22 Februari 2011

Perspektif Historis Maulud Nabi

  • Oleh: Abu Rokhmad
SEJAK Minggu malam (10/4/05) terdengar sayup senandung Al-Barjanzi dibacakan di berbagai musala dan masjid. Bagi yang familiar dengan sistem penanggalan Islam (tanggal dan bulan hijriah), itu pertanda pergantian bulan dari Shafar ke bulan Rabi'ul Awwal (bulan Mulud, kata orang Jawa).
Salama 12 hari di awal bulan ini, sebagian umat Islam melakukan "napak tilas" melalui pembacaan sejarah dan keistimewaan Nabi Muhammad SAW. Sejarah yang lebih banyak berupa sanjungan dan pujian itu, merupakan simbol takzim umat kepada Rasulullah yang lahir pada 12 Rabi'ul Awwal tahun Gajah (571 M).
Selain pembacaan Al-Barjanzi dan kitab sejenisnya (Al-Diba', Al-Burdah), sepanjang bulan ini dan kadang meluber sampai bulan berikutnya, umat Islam menyelenggarakan beragam kegiatan, seperti pengajian, lomba-lomba Islami dan sejenisnya. Peringatan kelahiran Nabi akhir zaman ini dapat dikatakan paling unik dibanding peringatan hari besar Islam lain, seperti Isra Mikraj atau Nuzulul Qur'an.
Konon, inilah satu-satunya peringatan hari besar Islam yang pernah diselenggarakan di Istana Negara pada masa Presiden Soekarno. Bahkan ia pernah berwasiat kepada siapa pun yang menjadi penggantinya agar selalu menyelenggarakan peringatan tersebut di Istana Negara.
Maulid merupakan peringatan sarat simbol, terkadang sulit dicerna nalar umum, namun bernuansa mistis bagi yang mempercayainya.
Awal Mula
Untuk pertama kalinya peringatan maulid Nabi Muhammad SAW diperkenalkan oleh seorang penguasa Dinasti Fatimiyyah (909-1170 M). Tujuannya untuk menegaskan bahwa dinasti tersebut betul-betul punya silsilah sampai ke Rasulullah (ahl al-bait). Bagi dinasti ini, penegasan genealogis ini penting untuk mengeliminasi pihak-pihak yang ingin merebut kembali kekuasaannya dan pengesahan haknya sebagai pewaris kekuasaan politik Nabi. Peringatan tersebut memang sarat nuansa politik karena didukung fakta terjadinya perebutan pengaruh dan kekuasaan antara kaum Sunni dan Syi'ah saat itu.
Peringatan ini cukup kontroversial sejak awal. Banyak sekali ulama yang mendukung ritus ini, tetapi tidak sedikit pula yang menolaknya. Oleh penguasa berikutnya, akhirnya peringatan ini dilarang diadakan karena menimbulkan sikap pro dan kontra di masyarakat, terutama seputar legitimasi teologis bahwa peringatan maulid tidak pernah dianjurkan Alquran maupun hadis.
Lepas dari kontroversi yang tetap ada, seiring perubahan zaman, peringatan maulid berubah menjadi perayaan besar yang diselenggarakan hampir di seluruh dunia Islam, setelah dipopulerkan oleh Abu Sa'id Al-Kokburi (Gubernur wilayah Irbi di masa pemerintahan Sultan Salahuddin Al-Ayyubi) yang didukung oleh elite politik saat itu.Tujuannya untuk membangkitkan pan-Islamisme dan semangat keagamaan umat Islam yang sedang terancam serangan tentara Salib.
Pada saat itu, peringatan maulid tidak hanya berupa puji-pujian tapi juga disisipi dengan hiburan yang melibatkan musisi, penyair dan pendongeng. Penonton dari semua kalangan, baik penguasa maupun rakyat jelata, kaya dan miskin, tumpah ruah menyambut peringatan kelahiran Nabi Muhammad tersebut. Banyak juga yang memanfaatkannya sebagai ladang bisnis, bertemunya antara pedagang dan pembeli. Kesuksesannya diukur dari seberapa banyak pengunjung yang hadir dan memeriahkan acara tersebut.
Sampai di Indonesia, peringatan maulid dimodifikasi menurut budaya daerah setempat. Selain membaca Al-Barjanzi, juga mengundang kiai terkenal untuk berceramah di pengajian.
Dalam tradisi Islam Jawa, peringatan ini menjelma menjadi Garebek Maulud yang di dalamnya melibatkan acara hiburan, pasar malam, mungkin juga diisi dengan lotere dan judi. Garebek Maulud sarat dengan praktik sinkretis yang mengusung simbol-simbol budaya, seperti makanan berbentuk gunung (gunungan), dihiasi dengan warna-warni bunga, telur, bunga dan lain-lain. Masyarakat meyakini gunungan itu mendatangkan berkah bagi siapa saja yang memperolehnya.
Beda Pandangan
Sebagaimana telah dikemukakan di depan, tradisi maulid melahirkan kontroversi dari dulu sampai sekarang, meski saat ini resonansinya mulai redup seiring makin dewasanya umat Islam dalam melihat perbedaan. Dukungan atas peringatan maulid ini berasal dari kalangan mazhab Syafi'i. Al-Suyuti, misalnya, menulis sebuah buku berjudul Husn Al-Maqsid fi 'Amal al-Maulid, untuk mengesahkan maulid.
Kalangan yang pro-maulid sadar bahwa peringatan ini jelas tidak memiliki dasar hukum dalam Alquran dan tidak pula dicontohkan secara eksplisit oleh Rasulullah. Namun, maulid -yang di dalamnya berisi pujian kepada Rasulullah- adalah praktik yang sesuai Islam itu sendiri. Embrio tradisi ini telah diperkenalkan oleh tiga penyair resmi Rasulullah, yaitu Hassan Ibn Thabit, Abdullah Ibn Rawahah, dan Ka'ab Ibn Malik.
Diriwayatkan bahwa Nabi sangat terkesan setelah mendengar pujian yang disampaikan Ka'ab. Kemudian Rasul menghadiahkan burdahnya dan mengalungkan ke pundak Ka'ab sebagai apresiasi kepadanya. Pujian-pujian, baik dalam bentuk syair maupun prosa- itu melahirkan genre yang unik dengan karakter ritme persajakan, yang dalam sastra Arab disebut al-mada ih al-nabawiyyah. Untuk menyanjung dan mendeskripsikan kesempurnaan Nabi diungkapkan dengan bahasa yang metaforik dan simbolik. Lihatlah bagaimana Al-Barjanzi, Al-Diba' atau Al-Burdah mengungkapkan pujian dan sanjungan kepada Nabi, meliuk-liuk penuh majaz, ritmis dan tentu sangat indah (bagi yang memahaminya).
Tetapi inti dari dukungan terhadap peringatan maulid sebenarnya terletak pada konsep syafaat (pertolongan) Nabi Muhammad kelak di hari akhir nanti. Mereka yakin bahwa Nabi dapat memberikan syafaat kepada siapa pun yang dekat dengannya. Materi pujian yang di dalamnya menggambarkan Nabi sebagai pemberi syafaat, pertolongan atau ampunan inilah yang menjadi sumber perbedaan pendapat. Dalam sebuah hadis diriwayatkan, Nabi pernah memberikan syafaat kepada seseorang yang telah meninggal.
Sebaliknya, bagi kelompok reformis-puritan, seperti Ibn Taimiyyah dan Muhammad Abduh, mereka tidak setuju dengan tradisi maulid ini. Selain karena berbeda konsep tentang syafaat, tradisi maulid menjadi kegiatan yang sangat dicela karena di dalamnya bercampur antara yang sakral dan profan. Selain memuji Nabi sampai kelewat batas, peringatan ini sarat dengan hiburan dan hura-hura (sholawatan diiringi dengan musik/terbangan, jogetan).
Inilah sebabnya mengapa mauludan dicap sebagai perbuatan bid'ah (mengada-ada ibadah).
Namun dua perbedaan ini sebenarnya tidak perlu menjadikan umat Islam terpecah. Biarlah perbedaan itu tetap ada, asal saling menghormati. Baik yang tradisional maupun puritan, sebenarnya mereka sependapat memperingati hari lahirnya Nabi Muhammad (mauludan), asal dilakukan sewajarnya tanpa melanggar batas-batas menurut syariat Islam.
Sejujurnya, menyanjung atau memuji seorang tokoh boleh-boleh saja. Apalagi seorang Nabi akhir zaman pembawa risalah Islam yang sangat dikagumi umatnya. Umat Islam juga diperintahkan oleh Allah untuk bershalawat kepadanya. Hanya yang lebih penting sebenarnya bukan peringatan simbolik seperti mauludan itu, tetapi meneladani tindakan dan pikiran Nabi Muhammad SAW dalam kehidupan sehari-hari. (29)
-Abu Rokhmad, dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo, Semarang.

Tidak ada komentar: