1. Pendahuluan
Masalah pendidikan tidak akan pernah selesai untuk dibicarakan, karena soal ini akan selalu terkait dengan kontekstualitas kehidupan umat manusia sepanjang zaman. Setiap perkembangan peradaban manusia sudah barang tentu selalu diikuti oleh berbagai dimensi kehidupan manusia itu sendiri, termasuk di dalamnya dimensi pendidikan. Berbagai pemikiran telah dikembangkan oleh para pakar tentang hakikat, makna, dan tujuan pendidikan.
Warna pemikiran itu sudah tentu amat dipengaruhi oleh pandangan hidup dan nilai-nilai budaya yang dianut oleh para pakar tersebut. Akan tetapi, dengan segala perbedaan pandangan yang mereka kemukakan, dalam satu hal mereka sama-sama setuju bahwa pendidikan bertujuan untuk memberi bekal moral, intelektual, dan keterampilan kepada anak didik agar mereka siap menghadapi masa depannya dengan penuh percaya diri.
2. Pendidikan sebagai Kegiatan dan Pendidikan sebagai Fenomena
Dalam perspektif lain, pendidikan juga dapat diartikan sebagai kegiatan dan sebagai fenomena. Sebagai kegiatan, pendidikan adalah setiap upaya yang secara sadar dirancang untuk membantu seseorang atau sekelompok orang mengembangkan suatu pandangan hidup, sikap hidup, atau keterampilan hidup. Sebagai fenomena, pendidikan adalah suatu perjumpaan antara dua orang atau lebih yang berdampak pada berkembangnya suatu pandangan hidup atau sikap hidup atas salah satu atau beberapa pihak. Jadi, pendidikan dapat diartikan sebagai suatu upaya yang dilakukan secara sadar, juga dapat berarti suatu peristiwa. Kalau berupa sebuah upaya, ia disebut pendidikan formal atau pendidikan nonformal, sedangkan kalau berupa peristiwa, ia disebut pendidikan informal.
Dalam khazanah keilmuan, dikenal dua istilah yang cukup populer, yaitu pendidikan dan pengajaran. Umumnya, para pemerhati ilmu menyatakan bahwa pendidikan lebih menekankan aspek dalam dari kedirian manusia. Adapun pengajaran lebih banyak bersentuhan dengan aspek luar. Dengan perkataan lain, bila pendidikan berkaitan erat dengan dimensi rohani, maka pengajaran lebih banyak berbicara tentang sarana dan prasarana dalam upaya memanusiakan manusia.
Dalam kenyataannya, dunia pendidikan atau keilmuan kita lebih banyak memusatkan perhatiannya pada dimensi pengajaran, terutama yang menyangkut dengan administrasi dan kurikulum pengajaran. Adapun aspek mendasar dari sistem pendidikan itu sendiri, yakni upaya melahirkan manusia yang cerdas, terampil dan memiliki akhlak mulia, agak terabaikan. Oleh karena itu, kata Syafii Maarif, tidaklah heran apabila dunia pendidikan kita sekarang ini sedang diombang-ambingkan oleh tarikan gelombang materialisme dan ateisme yang kasar dan ganas (Maarif, 1999).
3. Pendidikan Barat versus Pendidikan Islam
Munculnya gejala mengabaikan dimensi pendidikan, dalam arti akhlak mulia, di negara kita disebabkan beberapa hal. Pertama, landasan pendidikan kita lebih mengacu pada filsafat materialisme dan positivisme sehingga hasil pendidikan lebih dilihat dan dinilai dari aspek materi dan lahirian saja. Kedua, dasar filosofi pendidikan kita telah menyimpang dari jiwa kemanusiaan yang hakiki. Proses dan hasil pendidikan tidak banyak menampakkan wajah kemanusiaannya, tetapi justru sebaliknya, yang muncul adalah perilaku-perilaku yang menyerupai serigala, yaitu yang kuat memangsa yang lemah. Ketiga, kuatnya intervensi negara dalam dunia pendidikan sehingga banyak mereduksi ruang-ruang kreativitas dan imajinasi kemanusiaan. Akibatnya, produk pendidikan lebih banyak melahirkan manusia-manusia robot dan mekanis ketimbang manusia yang imajinatif, kreatif, dan berbudaya.
Umat Islam yang mengaku mengimani Al-Quran, tapi mayoritas mereka masih tertinggal di Dunia Ketiga dengan segala keterbelakangan, kemiskinan, dan kebodohan itu, tampaknya masih terlalu jauh untuk dapat ditampilkan sebagai pencipta dan dan pembawa obor peradaban baru yang segar, yang mungkin menjadi alternatif bagi umat manusia. Kita mungkin sepakat bahwa peradaban yang akan datang itu haruslah sebuah peradaban yang ramah, yang menempatkan fitrah manusia pada posisi yang wajar, tidak pada posisi yang tanpa daya, dan tidak pula pada posisi yang congkak antroposentrik, yaitu tipe manusia yang dihasilkan oleh peradaban renaissance Eropa. Dalam peradaban Barat (renaissance Eropa), pola pikir dan nalar telah mendominasi dunia pendidikan, sementara pola zikir dan cinta (hubb) menjadi sangat telantar. Manusia fikir dan nalar memang telah berhasil menaklukan alam secara spektakuler, tetapi ia semakin kehilangan orientasi spritual. Pada abad modern, peradaban renaissance Eropa telah melahirkan orang-orang seperti Nietzsche, Bertrand Russell, Sartre, dan lain-lain.
Pendidikan Barat mendasarkan diri pada penalaran dan rasionalitas, yang hal ini bertanggung jawab terhadap tumbuhkembangnya individualisme, skeptisisme, keengganan menerima hal-hal yang tidak dapat ditampilkan secara observasional, sikap menjauhi hal-hal yang bersifat teosentrik (Ilahiah), dan lebih cenderung ke hal-hal yang antroposentrik (basyariah). Pendidikan Barat yang telah beberapa abad ini mendominasi dunia, bertolak dari ajaran yang memisahkan ilmu dari tata hirarki nilai, dan hanya menggunakan satu nilai saja, yaitu objektif-netral. Ilmu dan teknologi dikembangkan objektif tidak memihak. Islam mengembangkan ilmu bertolak dari Iman, Islam, dan Ihsan. Ilmu dan teknologi dikembangkan untuk memupuk keimanan kita, bukan untuk mengeroposinya. Metodologi berpikir harus tertata sinkron dan sekaligus koheren dengan keimanan kita kepada Allah, Rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, malaikat-malaikat-Nya, hari akhir, dan takdir.
Keimanan tersebut bukan dipupuk secara dogmatis, melainkan dikembangkan secara rasional. Rasionalitas Al-Quran tidak bersifat positivistik (yang hanya mengakui kebenaran empirik sensual), melainkan rasionalitas yang a) ontologik, yaitu mengakui kebenaran sensual, logik, dan etik, b) yang aksiologik, yaitu mengakui nilai-nilai sensual, logik, etik, dan transendental, dan c) yang epistemologik, yaitu menggunakan pembuktian kebenaran yang bukan hanya menjangkau yang sensual dan logik saja, melainkan juga menggunakan metode berpikir yang mampu menjangkau kebenaran etik dan transendental.
Dalam pendidikan, kita mengenal teori-teori perkembangan yang disebut a) teori biologisme (teori pedagogik-pesimisme, teori enfoldment, teori faculty), b) teori empirisme (teori pedagogik-optimisme, teori tabularasa), dan c) teori konvergensi. Kita sering mengartikan salah pada Hadis Nabi yang berbunyi : “kullu maulûdin yûladu ‘alal-fitrah” (setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci). Kata suci sering dianalogikan dengan tabularasa, bagaikan kertas putih, padahal fitrah anak yang lahir itu telah membawa keimanan pada Allah; telah membawa sesuatu yang baik. Konsep Islam ini berbeda dengan ketiga teori tersebut. Teori biologisme mengakui adanya bakat baik dan bakat jahat, sedangkan Islam berpandangan bahwa anak itu dilahirkan dalam bakat baik, bahkan ia telah membawa keimanan. Lingkungannyalah yang mengajak dia menjadi Yahudi, Nasrani, dan Majusi. Jadi, dalam pandangan Islam, ketiga teori perkembangan tersebut tidak cocok. Oleh karena itu, Islam menawarkan teori fitrah, yang mengakui bahwa anak itu lahir pada hakikatnya baik, dan Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih jalan yang baik atau jalan yang buruk (Maarif, 1999).
4. Pendidikan Memanusiakan Manusia
Diskusi mengenai fenomena kemanusiaan dan pemanusiaan tidak dapat terhindar dari pembicaraan mengenai pendidikan, baik dalam makna persekolahan, pendidikan nonformal, maupun pendidikan sebagai jaringan-jaringan kemasyarakatan. Definisi umum mengatakan bahwa pendidikan merupakan proses pemanusiaan menuju lahirnya insan yang bernilai kemanusiaan. Agenda utama pendidikan adalah proses memanusiakan manusia menjadi manusia. Proses inilah yang disebut dengan pemanusiaan, yaitu proses membentuk manusia menjadi insan sejati.
Memanusiakan manusia merupakan agenda utama pendidikan dan tujuan paling dasar dari perbuatan mendidik. Proses pendidikan mengandung makna adanya subjek dewasa yang menciptakan wacana bagi yang belum dewasa untuk keluar dari situasi ketidakdewasaan. Proses mengangkat subjek didik keluar dari situasi itu hanya akan berhasil, manakala para pendidik memiliki pengetahuan dasar mengenai citra dan pemuliaan manusia. Jika para pendidik memiliki citra dan citarasa mendalam mengenai manusia, maka mereka akan menjalankan proses pendidikan menuju pembentukan insan sejati.
5. Teori Taut dan Padan dalam Sistem Pendidikan Kita
Sebagai sebuah agenda proses kemanusiaan dan pemanusiaan, pendidikan dapat dipandang dari dua sisi, yaitu a) sebagai proses pendewasaan peserta didik untuk hidup pada alam demokrasi, dan b) sebagai wahana untuk memasuki sektor ekonomi produktif. Dikatakan oleh John Dewey bahwa agenda utama pendidikan secara fungsional adalah membentuk komunitas-komunitas sosial yang ideal sebagai bagian dari proses transformasi pendewasaan peserta didik, apa pun bentuk dan sesperti apa pun ragam pendidikan itu dikemas. Pemikiran John Dewey ini sangat bertolak belakang dengan sistem pendidikan yang dikembangkan di negara-negara Eropa Timur, yang menekankan pada konsep tata ekonomi berencana (planned economic order). Konsep ini mengatakan bahwa perencanaan pendidikan diupayakan taut dan padan (link and match) dengan perencanaan ekonomi, sehingga proses dan isi pendidikan dikendalikan oleh kebutuhan pasar kerja.
Menurut teori ini, perencanaan pendidikan harus dikaitkan dengan perencanaan tenaga kerja, dan karenanya, keluaran ekonomi yang diharapkan dikaitkan langsung dengan persyaratan-persyaratan persekolahan. Di sini pendidikan dipandang sebagai proses penanaman modal dalam bentuk manusia (capital investment in human form), yang intinya pendidikan merupakan proses menyiapkan manusia untuk terjun di sektor produktif.
Memuncaknya angka pengangguran terdidik di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, bahkan juga di negara-negara maju, terutama sejak tahun 1980-an, membuat infrastruktur pendidikan harus ditata ulang dengan ancangan terpadu. Dalam hal ini, keterpaduan perencanaan pendidikan dengan perencanaan ketenagakerjaan nasional harus menjadi prioritas utama. Lembaga pendidikan juga harus menanamkan kepada peserta didik agar tidak terjebak pada tatanan pranata sosial dan ekonomi yang mapan, sehingga mereka secara kreatif dapat menciptakan lapangan kerja baru yang produktif. Dengan demikian, dapat terhindar dari peringatan Max Blaug (1970) bahwa pendidikan kekinian cukup potensial sebagai wahana meningkatkan angka pengangguran, mengingat makin banyaknya masyarakat terdidik yang tercabut dari akar kulturalnya (Danim, 2003). Dalam hal ini, struktur dan mekanisme praktik pendidikan di negara kita telah menghasilkan suatu sistem pendidikan yang tidak sensitif terhadap ide-ide baru dan perkembangan masyarakat, khususnya perkembangan dunia kerja (Zamroni, 2000).
6. Empat Kelemahan Mendasar dalam Sistem Pendidikan Kita
Setidak-tidaknya ada empat kelemahan mendasar dunia pendidikan kita di Indonesia. Pertama, bidang manajemen dan ketatalaksanaan sekolah, termasuk perguruan tinggi. Kelemahan ini mencakup dimensi proses dan substansi. Pada tataran proses, seperti perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi belum dilakukan dengan prosedur kerja yang ketat. Pada tataran substansi, seperti personalia, keuangan, sarana dan prasarana, instrumen pembelajaran, layanan bantu, layanan perpustakaan, dan sebagainya, tidak hanya substansinya belum komprehensif, melainkan kriteria keberhasilan untuk masing-masing unsurnya juga belum ditetapkan secara taat asas. Kemampuan pendekatan proses operasional menuju capaian substantif sering mengalami hambatan, karena masalah perilaku birokrasi, apatisme, disiplin rendah, biaya yang kurang, instrumen pendukung yang tidak valid, sifat kompetitif yang belum tumbuh, dan dukungan masyarakat yang rendah.
Kedua, komitmen pemerintah Indonesia yang lama dalam mengalokasikan dana pendidikan dinilai belum memadai. Mudah-mudahan pemerintahan baru sekarang ini, secara bertahap, akan menaikkan anggaran pendidikan dalam APBN menuju angka ideal 20 %. Ketiga, masalah kultural yang muncul pada dunia pendidikan kita adalah reformasi pendidikan akan sangat ditentukan oleh masyarakat pendidikan yang ada di lembaga pendidikan tersebut. Biasanya dalam lembaga pendidikan mana pun terdapat tiga kelompok yang berbeda : pertama adalah kelompok antusias, kedua adalah kelompok apatis, dan ketiga adalah kelompok status quo. Dalam reformasi pendidikan di tingkat mana pun, ketiga kelompok ini akan selalu ada.
Keempat, faktor geografis yang menjadi kendala dalam mobilitas tenaga edukatif, kerjasama kelembagaan, kedekatan dengan sumber informasi, jaringan teknologi informasi, dan sebagainya. Faktor geografis inilah yang menyebabkan sulitnya menyusun kebijakan pendidikan yang bermutu, karena peserta didik menyebar mulai dari Jakarta hingga Lembah Baliem di Irian dan Suku Kubu di Jambi (Danim, 2003).
Jika akhlak pribadi dan akhlak sosial menjadi ukuran, tampaknya kita telah sampai pada kesepakatan bahwa kondisi pendidikan budi pekerti bangsa telah mengalami kegagalan total. Tabiat buruk peserta didik di lembaga-lembaga pendidikan saat ini kelihatannya makin parah. Fenomena makro membuktikan bahwa tabiat buruk para peserta didik khususnya, dan generasi muda umumnya, telah mengalami pergeseran paradigma yang dramatik. Fenomena ini bukan hanya di kota-kota besar di Indonesia, tetapi juga sudah menjadi isu internasional dan global. Inilah tanda peradaban baru dalam proses kemanusiaan dan pemanusiaan, yaitu ketika lembaga pendidikan belum optimal membekali sisi kognisi dan keterampilan anak didik, ketika itu pula dimensi afeksinya belum dapat dioptimalkan.
Tabiat buruk para peserta didik kita, antara lain perkelahian pelajar, pengompasan, deviasi seksual, penjambretan, penodongan, pencurian, narkoba, minuman keras, mogok belajar, ekstasi, perbuatan asusila, pengrusakan, pemukulan guru, dan sebagainya. Tabiat buruk para peserta didik disebabkan oleh faktor-faktor yang sangat kompleks dan rumit, tidak terkecuali faktor keluarga dan bawaan. Penyebabnya antara lain dikatakan oleh Widavsky (1987) bahwa di sekolah-sekolah ada kecenderungan kuat makin tumbuh subur aneka tindakan kejahatan para siswa akibat kontak-kontak internal dan eksternal. Jika dicermati secara saksama, realitas dan tabiat sosial kontemporer terasa makin sulit dipahami. Kehidupan sosial di sekitar kita seakan-akan kehilangan jejak untuk merepresentasikan aneka tataran ideal kemanusiaan seperti figuritas, spritualitas, moralitas, religiositas, dan daya sensibilitas sosial. Representasi sosial seringkali menjelma hanya sebagai sosok imajiner belaka.
7. Basis Pendidikan Menuju Masa Depan
Dilihat dari aspek ekonomi, format dasar pemanusiawian pendidikan adalah terpenuhinya keunggulan akademik, keterampilan vokasional, dan keunggulan pribadi sebagai wirausaha yang fungsional bagi kehidupan lulusan. Dengan format dasar ini, kehadiran praksis pendidikan yang manusiawi akan menggeser paradigma kinerja sekolah dari back to basics ke forward to future basics. Paradigma ini menekankan pada lima titik tekan utama dalam memanusiawikan pendidikan, yaitu a) bagaimana berpikir (how to think), b) bagaimana belajar (how to learn), c) bagaimana menjadi manusia (how to be), d) bagaimana berkreasi (how to create), dan e) bagaimana menjalani kehidupan bersama (how to living together).
Jadi, praksis pendidikan yang manusiawi amat sarat dengan muatan demokrasi pendidikan, sehingga ia menjadi semacam pendidikan alternatif. Pendidikan model ini diorganisasikan dengan pola pendidikan yang kurikulumnya bersifat desentralistik, yaitu peserta didik dapat memilih materi pembelajaran sesuai dengan minatnya. Selain itu, materi yang disajikan harus sesuai dengan kebutuhan dan lingkungan, biayanya murah, sederhana, luwes birokrasinya, dan menempatkan peserta didik sebagai subjek. Inti demokrasi pendidikan adalah menempatkan manusia pada spektrum keberagaman, bukan keseragaman, baik potensi vokasional maupun bakatnya. Satu sisi di antaranya adalah menumbuhkan iklim dialogis di lingkungan sekolah, yang memungkinkan guru dan anak didik berbeda pendapat.
8. Abilitas Manusia
Di samping itu, pendidikan juga harus memperhatikan abilitas manusia. Dalam hal ini, Gardner (1983) memetakan abilitas manusia ke dalam tujuh kategori komprehensif yang disebut dengan multople intelligence atau kecerdasan multipel.
a. Intelegensi linguistik (linguistoc intelligence), berupa kemampuan manusia untuk menggunakan kata-kata secara efektif, baik lisan maupun tulisan, bukan hanya sekedar membaca, berbicara, dan menulis secara nominal.
b. Intelegensi logikal matematikal (logical-mathematocal intelligence), berupa kemampuan manusia dalam menggunakan angka-angka secara efektif, yang diharapkan nanti anak didik dipersiapkan menjadi ahli matematika, akuntan pajak, atau ahli statistik.
c. Intelegensi spasial (spacial intellegince), berupa kemampuan manusia untuk mencerna dunia visual secara akurat, seperti pengembangan kecakapan dalam bidang keterampilan artistik, dekorasi interior, dan arsitektur.
d. Intelegensi bodily kinesthetoc intelligence, yaitu kemampuan manusia dalam menggunakan anggota badan untuk mengekspresikan ide dan perasaan, seperti aktor, badut, penyanyi, dan atlit.
e. Intelegensi musikal (musical intelligence), yaitu kemampuan manusia dalam mempersepsi, membedakan, mentransformasikan, dan meng-ekspresikan aneka bentuk musik, termasuk sensitivitas ritme, melodi, dan jenis musik.
f. Intelegensi interpersonal (interpersonal intelligence), yaitu kemampuan manusia dalam mempersepsi dan membuat perbedaan dalam suasana, intensi, motivasi, dan perasaan orang per orang, termasuk sensitivitas ekspresi muka, suara, mimik, kemampuan membedakan aneka ragam wacana interpersonal, dan kemampuan merespons wacana interpersonal secara pragmatis.
g. Intelegensi intrapersonal (intrapersonal intelligence), yaitu kemampuan untuk bertindak sesuai dengan basis keilmuan yang ada padanya, misalnya, kemampuan untuk memahami diri sendiri secara akurat, baik keunggulan maupun kelemahannya. Inteligensi ini dapat juga melihat kesukaan pribadi, intensi, motivasi, temperamen, disiplin diri, memahami diri sendiri, dan harga diri.
9. Teori Keunggulan dan Keberbakatan
Di dalam dunia pendidikan dikenal istilah keunggulan (exellence) dan keberbakatan (giftedness). Keunggulan : a) mengacu pada superioritas atau kejeniusan, b) berkembang melalui asah otak intelektual, seperti melalui proses pendidikan dan pelatihan, c) otak intelektual secara genetik telah terbentuk sejak lahir. Keberbakatan : a) cenderung berkembang melalui asah otak emosional, b) otak emosional ditentukan oleh bagaimana cara lingkungan memberikan stimulus terhadap otak manusia itu.
Sistem pendidikan yang hanya memperhatikan keunggulan otak intelektual dengan poros pengembangan superioritas tunggal, yaitu mengejar prestasi belajar semata, akan melahirkan sistem pembelajaran yang tidak memperhatikan otonomi peserta didik, hanya mengejar skor tinggi, komunikasi guru dengan murid hanya satu arah, pengorganisasian pembelajaran hanya mempermudah kerja, padahal era mengagung-agungkan kecerdasan otak (IQ) sekarang ini sudah berakhir. Saat ini, menurut Daniel Goleman, kecerdasan otak kurang bermanfaat secara signifikan tanpa kehadiran otak emosional (EQ).
Ki Hajar Dewantara pernah mengutip pendapat (teori) Maria Montessori yang mengatakan bahwa perlu hadirnya pendidikan baru yang memenuhi kaidah kodrat alami manusia ke arah hidup yang bebas dan merdeka. Metode pendidikan model Montessori ini diyakini dapat memenuhi tuntutan zaman, yaitu tuntutan roh kemerdekaan berdasarkan pengakuan atas aspek kodrati alamiah manusia. Sebagai sebuah teori kependidikan yang berpijak pada dimensi paling asasi dari potensi manusia, teori ini tidak akan pernah tenggelam substansinya. Walaupun teori Montessori ini terfokus pada pendidikan anak-anak, tetapi dasar kemerdekaan dan kebebasan serta spontanitas yang ditawarkannya tetap relevan sampai sekarang, termasuk pendidikan bagi orang dewasa. Di Indonesia teori Montessori ini cukup banyak dijadikan rujukan, khususnyan bagi penulis literatur akademik kependidikan klasik.
10. Praksis Pendidikan
Seiring dengan perkembangan ekonomi negara-negara berkembang yang masih rendah, yang efeknya berimbas pada dunia pendidikan, maka muncullah istilah atau wacana praksis pendidikan. Fenomena ini tampaknya umum terjadi di negara-negara berkembang yang basis kognitif dan daya bayar masyarakatnya masih rendah. Jadi, praksis pendidikan ini cenderung memperlakukan peserta didik dan juga guru sebagai robot, inhuman, dan impersonal, dengan hasil akhir berupa lulusan lembaga pendidikan yang dasar kepribadiannya tidak kreatif dan lemah kemandiriannya. Kondisi inhuman dan impersonal ini pun terasa pada jaringan-jaringan kemasyarakatan, yang dalam hal ini masyarakat tidak jarang harus tunduk pada satu kriteria politik yang tidak dapat ditawar. Masalah ini juga mengakibatkan hak-hak istimewa makin menonjol pada kalangan tertentu, sehingga pendidikan di masyarakat tidak kondusif bagi proses pembentukan manusia seutuhnya.
Multiefek praksis pendidikan dalam dunia kependidikan kita yang paling dirasakan adalah rendahnya kemampuan berpikir kritis dari para lulusan sekolah yang hanya menjalankan sistem pembelajaran yang monoton, drill, dan rote learning. Fenomena ini juga merambah ke jaringan-jaringan kemasyarakatan, misalnya, dominasi kriteria politik masuk dalam pelarangan karya-karya akademik dan karya-karya seni. Hal-hal yang boleh diterbitkan dan dipertontonkan hanyalah yang berkenan di mata penguasa. Adapun kebenaran faktual di balik karya akademik dan karya seni itu cenderung dinafikan, tanpa memberdayakan kalangan akademisi atau analis untuk menilai bobot akademik atau nilai keseniannya. Dalam praksis pendidikan, anak didik kita tidak hanya memiliki ruang gerak berpikir kritis di sekolah, melainkan juga mereka dipaksa hidup dalam belenggu nonakademik dan nonilmiah tatkala hidup di tengah-tengah masyarakat.
11. Manusia yang Berkualitas
Jika kemampuan berpikir kritis merupakan satu ciri manusia Indonesia yang berkualitas, dan ia antara lain akan ditumbuhkan melalui transformasi pemanusiaan pada lembaga pendidikan formal, maka ada dua agenda pendidikan yang harus menjadi fokus kita. Pertama, kemampuan berpikir kritis dari manusia Indonesia harus diterima secara politis dalam konteks politik pendidikan, antara lain dengan memasukkannya sebagai salah satu ciri manusia Indonesia berkualitas yang menjadi tujuan pendidikan nasional. Kedua, pelembagaan berpikir kritis harus mengalami penguatan praksis pada tingkat pembelajaran, antara lain dengan menerapkan pola diskusi dan dialog secara dua arah, bahkan multiarah antarsumber daya manusia kependidikan pada kelembagaan pendidikan formal, termasuk pendekatan pemecahan masalah (Danim, 2003).
Khusus untuk isu pendidikan madrasah (sekolah), maka ciri manusia yang berkualitas, antara lain ditandai dengan lahirnya masyarakat belajar yang profesional. Artinya, semua warga madrasah (sekolah) selalu berusaha : a) mengejar dan mengembangkan kepandaian atau keahlian secara terus-menerus sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing, b) memiliki komitmen terhadap kualitas, c) memiliki dan mengembangkan rasa tanggung jawab moral, sosial, intelektual, dan spritual, serta d) memiliki dan mengembangkan rasa kesejawatan (teamwork) yang cerdas, dinamis, dan kompak. Inti masyarakat belajar yang profesional adalah tergeraknya semua warga madrasah (sekolah) untuk berpartisipasi aktif dalam melakukan pengembangan kualitas pendidikan sesuai dengan keahlian dan tugasnya masing-masing.
12. Kontrak Belajar Arah Diri
Semua warga madrasah (sekolah) dituntut untuk melakukan kontrak belajar arah diri yang diwujudkan dalam rencana-rencana tindakan yang jelas dan realistik, yang mencakup hal-hal berikut.
a. Merumuskan visi, yakni gambaran terbaik yang diinginkan oleh kepala madrasah dan warga madrasah (sekolah) itu.
b. Merumuskan tujuan, yakni keberhasilan-keberhasilan khusus yang ingin dicapai untuk mewujudkan visi yang telah dirumuskan.
c. Mengidentifikasi tantangan-tantangan yang dihadapi, yang merupakan ujian bagi warga madrasah (sekolah) untuk mampu menghadapi dan menyelesaikannya.
d. Menyusun rencana yang meliputi kegiatan, metode, strategi, sumber-sumber yang dapat digunakan untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut, dan sekaligus jadwal kegiatannya yang menunjukkan tercapainya tahapan rencana kerja.
e. Mengidentifikasi masalah atau hal-hal yang menyebabkan kegagalan.
f. Mengupayakan pencegahan, yaitu strategi yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah.
g. Menetapkan titik tolak, yaitu indikasi awal tentang pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh warga madrasah (sekolah) dalam bidang yang berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai.
h. Melakukan evaluasi mulai dari capaian minimum (perubahan kecil yang dapat dicapai), memuaskan (kinerja yang memadai), sampai dengan capaian yang bagus sekali (kinerja yang menunjukkan keahlian).
i. Mendemonstrasikan hasil, yaitu membuktikan bahwa warga madrasah (sekolah) telah berhasil mengatasi tantangan dan mencapai tujuan.
j. Kalau perlu, merayakan atau menyambut keberhasilan dalam pelaksanaan rencana tindakan tersebut (Muhaimin, 2003).
13. Peningkatan Profesiolitas dan Kualitas Guru
Saat ini struktur dan mekanisme praktik pendidikan lebih menekankan pada proses pengajaran oleh guru (teacher teaching) dibandingkan dengan proses pembelajaran oleh murid (student learning). Dalam hal ini, guru harus melaksanakan tugas dengan metode yang telah ditentukan oleh “pihak atas”, terlepas guru suka atau tidak suka terhadap perilaku tersebut, cocok atau tidaknya metode tersebut dengan materi yang harus disampaikan di depan peserta didik. Oleh karena itu, muncullah robot-robot yang mengajar di kelas (robotoc teacher). Konsekuensi lebih lanjut adalah muncul iklim sekolah yang cenderung bersifat otoriter. Iklim yang tidak demokratis ini menyebabkan proses sekolah menjadi statis, beku, dan menimbulkan efektif destruktif pada “keingin-tahuan, kepercayaan diri, kreativitas, kebebasan berpikir, dan self respect” di kalangan peserta didik.
Oleh karena itu, restrukturisasi dan deregulasi pendidikan merupakan tuntutan yang perlu segera dilaksanakan agar pendidikan bisa berperan secara maksimal dalam menghadapi tantangan pembangunan karakter bangsa pada masa kini dan masa mendatang.
Untuk melaksanakan program tersebut diperlukan, setidak-tidaknya, empat aspek, yaitu a) reorientasi terhadap sistem pembelajaran siswa, b) meningkatkan profesionalitas guru, c) meningkatkan akuntabilitas sekolah, dan d) mengajak partisipasi orang tua peserta didik dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Karena keterbatasan ruang lingkup bahasan, maka pada makalah ini hanya akan dibahas aspek peningkatan profesionalitas dan kualitas guru saja, sedangkan ketiga aspek yang lain tidak secara khusus disinggung.
Untuk mewujudkan profesionalitas dan kualitas guru dapat dirumuskan pengertian dan kebijakan sebagai berikut.
a. Guru adalah kreator proses belajar-mengajar yang bertugas mengembangkan suasana bebas bagi siswa untuk mengkaji apa yang menarik minatnya, mengekspresikan ide-ide dan kreativitasnya dalam batas norma-norma yang ditegakkan secara konsisten, juga guru dianggap sebagai model bagi peserta didik
b. Kebesaran jiwa, wawasan, dan pengetahuan guru atas perkembangan masyarakatnya akan mengantarkan para siswa untuk dapat berpikir melewati batas-batas kekinian, berpikir untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.
c. Guru harus memiliki pemahaman yang mendalam atas materi yang akan disampaikan (depth of understanding) kepada peserta didik.
d. Guru harus mampu menyampaikan materi pelajaran tersebut dengan penuh kreativi-tas dan improvisasi yang orisinal, sehingga proses belajar-mengajar terasa segar dan alami (authentoc learning).
e. Dalam penyampaian mata pelajaran, guru harus menyadari sepenuhnya bahwa seiring dengan penyampaian materi pelajaran itu, ia juga harus mengembangkan watak dan sifat yang mendasari dalam mata pelajaran tersebut.
f. Guru harus diberi kebebasan dan otonomi yang lebih luas, karena orang yang paling tahu keadaan peserta didik dan lingkungan tugasnya adalah guru itu sendiri. Instruksi, pengarahan, dan petunjuk dari atas perlu sedikit demi sedikit dihilangkan.
g. Guru harus lebih banyak diberi kesempatan untuk merencanakan kerjasama di sekolah, mengarahkan peserta didik agar lebih banyak melaksanakan sistem belajar individual atau sistem belajar kelompok kecil.
h. Guru harus memiliki waktu untuk merencanakan dan melaksanakan pengajaran serta mengevaluasi apa yang telah dilaksanakan. Guru juga harus mendapatkan kesempatan untuk menerima kritik, komentar, dan saran-saran, baik dari kolega di sekolah maupun dari luar sekolah.
i. Guru harus dipandang sebagai i) individu yang memikiki tanggung jawab penuh dalam proses belajar-mengajar; ii) sebagai individu yang mampu memikirkan dan melaksanakan apa yang seharusnya dilakukan untuk kebaikan peserta didik; iii) sebagai individu yang mampu berbuat sesuatu untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
j. Guru tidak harus bekerja dengan mendasarkan pada petunjuk teknis yang diberikan oleh aparat yang lebih tinggi yang dalam banyak hal bersifat teoretis, melainkan guru harus memiliki kekebasan untuk melaksanakan tugas dengan cara yang mereka anggap paling tepat, paling efisien, dan paling baik (Zamroni, 2000).
k. Guru harus membuat modifikasi belajar yang sesuai dengan tahap perkembangan siswa, karena kemampuan siswa untuk menangkap suatu mata pelajaran berhubungan dengan tahap-tahap perkembangan kognitif mereka (Djiwandono, 2002).
14. Karakteristik Kerja Guru
Untuk mengetahui seluk-beluk guru, berikut ini karakteristik kerja guru yang secara umum sudah banyak diketahui oleh insan kependidikan sebagai berikut.
a. Pekerjaan guru adalah pekerjaan yang bersifat individual dan nonkolaboratif, artinya, dalam melaksanakan tugas-tugas pengajarannya, guru memiliki tanggung jawab secara individual, tidak mungkin dikaitkan dengan tanggung jawab orang lain.
b. Pekerjaan guru adalah pekerjaan yang dilakukan dalam ruang terisolir dan menyerap seluruh waktu. Artinya, seluruh waktu guru dihabiskan di ruang-ruang kelas bersama para siswanya. Implikasi dari hal ini adalah bahwa keberhasilan kerja guru tidak hanya ditentukan oleh kemampuan akademik, tetapi juga oleh motivasi dan dedikasi guru untuk terus dapat hidup dan menghidupkan suasana kelas.
c. Pekerjaan guru adalah pekerjaan yang kemungkinan terjadinya kontak akademik antarguru rendah. Artinya, setiap hari berapa lama guru bisa berinteraksi dengan sejawat guru. Dalam interaksi ini, apa yang paling banyak dibicarakan oleh para guru. Banyak bukti menunjukkan bahwa interaksi akademik antarguru sangat rendah. Sebagai ilustrasi, kalau dokter bertemu dokter, hal yang dibicarakan adalah tentang penyakit atau penemuan baru dalam pengobatan. Akan tetapi, kalau guru ketemu sesama guru, hal yang dibicarakan pada umumnya adalah tentang kredit motor atau berapa besar cicilan rumah.
d. Pekerjaan guru tidak pernah mendapatkan umpan balik. Artinya, guru sangat jarang menerima informasi tentang komentar atau kritik atas apa yang telah dilakukan dalam melaksanakan proses belajar-mengajar, yang diterima oleh guru. Berdasarkan umpan balik inilah, seharusnya, guru akan memperbaiki dan meningkatkan kualitas proses belajar-mengajarnya.
e. Pekerjaan guru memerlukan waktu untuk mendukung waktu kerja di ruang kelas. Artinya, waktu kerja guru tidak terbatas hanya di ruang-ruang kelas saja, justru dalam banyak hal, waktu guru untuk mempersiapkan proses belajar-mengajar di ruang kelas lebih lama. Berkaitan dengan padatnya waktu guru itu, muncul pertanyaan, kapankah guru dapat merenungkan atas apa yang telah dilakukan bagi para siswanya.
Fuller dan Brown membagi perkembangan kehidupan guru ke dalam tiga tahap, yaitu a) tahap survive, b) tahap guru memperhatikan situasi, dan c) tahap guru memperhatikan siswa. Tahap pertama ditandai dengan kecemasan dan ketakutan, karena guru dianggap sebagai orang yang pandai mengajar. Pada tahap ini, muncul pertanyaan-pertanyaan : “apakah siswa menyukai saya?” “bagaimana sikap guru-guru lain terhadap saya?”, “apakah kepala sekolah berpikir bahwa saya telah melakukan pekerjaan dengan baik?”.
Tahap kedua ditandai dengan munculnya sikap guru yang frustrasi karena keterbatasan dalam menguasai berbagai ilmu yang harus diajarkan kepada siswa. Besarnya kelas, terbatasnya waktu, kurangnya sumber materi pengajaran adalah contoh-contoh penyebab frustrasi guru karena berbagai situasi pengajaran. Tahap ketiga ditandai dengan pengenalan kebutuhan sosial dan emosi siswa pada tingkat perkembangan yang berbeda, mengidentifikasi perbedaan individu dalam kelas, dan menyadari beberapa materi yang tidak tepat untuk siswa tertentu. Berdasarkan penemuan Fuller dan Brown ini, tidak mengherankan apabila ada beberapa guru tidak dapat memenuhi kebutuhan individu siswa (Djiwandono, 2002).
Ada dua model peningkatan profesionalitas dan kualitas guru, yaitu hidden curriculum (kurikulum tersembunyi/tidak langsung) dan self reflection (refleksi diri).
a. Hidden curriculum adalah proses penanaman nilai-nilai dan sifat-sifat baik pada para siswa. Proses ini dilaksanakan lewat perilaku guru selama melaksanakan proses belajar-mengajar. Misalnya, untuk menanamkan disiplin, guru harus memberi contoh bagaimana perilaku mengajar yang disiplin, yaitu dengan memulai dan mengakhiri pelajaran tepat pada waktunya.
b. Self reflection adalah suatu kegiatan untuk mengevaluasi proses belajar-mengajar yang telah dilaksanakan untuk mendapatkan umpan balik dari apa yang telah dilakukan. Umpan balik tersebut antara lain berupa i) pemahaman siswa tentang apa yang telah disampaikan, ii) perilaku guru yang tidak efisien dan tidak efektif, iii) perilaku guru yang efisien dan efektif, iv) perilaku yang perlu diperbaiki, v) perilaku yang diinginkan oleh para siswa, dan vi) perilaku yang seharusnya dikerjakan. Berdasarkan self reflection inilah guru akan memperbaiki perilaku dalam proses belajar-mengajar.
c. Paling tidak, ada dua cara bagi guru untuk melakukan self reflection, yakni i) guru menampung pendapat siswa pada akhir semester, ii) guru melaksanakan kegiatan riset. Cara pertama dilakukan lewat cara guru mengembangkan pertanyaan-pertanyaan yang mengungkap bagaimana perilakunya selama mengajar, dan memberikan pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk dijawab oleh para siswa. Berdasarkan jawaban siswa, guru akan mendapatkan gambaran diri tentang apa yang harus diperbaiki dalam melaksanakan proses belajar-mengajar. Cara kedua merupakan kegiatan meneliti sambil mengajar atau mengajar yang diteliti. Kegiatan mengajar dan kegiatan meneliti adalah dua kegiatan yang perlu dilakukan oleh guru dalam waktu yang sama.
Tentang peningkatan profesionalitas dan kualitas guru, dapat ditempuh dengan dua pendekatan, yaitu makrokosmik dan mikrokosmik. Pendekatan makrokosmik berarti permasalahan guru dikaji dalam kaitannya dengan faktor-fakktor lain di luar guru. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas guru, antara lain a) penguasaan guru atas bidang studi, b) penguasaan guru atas metode pengajaran, c) kualitas pendidikan guru, d) rekrutmen guru, e) kompensasi guru, f) status guru di masyarakat, g) manajemen sekolah, h) dukungan masyarakat, i) dukungan pemerintah. Pendekatan mikrokosmik melihat pendidikan sebagai suatu kesatuan unit yang hidup, yang terdapat interaksi dalam dirinya sendiri. Interaksi tersebut berupa proses belajar-mengajar yang terdapat di dalam kelas. Pendekatan ini memandang interaksi guru dan murid merupakan faktor pokok dalam pendidikan (Zamroni, 2000).
Guru yang terlatih baik akan mempersiapkan empat bidang kompetensi guru yang efektif dalam mencapai hasil belajar yang diharapkan, yaitu : a) memiliki pengetahuan tentang teori belajar dan tingkah laku manusia, b) menunjukkan sikap dalam membantu siswa belajar dan memupuk hubungan dengan manusia lain secara tulus, c) menguasai mata pelajaran yang diajarkan, d) mengontrol keterampilan teknik mengajar sehingga memudahkan siswa belajar (Djiwandono, 2002).
15. Multiperan Guru
Sebagian besar orang menganggap bahwa guru adalah orang yang membantu orang lain belajar. Guru tidak hanya menerangkan, melatih, memberi ceramah, tetapi juga mendesain materi pelajaran, membuat pekerjaan rumah, mengevaluasi prestasi siswa, dan mengatur kedisiplinan. Berikut ini dipaparkan lima peranan guru yang penting untuk dipedomani oleh para pendidik sebagai berikut.
a. Guru sebagai ahli instruksional. Artinya, guru harus tetap membuat keputusan tentang materi pelajaran dan metodenya. Keputusan ini didasarkan pada sejunlah faktor yang meliputi mata pelajaran yang akan disampaikan, kebutuhan dan kemampuan siswa, serta seluruh tujuan yang akan dicapai.
b. Guru sebagai motivator. Artinya, tidak ada satu pun guru yang dapat berhasil mengajar secara otomatis. Siswa juga harus berbuat dan bertindak. Sebagai motivator, guru harus memenuhi keinginan para siswa dalam mengekspresikan bakat dan minatnya, misalnya, disediakan papan yang bisa diisi oleh para siswa, apakah itu berupa karangan, gambar, lukisan, lelucon, dan sebagainya.
c. Guru sebagai manajer. Artinya, guru harus mengelola kelas yang meliputi : mengawasi kegiatan kelas, mengorganisasi pelajaran, melengkapi formulir-formulir, mempersiapkan tes, menetapkan nilai, bertemu dengan guru-guru lain dalam rapat guru, bertemu dengan orang tua siswa, menyimpan catatan-catatan tentang pribadi siswa, dan sebagainya.
d. Guru sebagai konselor. Artinya, guru harus sensitif dalam mengobservasi tingkah laku siswa dan harus mampu merespons secara konstruktif ketika emosi siswa mulai mengganggu belajar. Guru harus tahu jika ada siswa yang membutuhkan bantuan ahli jiwa. Selain itu, guru juga harus mampu menyiapkan tes intelegensi, tes prestasi atau tes minat, dan meng-interpretasikan hasil tes tersebut kepada orang tua siswa.
e. Guru sebagai model. Artinya, guru harus mampu bertindak secara tepat dan cepat dalam berpikir untuk menyelesaikan suatu masalah. Jika para guru memaksakan pendapat mereka dalam menyelesaikan masalah kepada siswa, mungkin siswa akan menilai bahwa tindakan guru itu bukan jawaban atau penyelesaian yang paling baik, dan siswa akan menganggap guru bertindak otoriter. Akan tetapi, jika guru melibatkan siswa dalam memilih alternatif penyelesaian masalah, maka siswa akan belajar dan menilai bahwa mereka sendiri mampu menghadapi masalah-masalah itu (Djiwandono, 2002).
16. Teori-Teori Belajar
Ada beberapa teori belajar yang dipandang penting untuk diketahui dan dipraktikkan oleh insan-insan pendidikan, yaitu sebagai berikut.
a. Teori Discovery Learning. Teori ini diperkenalkan oleh Jerome Bruner yang isinya mengatakan bahwa peranan guru harus menciptakan situasi yang mengarahkan siswa dapat belajar sendiri, daripada memberikan suatu paket yang berisi informasi dan pelajaran kepada siswa. Lebih jauh Bruner mengatakan bahwa siswa harus belajar melalui kegiatan mereka sendiri dengan memasukkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, yang dalam hal ini mereka harus didorong untuk mempunyai pengalaman, melakukan eksperimen-eksperimen, dan membiarkan mereka untuk menemukan prinsip-prinsip bagi mereka sendiri. Belajar menemukan sesuatu banyak manfaatnya dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan dan mata pelajaran.
b. Teori Reception Learning. Teori ini dikemukakan oleh David Ausabel yang isinya mengatakan bahwa faktor yang paling penting dalam mempengaruhi belajar adalah apa yang diketahui oleh siswa. Dalam hal ini, guru harus menyusun situasi belajar, memilih materi-materi yang tepat untuk siswa, kemudian menyampaikannya dalam bentuk pengajaran yang terorganisasi dengan baik, mulai dari yang umum sampai ke hal-hal yang lebih terperinci. Inti pendekatan Ausabel adalah apa yang disebut expository teaching, yaitu pengajaran yang sistematis dengan penyampaian informasi yang bermakna. Dua teori ini mempunyai beberapa pokok atau motif yang sama. Pertama, keduanya menganjurkan siswa agar aktif terlibat dalam proses belajar. Kedua, Ditekankan cara membawa pengetahuan siswa yang telah ada sebelumnya untuk digabungkan dengan pelajaran baru. Ketiga, keduanya mengasumsikan bahwa pengetahuan, suatu saat, secara perlahan-lahan dan terus-menerus akan berubah di dalam pikiran siswa (Djiwandono, 2002).
c. Teori The Disire to Learn. Teori ini disampaikan oleh Rogers yang intinya mengatakan bahwa manusia mempunyai keinginan untuk belajar. Keinginan ini dapat mudah dilihat dengan memperhatikan keingintahuan yang sangat dari seorang anak ketika ia menjelajahi lingkungannya. Di dalam kelas, anak diberi kebebasan untuk memuaskan keingintahuan mereka, untuk mengikuti minat mereka yang tidak boleh dihalangi, untuk menemukan diri mereka sendiri, dan apa yang berarti tentang dunia yang mengelilingi mereka.
d. Teori Significant Learning. Teori ini juga dikemukakan oleh Rogers yang intinya mengatakan bahwa belajar secara signifikan terjadi ketika belajar dirasakan relevan terhadap kebutuhan dan tujuan siswa. Meminjam teori tingkah laku dari Arthur Combs, Rogers mengatakan bahwa jika siswa belajar dengan baik dan cepat, maka siswa itu telah belajar secara signifikan.
e. Teori Learning without Threat (Belajar tanpa Ancaman dari Rogers). Teori ini mengatakan bahwa belajar yang paling baik adalah memperoleh dan menguasai suatu lingkungan yang bebas dari ancaman. Proses belajar dipertinggi ketika siswa dapat menguji kemampuan mereka, mencoba pengalaman baru, bahkan membuat kesalahan tanpa mengalami sakit hati karena kritik dan celaan.
f. Teori Self-initiated Learning (Belajar atas inisiatif sendiri). Teori ini menyatakan bahwa belajar akan sangat signifikan dan lebih meresap ketika belajar itu atas inisiatif sendiri, dan ketika belajar melibatkan perasaan dan pikiran si siswa itu sendiri. Dengan memilih pengarahan dari orang yang belajar sendiri, akan memotivasi tinggi dan kesempatan kepada siswa untuk belajar bagaimana belajar. Belajar atas inisiatif sendiri dengan memusatkan perhatian siswa pada program belajar, hasilnya akan amat baik.
g. Teori Learing dan Change (Belajar dan berubah dari Rogers). Teori ini mengatakan bahwa belajar yang paling bermanfaat belajar tentang proses belajar. Rogers mencatat bahwa siswa pada masa lalu belajar satu set fakta ilmu statistik dan ide-ide yang dirasakan dunia lambat berubah. Sekarang perubahan adalah fakta hidup. Ilmu pengetahuan berada dalam keadaan yang terus berubah secara konstan. Apa yang dibutuhkan sekarang, menurut Rogers, adalah individu yang mampu belajar dalam lingkungan yang selalu berubah (Djiwandono, 2002).
DAFTAR PUSTAKA
Danim, Sudarwan. 2003. Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan. Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
Djiwandono, Sri Esti Wuryani. 2002. Psikologi Pendidikan. Grasindo,
Jakarta.
Maarif, Ahmad Syafii (Ed.). 1999. Pendidikan dalam Perspektif Al-
Quran. LPPI, Yogyakarta.
Muhaimin. 2003. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. PSAPM,
Surabaya.
Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Bigraf Publishing,
Yogyakarta.
1 komentar:
mhn ijin copy datanya untuk bahan referensi, trimaksh.
Posting Komentar