31 Desember 2010

Waspadai Perayaan Tahun Baru Masehi 2

Tahun baru Masehi beberapa saat lagi akan tiba. Ketika tahun baru masehi itu tiba, mayoritas manusia, baik di belahan dunia bagian Barat maupun di Timur, akan merayakannya dengan meriah. Hampir tidak ada manusia yang rela ketinggalam perayaan tahun baru itu. Meskipun di tengah hujan, asal bukan hujan deras, menjelang tengah malam mereka tetap memaksakan keluar rumah untuk bisa merayakan Tahun Baru.
Adakah orang Islam di dalam perayaan itu? Jawabnya tentu banyak. Bahkan di daerah kita ini kebanyakan yang merayakan adalah orang Islam. Sebab mayoritas penduduknya beragama Islam.
Bila ada orang mengaku beragama Islam tetapi dengan enteng dan tanpa merasa berdosa ikut serta merayakan tahun baru, maka sebenarnya itu adalah sikap yang aneh. Mungkin Anda akan bertanya, ”Apa salahnya ikut merayakan Tahun Baru? Dan di manakah letak keanehannya jika seorang muslim merayakan tahun baru?”
Perlu diketahui, perayaan tahun baru termasuk sebuah hari raya. Namanya saja perayaan, kan berasal dari kata raya, kalau hari itu disebut hari raya kan sudah sewajarnya. Dan si empu hari raya itu adalah kaum nasrani, sebab perhitungan tahun dengan sistem Gregorian yang merupakan revisi dari perhitungan masehi adalah tradisi kaum Nasrani yang tidak pernah dikenal di dalam budaya Islam. Sistem penanggalan itu menjadi populer di dunia sebagai akibat dari kolonialisme. Dengan demikian perayaan Tahun Baru Masehi, berarti hari raya kaum Nasrani. Maka aneh, banyak orang muslim yang ikut serta merayakan hari raya kaum Nasrani.
Banyaknya umat Islam ikut serta dalam perayaan ini karena ketidaktahuannya terhadap persoalan hari raya. Banyak di antara umat Islam yang tidak mempedulikan, petunjuk Allah dan Rasul-Nya sehingga tidak mengetahui mana yang dilarang dan mana yang diperintahkan. Atau, sebenarnya sedikit-sedikit pernah mendengar dari masyarakat, tetapi tarikan hawa nafsunya lebih kuat daripada untuk mengenal lebih dekat apa yang seharusnya dia lakukan.
Apakah hari raya itu
Mungkin masih ada yang keberatan, apa benar kalau cuma perayaan tahun baru termasuk sebagai hari raya. Sebelum berbicara lebih jauh, marilah kita meninjau apa arti hari raya itu. Agar kita bisa mengukur segala tindakan dengan tuntunan al-Qur’an dan sunnah, maka tinjauan ini harus menggunakan tinjauan syari’at.
Hari raya dalam bahasa Arabnya adalah Ied. Jika dianalisis secara kebahasaan kata tersebut berasal dari kata ’aada yang berarti kembali. Kata Ied digunakan karena hari itu akan datang kembali secara berulang-ulang dalam setiap tahun. Syaikh Ibnu Taimiyyah menyebutkan hari raya (id) adalah nama jenis yang mencakup hari-hari atau tempat tertentu untuk berkumpul dan melakukan tindakan tertentu. Tindakan tertentu itu bisa berupa makan-makan atau berpesta bersama, dan bisa pula berupa melakukan ritual tertentu.
Merayakan hari raya boleh dikatakan sebagai sebuah tuntutan fitrah manusia. Manusia memiliki kecenderungan untuk mengambil saat-saat tertentu untuk menumpahkan segenap kegembiraannya bersama dengan anggota keluarga, atau dengan kawan-kawannya. Maka setiap masyarakat pasti memiliki hari raya, sebagaimana sabda Rasulullah kepada Abu Bakar ketika Abu Bakar hendak melarang pembantu Aisyah memainkan rebana,
يَا أَبَا بَكْرٍ دَعْهُمَا فَإِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيْدٌ وَهَذَا عِيْدُنَا
Biarkanlah wahai Abu Bakar, karena setiap kaum memiliki hari raya, dan ini adalah hari raya kita (HR Bukhari dan Muslim)
Dalam pandangan Islam, hari raya termasuk persoalan ibadah. Maka kapan terjadi dan bagaimana cara merayakannya sudah ditentukan oleh Rasulullah saw. Sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah, hari raya bagi umat Islam hanya ada dua hari raya saja, yaitu iedul fitri dan iedul adha.
إِنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْراً مِنْهُمَا، يَوْمَ اْلأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ
Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian keduanya (dua hari raya masa Jahiliyah) dengan yang lebih baik. Yaitu Hari Raya Adha dan Hari Raya Fitri (HR Abu Dawud)
Tahun Baru sebagai Hari Raya
Anggapan Tahun Baru Masehi sebagai hari raya sebenarnya sudah cukup lama ada di masyarakat. Jika kita melihat kartu natal, maka kita akan melihat ucapan, ”Selamat Hari Natal dan Tahun Baru”. Adanya ucapan itu menandakan bahwa tahun baru adalah suatu hari raya. Pengakuan ini pun juga datang dari pemerintah, bahwa tahun baru adalah sebuah hari raya dengan dijadikannya hari itu sebagai hari libur. Tetapi mengapa umat Islam seolah masih tak percaya bahwa perayaan tahun baru adalah sebuah perayaan hari raya orang non-Islam?
Yang masih ada di dalam anggapan kaum muslimin barangkali, perayaan hari raya yang non-muslim dilarang adalah ritualnya. Jika bukan dalam hal ritual maka acara itu boleh diikuti. Namun sayangnya dalam menilai sesuatu sebagai ritual atau bukan hanya dilihat dari aspek dhahir, bahwa ritual adalah hubungan seseorang dengan Tuhan. Sementara ritual bathin tidak dilihat, karena apa merasakan kebahagiaan. Senang, sedih, suka dan cinta adalah sebagian dari ritual hati yang kerap tidak difahami secara proporsional.
Hukum Menghadiri Hari Raya Orang Kafir
Hari raya bagi suatu kaum merupakan suatu syiar yang penting. Maka menghadiri hari raya kaum non-Islam bagi kaum muslim adalah haram. Keharaman ini didasarkan kepada dalil dari al-Qur’an, Sunnah, maupun ijma’ ummat Islam.
Ayat al-Qur’an yang melarang antara lain;
”Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu” (al-Furqan:72)
Depag RI menerjemahkan kata Yasyhaduna az-zuur menurut salah satu pendapat ulama’. Menurut Mujahid, adl-Dlahhak dan Ikrimah, artinya adalah menghadiri hari raya orang kafir. Dan perbedaan penafsiran di kalangan shahabat dan tabi’in, seyogyanya tidak kemudian diambil satu pendapat dengan membuang pendapat yang lain. Depag mengartikan demikian bisa difahami, karena dalam al-Qur’an terjemah tidak memungkinkan untuk disebutkan berbagai perbedaan penafsiran.
Sementara dari hadis, Rasulullah saw menetapkan bahwa hari raya untuk umat Muslim ini hanya ada dua saja, yakni hari raya Fitri dan Adha (Qurban) sebagaimana telah disebutkan di atas. ”Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian keduanya (dua hari raya masa Jahiliyah) dengan yang lebih baik. Yaitu Hari Raya Adha dan Hari Raya Fitri” (HR Abu Dawud)
Adapun dalil Ijma’, tidak pernah kita dapatkan riwayat dari shahabat, tabi’in atau ulama’ saat itu yang menghadiri hari raya kaum non-Islam.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

mkasih ya....
infonya bermanfaat...
berkunjung sklian Follow ya...?
jgn lpa Follow Backnya ya...?

Eh...
gambarnya apaan ya...?
yg jdi Backgroundnya ni...?