) menemukan bahwa siswa yang memiliki andil dalam kegiatan-kegiatan instruksional atau pembutan peraturan sekolah memiliki rasa cinta terhadap sekolah dan pada gilirannya secara signifikan meningkatkan keterlibatan mereka terhadap kegiatan-kegiatan sekolah.
Dalam sebuah kelas yang menekankan otnomi siswwa, seperti ditegaskan oleh Woolfolk (2000), para siswa percaya bahwa tugas-tugass yang diberikan oleh sekolah adalah penting, walaupun mungkin nampak tidak “menyenangkan” mereka. Sebaliknya, sebuah kelas yang terlalu memberi kontrol terhadapp mereka akan menyebabkan siswa hanya melaksanakan tugass-tugas dasar. Hal ini agaknya sesuai dengan konsep “transcendence in learning”-nya Kessler (2000) yang lebih menekankan kesadaran diri siswa ketimbang memberi beban yang berlebihan dengan harapan dari luar dirinya maka mereka perlu diperlakukan sebagai subjek belajar, bukan objek seperti selama ini sering dipraktekkan disudut-sudut kelas sekolah atau madrassah.
Schafer dan Polk (1972) mewanti-wanti bahwa orientasi yang negatif bisa muncul jika kebijakan, tujuan, dan norma sekolah atau implementasi dari semua-nya dikembangkan tanpa melibatkan siswa atau siapa saja yang akan melaksanakannya. Sebaliknya keterlibatan mereka yang maksimal, terutama siswa,akan memberikan respon positif terhadap program, pperaturan, tuntutan atau norma-norma sekolah. Keterlibatan siswa dalam perencanaan dan pelaksanaan kreativitas kelas adalah merupakan bagian dari aspek otonomi dan kontrol dari siswa sendiri. Jika siswa tidak merassa bersebrangan dengan aturan kelas, kemungkinan besar mereka akan mengembangkan perilaku positif terhadap prestasi akademis secara khusus. Menurut Coleman (1998), siswa tidak berbeda dengan ppara professional lainnya: keterlibatan untuk mengontrol kondisi dan proses setiap pekerrjaan atau tugas akan meningkatkan kemampuan merreka menyelesaikan tugas dengan baik.
Schafer dan Polk (1972) menjelasskan empat manfaat yang bisa diperoleh bila siswa dilibatkan dalam membuat peraturan-peraturan sekolah atau kelas:
1. keterlibatan siswa yang tinggi dalam kegiatan sekolah;
2. menjaga dan mendukung ide-ide, kreativitas dan inovassi yang potensial dan bermanfaat;
3. karena merassa tidak tersisihkan dalam kehidupan sekolah, maka siswa tidak akan mencari “pemuasan” di luar sekolah. Kondisi semacam ini, tentunya, menjaga siswa dari pengaruh-pengaruh negatif luar sekolah, dan, pada waktu yang bersamaan menjaga mereka selalu dalam kontrol sekolah; dan
4. memaksimalkan aktivitass belajar mengajar karena siswa memiliki banyak pilihan dan kesempatan untuk saling membantu. Ketiadaan kondisi-kondisi di atas, menurut Schafer dan Polk, akan membuang perilaku negatif dan buruk menjadi pilihan yang lebih menarik bagi siswa.
Agaknya kondisi umum sekolah-sekolah di Indonesia yang terlalu memberikan
kontrol dan tidak melibatkan siswa dalam proses pembuatan peraturan dan penentuan kurikulum di sekolah menjadi salah satu sebab menjamurnya tawuran dikalangan pelajar, selain tentunya, karena kurang pelajaran mengenai ahlak atau etika, baik secara kuantitas maupun kualitas.
Cara yang dimaksud di atass ialah dengan mengembangkan filsafat moral anak-anak dan pandangan terhadap dunia. Filsafat moral adalah suatu filsafat yang dapat menempa anak-anak, tentang bagaimana mereka bersikap terhadap masalah hidup yang baik, terutama dalam menghadapi dunia baru. Filsafat seperi ini perlu dikembangkan sejak kecil pada anak-anak agar dapat meresap di hati sanubari mereka massing-masing. Yang kemudian diharapkan dapat membuahkan suatu pandangan tersendiri terhadap dunia, sebagai alat untuk mengatasi kesulitan-kesuliatan yang mungkin diketemui dalam mengembangkan kehidupan.
Salah satu kehidupan dari filsafat moral yang pentiing diusulkan dalam tulisan di atas adalah daya kreatif dan kepercayaan pada kemampuan diri sendiri. Kepercayaan pada diri sendiri adalah sumber penggerak dalam banyak hal untuk mencapai suatu tujuan maupun mengatasi kesulitan dalam mengejar cita-cita. Dengan berkreasi seseorang akan mampu menutupi kekurangan-kekurangan dan menngtasi kesulitan-kesulitannya. Kepercayaan pada diri sendiri dan daya kreatif adalah suatu alat untuk menempuh keadaan yang masih kabur, suatu masa yang tidak dapat diramalkan keadaannya. Itulah yang akan dihadapi oleh anak-anak. Karena itu mereka perlu disiapkan sejak kecil.
Kemudian pertanyaan-prtanyaan tersebut diatas dilanjutkan lagi sebagai berikut:
He is not merely an instructor in the classroom. He is a social catalyst, and instructor,
coordinator of various informal agencies outside the classroom, an integrating agent
of knowledge, a social education worker etc. He must become a continuing life-long
learner. (APEID, 1976:36)
Pertanyaan yang terakhir ini membahas keterlibatan guru di masyarakat. Guru bukan saja menghubungkan murid-muridnya ke dalam kehidupan masyarakat, tetapi ia sendiri perlu berpartisipassi secara aktif di dalam masyarakat. Dikatakan bahwa guru professional adalah juga merupakan koordinator lembaga-lembaga non formal di luar sekolah. Dia menghimpun organisasi-organisasi non formal, dalam rangka mengarahkan tujuan-tujuan mereka agar bermanfaat bagi para anggota dan pembangunan masyarakat pada umumnya. Ini berarti guru profesional adalah juga bekerja sebagai pendidik social, di sekolah ia bertindak sebagai guru dan si masyarakat pun ia bertindak sebagai guru. Karena sekolah dan massyarakat tidak dapat dipisahkan.
Karena tugas ganda seperti ini, maka guru dituntut agar belajar seumur hidup. Karena baik pengetahuan dan keterampilan untuk sekolah maupun pelajaran-pelajaran yang di dapat dalam pengalaman di masyarakat adalah berkembang terus mengikuti pperkembangan zaman. Di samping itu guru diharapakan mampu mengintegrasikan pengetahuan-pengatahuan tersebut agar merupakan suatu kesatuan alat pendidikan untuk anak-anak dan massyarakat.
James Carmichael menulis dalam bukunya Educational Revolution, tentang sifat-sifat guru sebagai berikut:
The teacher must avoid the posture of an omniscient dictator when daily temptation
invites him to his role. He must be compassionate, but should never wear his
compassion on his sleeve. He must, above all, have have or acquire a sense of
humour, as the only safeguard to a sense of proportion. The teacher, too, must be out
war looking, a real member of adult society. He must Find his friends both within and
outside the profession, or his vision will be dimmed and reduce. Above all he must, go
helf him, be an example without being a prig or a hyprocrite. And he or she must have
or cultivate a sense of vocation, while actively resenting the use of this term to justify
under payment (Carmichael, 1969: 83).
Sifat-sifat guru yang dilukiskan di atas, ialah tidak membenarkan guru itu bertindak sebagai dictator, walaupun ia orang yang paling tahu dan memiliki otoritas dalam kelas. Ia harus menghargai setiap murid sebagai individu yang memiliki kedirian sendiri. Dengan kekuasaannya guru tdak boleh menekan, mematikan kreasi dan cita-cita murid yang sangat mungkin berbeda-beda satu dengan yang lain. Dalam keadaan-keadaan tertentu malah guru diharapkan menaruh belas kasihan kepada murid-murid, yang sulit melaksanakan tugas-tugas yang digariskan oleh sekolah.Sebab rasa belas kasihan yang dipancarkan oleh guru akan dapat menenangkan murid bersangkutan, bahwa gurunya cukup toleran akan keterbelakangannya. Dengan demikian murid tidak akan putus asa untuk mengulang dan maju setapak demi setapak.
Menghadapi murid-murid seperti ini dan masalah-masalah lainnya, bagi seorang guru tidak diizinkan merasa sedih dan putus asa. Ia harus gembira selalu menghadapi tugasnya, betapapun berat dan sulit pekerjaan itu. Ketenangan dan kegembiraan menghadapi perilaku murid-murid yang beraneka ragam coraknya adalah modal bagi guru untuk mencapai kesuksesan dalam berkarya.
Selanjutnya dikatakan bahwa guru harus menjadi anggota masyarakat yang riil. Maksudnya adalah guru tidak boleh membedakan dirinya dengan anggota masyarakat yang lain bahwa ia guru. Ia tidak boleh mengisolasi diri, menganggap diri lebih tinggi dari pada yang lain atau merasa rendah diri karena bertetangga dengan orang-orang yang berpangkat tinggi dan atau kaya-kaya. Guru bila ingin sukses dalam karirnya di sekolah maupun di masyarakat, haruslah bergaul dengan semua anggota masyarakat dengan tidak membeda-bedakan pangkat atau kekayaan. Guru harus berteman dengan kawan seprofesi dan juga harus bersahabat dengan orang-orang di luar profesinya. Dengan cara seperti ini kepemimpinannya dalam massyarakat diharap akan berhasil. Di samping itu dikatakan juga bahwa guru harus taat beragama. Segala ajaran agama haruslah ia laksanakan dengan sebaik-baiknya. Dia juga adalah contoh dalam ketaatan melaksanakan ajaran agamanya.
Yang terakhir disarankan bahwa guru harus mampunyai kesadaran yang kuat dalam melakukan pekerjaan. Ia tidak boleh bermalas-malas bekerja, ia harus berdisiplin, karena segala perilakunya merupakan contoh bagi murid-murid. Ia tidak pantas mengukur pekerjaannya dengan nilai uang, sebab pekerjaannya adalah pengabdian. Ia harus sadar dan bekerja dengan baik sebagai seorang pendidik.
Roland Meighan dan Peter Chambers dalam tulisannya The structure of The Teacher Education melukiskan peranan guru sebagai berikut:
These role sector will include element related to classroom teching, administration,
remedial teaching, guidance and diagnosis, training and social welfare……………
……………….an increasing ly ‘open society’ with an expanding technologi and a
ravid increase in total knowledge, requires a different type of school where the
teachers, rather than being ‘instructors’ are enblers, fasilitators, problem posers,
catalysts or organizer of learning. (Meighan, 1971:166-167).
Tugas pada waktu mengajar harus disesuaikan dengan cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang melanda kehidupan manusia. Komunikasi dalam kehidupan sekarang begitu cepat, sehingga hubungan antara satu massyarakat dengan massyarakat lain menjadi erat. Guru mamppunyai tugas untuk menyiapkan anak-anak yang akan hidup dalam amsyarakat seperti ini. Murid-murid kelak akan menghaddapi massyarakat yang terbuka satu dengan yang lain.
Untuk menyiapkan anak ke arah hidup seeperti ini, maka guru tidak pada tempatnya memberikan sejumlah ilmu pengetahuan saja kepada anak-anak. Menurut Meighan tugas guru masa kini harus berubah, yaitu yang penting baginya adalah memberi fassilitas kepada anak-anak untuk mengorientasikan dirinya kepada kehidupan yang nyata, kepada masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat. Anak-anak harus diberi kesempatan memecahkan masalah sendiri, diberi kesempppatan berkreasi, berinisiatif dan mereka harus belajar mempertanggungjawabkan tindakannya. Untuk maksud ini guru diharapkan mengorganisasi proses belajar murid-murid, agar segala aktivitas tersebut di atas dapat dilaksanakan.
Selanjutnya dikatakan pula bahwa guru harus memberi latihan kepada anak-anak mengenai keterampilan-keterampilan yang diperlukan dalam kehidupan nyata, untuk menunjang terselenggarakannyakesejahteraan social. Hal ini membutuhkan kerja nyata yang dikerjakan di sekolah maupun di mamsyarakat.
Tugas guru yang lain adalah melaksanakan bimbingan. Bagi murid-murid yang menghadapi masalah yang rumit yang tidak dapat mereka pecahkan sendiri, perlu ditangani oleh guru. Guru perlu mencoba menangani sendiri dahulu, bila masalahnya ringan. Tetapi bila ternyata sukar, maka haruslah ia serahkan tugas itu kepada staf bimbingan dan konseling. Biro bimbingan dan konseling yang anggotanya terdiri dari para guru yang ahli dalam bidang tersebut, diharapkan dapat membantu murid-murid menyelesaikan masalahnya.
Tugas guru juga dikatakan tidak bisa lepas dari tugas administrasi. Sebab setiap guru mampunyai keseempatan untuk menjadi administrator sekolah. Paling sedikit setiap guru harus mampu mengurusi administrasi murid-murid yang menjadi tanggung jawabnya.
Edagar H. Schein mengemukakan criteria profesi sebagai berikut: (Schein, 1972: 8-9).
a. Seorang professional, harus bekerja full-time di bidang profesinya dan sebagai sumber penghidupan. Di sini implicit suatu pengertian bahwa seorang professional tidak boleh bekerja lebih banyak di luar dan menomor duakan tugasnya yang utama.
b. Seoran professional memiliki motivasi yang kuat untuk bekerja dalam bidangnya, yang merupakan dasar bagi pilihan jabatan tersebut. Sehiingga jabatan tersebut akan dikerjakan sepenuh hati.
c. Dia memiliki suatu pengetahuan khusus dan keterampilan yang diperolehnya dalam pendidikan yang cukup lama.
d. Membuat keputusan dalam tindakannya demi untuk kepentingan klien (murid), bukan untuk kepentingan dirinya sendiri atau untuk kepentingan organisasi atau golongannya. Ia harus bekerja tanpa pamrih.
e. Seorang professional harus berorientasi kepada pelayanan terhadap klien (murid). Yang dia pentingkan adalah bagaimana ia dapat melayani murid-murid dengan sebaik-baiknya demi kemajuan murid-murid itu sendiri. Ia adalah seorang yang mengabdi kepada tugasnya.
f. Pelayanannya berdasarkan atas kebutuhan obyektif dari klien. Tidak boleh ada motif-motif yang lain tersembunyi di dalamnya. Kedua, klien dan pppetugas pprofesional harus jujur dan terbuka, dan harus dapat menciptakan hubungan intim demi untuk kemajuan klien.
g. Seorang profesional mampunyai otnomi dalam bertindak mengenai apa yang baik bagi klien. Dia adalah orang yang lebih tahu tentang apa yang baik bagi klien daripada klien itu sendiri.
h. Menjjadi anggota organisasi profesi yang diseleksi lewwat ukuran-ukuran tertentu seperti standar pendidikan, atau ukuran-ukuran lain yang sejenis, memiliki keahlian yang sama, dan dalam wilayah tertentu.
i. Memiliki pengetahuan yang spesifik.
j. Seorang professional tidak boleh mengadvertensikan keahliannya untuk mendapat pasaran luas. Klienlah yang diharapkan berinisiatif untuk mencari dia.
Philip Kochman (Kochman, 1970:83-88) yang senada dengan Schein memberikan 12 kriteria tentang pekerjaan yang bersifat profesi yaitu:
a. Membutuhkan suatu persiapan yang relatif lama dan menjurus.
b. Disertai oleh kegiatan-kegiatan intelektual yang ulung dan anggota-anggotanya memiliki pengetahuan-pengatahuan serta kecakapan-kecakapan yang mengkhusus.
c. Menetukan standar yang relatif tinggi untuk dapat diterima sebagai anggota profesi.
d. Pekerjaan merupakan suatu karir seumur hidup.
e. Diwakili oleh organisasiatau organisasi-organisasi yang efektif.
f. Mampunyai otonomi yang luas dan dalam banyak hal menentukan standarnya sendiri.
g. Berbakti untuk perluasan pengetahuan dalam bidangnya.
h. Memberikan prioritas yang tinggi pada pelayanan.
i. Mengutamakan perbaikkan diri dan perkembangan dalam usaha-usaha pelayanan.
j. Melindungi kesejahteraan anggota-anggotanya.
k. Mebutuhkan izin atau sertifikat untuk berpraktek.
l. Mendasarkan prakteknya pada prinsip-prinsip etik yang dirumuskan dengan jelas.
F. H. Hilliard menulis sebagai berikut:
Tahapan Pengembangan
Idealnya pengembangan mutu guru diawali oleh pengembangan pimpinan-pimpinan puncak yang langsung berhubungan dengan guru, seperti dekan dan pimpinan-pimpinan yang lainnya sebagai orang yang mendapat program pengembangan paling dahulu. Kemudian secara bertahap pengembangan diarahkan pada person-person di bawahnya di lihat dari tingkat keorganisasian (Fortunato dan Waddel, 1981:189). Melalui tahapan model demikian, prinsip-prinsip pengembangan staf dapat lebih siap untuk diimplementasikan dan diaplikasikan. Namun manakala program demikian sukar dijalankan, antara lain sebab kepala sekolah dan beberapa jabatan puncak seperti pihak kepala dinas tidak menempati tempat utama dalam peran serta pembinaan staf, maka pengembangan harus dimulai secara serempak pada pimpinan tingkat menengah, guru-guru dan anggota staf tata usaha. Namun bila hal tersebut kurang mungkin, maka pengembangan dapat dimulai dari kelompok dosen atau kelompok staf tata usaha yang antusias.
Terdapat dua pendekatan untuk proses seleksi peserta pengembangan. Pertama melalui seleksi pribadi peserta itu sendiri dan kedua seleksi berdasarkan saringan pimpinan institusi. Yang pertama ditempuh, manakala minat peserta sedikit, tidak memenuhi suatu jumlah yang ditentukan sesuai dengan dukungan dana dan daya yang tersedia. Sedangkan yang kedua justru sebaliknya yakni manakala peserta jumlahnya melebihi kapasitas dana dan daya yang tersedia. Dalam hal ini yang penting jangan sampai ada tekanan yang menggiring seolah-olah guru diharuskan memberi perhatian. Antusiasme guru, diusahakan supaya tumbuh dengan penuh kesadaran.
Pengembangan sumber daya manusia (dalam hal ini guru) pada dasarnya merupakan tanggung jawab semua pimpinan. Tiap pimpinan harus secara tetap memenuhi kebutuhan pengembangan dan latihan untuk para gurunya dan mendorong staf guru untuk berperanserta dalam program pengembangan, baik di dalam maupun di luar lembaga tempat kerja. Pada gilirannya hal tersebut akan beresonasi terhadap pengembangan kebutuhan institusi. Adalah merupakan kewajiban pimpinan untuk mengevaluasi efektivitas promosi pengembangan staf.
Menurut Fortunato dan Waddel (1981:190) beberapa hal yang dapat dijadikan program pengembangan guru pada sekolah adalah
(1). penggantian biaya pengajaranguru, staf tata usaha dan pelaksana kursus yang dilaksanakan baik di dalam maupun di luar institut,
(2) mengembangkan perhatian pada pertemuan-pertemuan professional,
(3) program cuti panjang (sabbatical leave) bagi pengembangan personil,
(4) program latihan dalam lembaga sendiri dalam beberapa mata kuliah seperti
(a) teknik penyelia, gaya kepemimpinan dan time management,
(b) komunikasi lisan, keterampilan penulis, menulis laporan dan peningkatan kemapuan membaca,
(c) hubungan masyarakat,
(d) teknik mengajar yang baru,
(e) penyuluhan sebelum pengunduran diri,
(f) teknik seleksi dan wawancara, serta proseddur kesepakatan tindakan,
(g) mengatasi keluhan, menyelia karyawan yang tidak senang dan tawar menawar kolektif,
(h) evaluasi penampilan, analisis dan evaluasi posisi, (i) analisis transaksional,
(i) pemecahan masalah, membuat keputusan dan pembinaan team,
(j) pengeloalaan tekanan (stress management) dan pencegahan pengusiran karyawan.
(k) Pemagangan yang formal (formal apprenticeships),
(l) latihan keterampilan seperti mengetik, memproses kata, peryolongan pertama dan keamanan.
Catatan pokok dalam hal iini adalah supaya program pengembangan efektif, maka program hendaklah langsung kearah memecahkan persoalan institusi, memenuhi kebutuhan anggota gurudan staf, serta perencanaan perubahan organisasi. Dapat di contohkan umpamanya keharusan membuat tujuan baru bagi rencana pengembangan lima atau sepuluh tahun. Tujuan tersebut perlu distudi oleh orang-orang profesional yang harus mengembangkan program sedemikian rupa sehingga mencukupi kebutuhan dosen dan staf disatu segi serta memenuhi kebutuhan institusi melalui pengembangan kemampuan mereka pada sisi lain.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mutu guru
Suatu kenyataan yang oleh ilmu sosial dianggap eviden adalah bahwa manusia sangat tergantung pada lingkungannya. Karena itu kualitas manusiapun akan bergantung pada kualitas lingkungan tempat hidupnya. Bertolak dari hal tersebut dapat dipahami bahwa penelaahan tentang mutu guru tak dapat dilakukan secara memadai tanpa pembahasan mengenai lingkungan tempat ia hidup dan bekerja. Implikasinya adalah bahwa mengembangkan mutu guru, harus diadakan secara simultan dengan mengembangkan lingkungannya.
Pada garis besarnya terdapat dua macam lingkungan, yakni lingkungan fisik dan lingkungan non-fisik. Baik lingkungan fisik maupun lingkungan non fisik, kedua-duanya dikembangkan di perguruan tinggi, supaya sejalan dan memenuhi kebutuhan dosen. Pengembangan lingkungan fisik suatu lembaga pendidikan adalah pengembangan fasilitas pendidikan (bangunan, kelas, laboratorium, lapangan, bengkel, jalan, kebun percobaan dsb). Yang pada gilirannya hal tersebut akan amat membantu meningkatkan cara dan gaya (method and style) proses belajar mengajar. Namun demikian pengembangan fisik pendidikan akan menjadi beban dosen dalam Proses Belajar Mengajar (PBM) bila tidak dipersiapkan pengembangan budaya dosennya. Hal inilah yyang menuntut adanya berbagai bentuk pengembangan lingkungan non-fisik baik yang berbentuk lingkungan gagasan/informasi atau lingkungan social, khususnya iklim akademik yang mendorong pengembangan intelektual dan afeksional.
Lingkungan fisik yang mempengaruhi kehidupan dosen, tentu tidak hanya pada fasilitas pendidikan di tempat guru tersebut bekerja, namun juga termasuk kedalamnya adalah lingkungan fisik di tempat tinggal guru tersebut. Ini artinya menyangkut kondisi sosial ekonomi guru. Kecilnya penghasilan guru, seringkali memaksa mereka manutupi kekurangan dan kebutuhan hidupnya dengan cara sendiri-sendiri. Selain jadi guru dibeberapa sekolah, juga merangkap sebagai pedagang, pemborong, pejabat, atau birokrat di tempat yang berbeda-beda. Fasilitas yang lebih lengkap pada kegiatan diluar kedinasan tersebut di atas, menjadikan orientasi kerja guru lebih berat pada jabatan birokrasi daripada profesionalisasi keilmuan, keahlian akademik atau jabatan fungsionalnya. Bentuk halus dari kegiatan demikian adalah mencoba menjadikan seluruh kegiatan sebagai usaha-usaha mencari tambahan penghasilan. Hal ini bermakna bahwa kegiatan penelitian dan pengabdian pada masyarakat yang idealnya merupakan sisi lain bagi pengembangan keilmuan (Burton R. Clark, 1983), lebih difungsikan sebagai upaya menambah penghasilan di luar gaji.
Berkaitan dengan kehidupan budaya dosen, mereka terbagi pada pertama budaya disiplin ilmunya dan kedua pada bentuk kegiatan pendidikan dan penelitian (Burton R. Clark, 1983:89). Dalam bentuknya yang murni, keterikatan pada disiplin ilmu, membawa mereka jadi ilmuwan fanatik yang terikat pada lab, buku atau lapangan penelitiannya. Catatan Terry ( Clark, 89) mengengkapkan bahwa guru dan para eksekutif pertguruan tinggi semakin hari semakin terisolasi hidupnya dalam disiplin yang menjadi bidang garapannya. Keterikatan pada bidang keilmuannya, merupakan implikasi logis adanya kebebasan akademik, yang bagi guru sendiri merupakan tugas untuk mengkaji, mengkaji, mambahas, megutarakan kesimpulan-kesimpulan bidang ilmu, tanpa campur tangan penguasa politik, agama atau lembaga tempat bekerja, sepanjang metode-metodenya tidak bertentangan dengan etika professional (Muchtar Buchori, 1990:12)
Buday disiplin ilmu yang ditunjang kebebasan akademik, secara histories telah melahirkan pengetahuan baru, alat kehidupan baru, serta pandangan-pandangan baru terhadap kehidupan, untuk kemudian menjadikan lembaga keilmuan sebagai an agent of change. Hal ini dapat dicontohkan umpamanya dengan ditemukannya alat kehidupan mikroskop (1590), termometer (1592), teleskop (sekitar 1608), barometer (sekitar 1643). Demikian juga pada masa itu telah lahir pandangan-pandangan baru tentang anatomi tubuh manusia oleh Andreas Visalius (1514-1564), tentang sirkulasi darah dan fungsi jantung sebagai pompa oleh William Harvey (1578-1657). Di bidang asstronomi muncul Copernicus (1473-1543) sebagai bapak astronomi modern, Galileo Galilei (1564-1642) pencipta teleskop astronomi dan Johanes Kepler (1571-1630) dengan rumus-rumus gerakan planetnya.