29 Oktober 2011

KONSEP MARDHOTILLÂH DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN


A. Pendahuluan
Dalam realitas kehidupan sehari-hari umat Islam, konsep mardhâti ‘l llâh (ridha Allah) sudah begitu populer dan membudaya. Dalam bahasa lisan maupun tulisan, konsep itu begitu luas digunakan, lebih-lebih di kalangan masyarakat Muslim Indonesia. Dalam percakapan sehari-hari, kita sering mendengar ucapan orang, “Semoga Allah meridhai kita semua!” atau “Semoga ridha Allah beserta kita!” serta ungkapan sejenis lainnya. Dalam bahasa tulisan, kita sering menjumpai konsep itu dalam berbagai naskah formal maupun non-formal. Contoh penggunaan konsep ridha Allah dalam naskah formal, misalnya, dapat kita temukan dalam dokumen salah satu lembaga NU[1]”, Anggaran Dasar Muhammadiyah[2]; Anggaran Dasar PKS[3], Anggaran Dasar PKB[4], dan lain-lain. Dalam naskah non formal pun, seperti dalam surat undangan walîmat al-ursy dan undangan berbagai acara syukuran, kita selalu menemukan penggunaan konsep itu.
Karena begitu populer dan membudayanya penggunaan konsep ridha Allah di kalangan masyarakat Muslim Indonesia, tak dapat dipungkiri konsep tersebut telah menjadi milik dan memperkaya khazanah semantik bangsa Indonesia, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Daerah. Dam hampir-hampir semua orang mengenal konsep itu, dan lazim menggunakannya dalam bahasa pergaulan sehari-hari.
Namun penerimaan konsep mardhâti ‘l llâh (ridha Allah) secara luas di masyarakat membawa implikasi yang dilematis. Di satu sisi, penggunaan suatu kata atau konsep secara luas di masyarakat, menunjukkan bahwa masyarakat telah ramah dan terbiasa dengan konsep itu. Ini berarti bahwa konsep itu telah dimengerti arti dan maksudnya dalam bahasa sehari-hari. Tetapi di sisi lain, penggunaan suatu konsep dalam masyarakat luas, juga sering berimplikasi pada munculnya proses penyempitan dan perubahan makna, serta tidak jarang kehilangan makna denotatifnya.
Implikasi semacam itu juga terjadi dalam penggunaan kata atau konsep mardhâti ‘l llâh (ridha Allah). Dalam bahasa sehari-hari, kata “ridha” kurang lebih dimaknai atau sepadan dengan kata rela, menerima/diterima, izin, dalam bentuk kata kerja atau sifat. Kata-kata padanan itu, dalam budaya sehari-hari masyarakat Indonesia juga bermakna biasa dan datar, dalam arti tidak mengandung etos, spirit, dan kedalaman spiritual. Dengan kata lain, kata mardhâti ‘l llâh (ridha Allah) mengalami apa yang biasa disebut dengan proses desakralisasi, yakni sebuah proses di mana suatu konsep kehilangan nilai sakralnya.
Reduksi atau penyempitan makna seperti itu kemudian menyebabkan kata atau konsep mardhâti ‘l llâh (ridha Allah) kehilangan elan-vitalnya, terutama ketika dihubungkan dengan makna sejatinya, yakni makna asal yang sesungguhnya dari konsep itu. Inilah yang dalam hermeneutika disebut dengan proses distansiansi (distantiated), yakni suatu proses penjarakan atau penjauhan suatu teks dari makna aslinya, yang kemudian menyebabkan tercerabutnya makna suatu teks dari makna (konteks) aslinya atau dari situasi awal.[5]
Kalau pada level kehidupan sehari-hari, konsep mardhâti ‘l llâh (ridha Allah) tidak lagi memiliki kekuatan sakral, hambar, dan kering, maka implikasi pada dunia pendidikan pun kurang lebih sama. Artinya, konsep mardhâti ‘l llâh (ridha Allah) di dunia pendidikan—khususnya dalam proses pembelajaran—menjadi kurang bermakna dan kurang memiliki daya afeksi.
Menghadapi realitas semacam itu, maka dipandang perlu melakukan revitalisasi konsep mardhâti ‘l llâh, sehingga kembali memiliki kekuatan sakral dan sarat makna. Upaya yang dapat dilakukan untuk merevitalisasi konsep tersebut, pertama-tama adalah dengan mencari makna asal sebagaimana konsep itu dimaksud dalam Alquran. Inilah yang dalam teori linguistik disebut dengan menemukan kembali “pemakaian bahasa pada tingkat pertama” (primary modelling system)[6]. Upaya menemukan kembali makna asal konsep mardhâti ‘l llâh sebagaimana dimaksudkan dalam Alquran dilakukan dengan menelusuri makna diakronik konsep itu, baik secara etimologis maupun menurut penafsiran para mufassir Alquran.
Setelah makna asal konsep itu sebagaimana dimaksudkan dalam Alquran dan dipahami oleh masyarakat Muslim awal diketahui, selanjutnya penulis mencoba merefleksikannya dalam dunia pendidikan kontemporer serta berupaya menemukan model pendekatan dan implementasinya dalam dunia pendidikan.




B. Hakikat Konsep Mardhâti ‘l Llâh
Secara bahasa, kata mardhât adalah bentuk mashdar dari “رَضِيَ يَرْضى رِضاً ورُضاً ورِضْواناً ورُضْواناً ومَرْضاةً فهو راضٍ[7]. Menurut Ahmad Luthfi al-Sayyid, kata “رضي”, dalam bahasa Arab memiliki setidaknya empat konteks penggunaan[8]. Pertama, terkadang kata “رضي” digunakan tanpa mamiliki maf’ûl atau jâr-majrûr. Bentuk ini bisa terjadi ketika kata “رضي” dan berbagai bentukannya digunakan untuk menujukkan adanya keridhaan seseorang tanpa adanya objek yang dikehendaki.[9] Dalam konteks lainnya juga bisa memiliki objek yang dibuang (maf’ûl mahdzûf) untuk maksud yang jelas[10].
Kedua, terkadang kata “رضي” dan berbagai bentukannya bershighat mutaaddi dengan dirinya sendiri (متعديا بنفسه)[11], seperti pada ayat “و رضيت لكم الإسلام دينا[12]. Ketiga, kata itu bisa mutaaddi dengan menggunakan huruf “باء[13], misalnya “أرضيتم بالحياة الدنيا من الاخرة[14]. Keempat, ia juga dapat mutaaddi dengan “عن[15], seperti “رضي الله عنهم و رضوا عنه[16].
Bentuk fâ’il dari kata “رضي”, yakni “راض” bisa bermakna subyek dan obyek.[17] Kata “راض” yang bermakna subyek misalnya terdapat dalam firman Allah “لسعيها راضية[18]. Sedangkan kata “راض” yang bermakna obyek misalnya “فهو في عيشه راضية[19]
Dalam Alquran sendiri, konsep ridha disebutkan kurang lebih sebanyak 74 kali dalam berbagai bentuk[20]. Dalam tulisan ini, hanya akan dikaji beberapa di antaranya, terutama yang langsung merujuk dan relevan dengan konsep mardhâti ‘l llâh, yakni:
Pertama, surat al-Baqarah:207
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ
Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.
Kedua, surat al-Baqarah: 265
وَمَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ وَتَثْبِيتًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ كَمَثَلِ جَنَّةٍ بِرَبْوَةٍ أَصَابَهَا وَابِلٌ فَآَتَتْ أُكُلَهَا ضِعْفَيْنِ فَإِنْ لَمْ يُصِبْهَا وَابِلٌ فَطَلٌّ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.
Ketiga, surat al-Nisa: 114
لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma`ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.
Keempat, adalah surat al-Bayyinah: 8
جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ
Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga `Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.
Ketika menafsirkan surat al-Baqarah:207 “وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ”, imam Ibn Jauzy[21] menyebutkan adanya lima riwayat tentang sebab turunnya ayat itu. Pertama, berkenaan dengan al-amr bi al-ma’rûf dan al-nahy ‘an al-munkar. Kedua, berkenaan dengan pengorbanan Shuhaib al-Rumy. Ketiga, berkenaan dengan Zubair dan Miqdâd. Keempat, berkenaan dengan jihad di jalan Allah. Kelima, berkenaan dengan perjuangan dan pengorbanan kaum Muhajirin dan Anshar. Sementara itu, Izzu al-Din Ibn ‘Abd al-Salam[22] menyebutkan dua sebab turunnya ayat tersebut yaitu berkenaan dengan al-amr bi al-ma’rûf dan al-nahy ‘an al-munkar dan pengorbanan Shuhaib al-Rumy. Imam Al-Râzy[23] menambahkan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan pengorbanan Ali ibn Abi Thalib pada malam Nabi akan hijrah ke Yatsrib.
Penafsiran para ulama mufassir tentang konsep mardhâti ‘l llâh yang terdapat dalam ayat itu lebih menekankan pada sikap ridha, ikhlas, dan semata-mata hanya karena Allah, baik dalam melaksanakan al-amr bi al-ma’rûf dan al-nahy ‘an al-munkar maupun dalam berjihad di jalan Allah. Menurut Al-Alûsy, didahuluinya kalimat mardhâti ‘l llâh dengan kata “إبتغاء”, karena, perbuatan selalu berkaitan dengan niat. Siapa pun yang berbuat baik tanpa disertai dengan pengharapan pada ridha Allah semata, maka ia tidak akan memperoleh haknya selain hanya akan merintanginya (dari memperoleh kebaikan), dan sikap riyâ hanyalah akan menghancurkan pahala.[24]
Pelajaran pertama yang dapat diambil dari pandangan mufassir tentang konsep mardhâti ‘l llâh adalah pentingnya sikap ikhlas dalam melaksanakan al-amr bi al-ma’rûf dan al-nahy ‘an al-munkar, jihad di jalan Allah, serta segala sikap, perilaku, dan tindakan kita sehari-hari.
Imam Jalâl al-Dîn al-Suyûthi[25] menambahkan bahwa konsep mardhâti ‘l llâh dalam surat al-Baqarah: 207 juga bermakna takwa kepada Allah. Ia menyatakan, “وأرى من يشري نفسه ابتغاء مرضاة الله ، يقوم هذا فيأمر هذا بتقوى الله”. Dari pandangan al-Suyuthi tersebut, kiranya dapat diambil pelajaran kedua bahwa konsep mardhâti ‘l llâh juga berkaitan dengan konsep takwa kepada Allah. Bahwa segala perbuatan kita sehari-hari mesti dilakukan dalam rangka takwa kepada-Nya.
Ayat kedua adalah surat al-Baqarah: 265 “وَمَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ وَتَثْبِيتًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ كَمَثَلِ جَنَّةٍ بِرَبْوَةٍ أَصَابَهَا وَابِلٌ فَآَتَتْ أُكُلَهَا ضِعْفَيْنِ فَإِنْ لَمْ يُصِبْهَا وَابِلٌ فَطَلٌّ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ”. Dalam menafsirkan ayat tersebut, Imam Al-Mawardi[26] menyebutkan bahwa kalimat “يُنفِقُونَ أَمْوَلَهُمُ ابْتِغَآءَ مَرْضَاتِ اللهِ وَمَثَلُ الَّذِينَ” berkenaan dengan dua hal, yaitu bantuan yang diberikan kepada mujahidin dan bantuan kepada orang-orang yang taat beragama.
Imam al-Suyûthi[27] menyebutkan dengan merujuk pada riwayat Muqathil bin Hayyan bahwa kalimat “ابتغاء مرضاة الله” adalah “احتساباً”, yang berarti yang terfleksi dari hati terdalam atau berdasar nuraninya. Selain itu, Imam Al-Suyuthi juga mengutip riwayat al-Hasan yang menyebutkan bahwa kalimat “ابتغاء مرضاة الله” juga berarti “لا يريدون سمعة ولا رياء”, yang berarti tidak mengharapkan pujian dari orang lain. Imam al-Qusyairy[28] menyebutkan bahwa kalimat “ابتغاء مرضاة الله” pada ayat tersebut merupakan pembeda antara orang yang ikhlash dengan orang yang munafik.
Pelajaran pertama dari penafsiran para ulama terhadap surat al-Baqarah: 265 tersebut adalah bahwa menginfakan harta di jalan Allah mestilah berdasarkan refleksi atau pantulan hati nuraninya, yakni semata karena Allah dan tidak riya. Sedangkan pelajaran kedua yang dapat dimabil adalah bahwa ayat tersebut dikaitkan dengan ayat sesudahnya (al-Baqarah: 266) menegaskan perbedaan antara mukhlish dan munafik.
Ayat ketiga, yakni surat al-Nisa: 114
لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma`ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.
Penafsiran para mufassir terhadap konsep mardhâti ‘l llâh pada ayat tersebut tidak terlalu jauh berbeda. Imam Al-Khazin[29] ketika memaknai ayat itu menyatakan: “ابتغاء مرضاة الله: يعني طلب رضاه لأن الإنسان إذا فعل ذلك خالصاً لوجه الله نفعه وإن فعله رياء وسمعة لم ينفعه ذلك لقوله صلى الله عليه وسلم : « إنما الأعمال بالنيات » الحديث”. Ia menegaskan bahwa segala perbuatan yang baik yang dilakukan karena ikhlas, maka akan memperoleh manfaat; sebaliknya perbuatan baik yang kerjakan dengan riya ia tidak akan memberikan manfaat apapun.

Tidak ada komentar: