3 September 2010

Puasa 5

Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaaly
Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid

[1]. Bagi Siapa Fidyah Itu ?
Bagi ibu hamil dan menyusui jika dikhawatirkan keadaan keduanya, maka diperbolehkan berbuka dan memberi makan setiap hari seorang miskin, dalil ialah firman Allah.
“Arti : Dan orang-orang yg tdk mampu berpuasa hendak membayar fidyah, dgn memberi makan seorang miskin” [Al-Baqarah : 184]
Sisi pendalilannya, bahwasa ayat ini ialah khusus bagi orang-orang yg sudah tua renta (baik laki-laki maupun perempuan), orang yg sakit yg tdk diharapkan kesembuhannya, ibu hamil dan menyusui, jika dikhawatirkan keadaan keduanya, sebagaimana akan datang penjelasan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma.
[2]. Penjelasan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma.
Engkau telah mengetahui wahai saudaraku seiman, bahwasa dalam pembahasan yg lalu ayat ini mansukh berdasarkan dua hadits Abdullah bin Umar dan Salamah bin Al-Akwa Radhiyallahuma, tetapi ada riwayat dari Ibnu Abbas yg menegaskan bahwa ayat ini tdk mansukh dan ini berlaku bagi laki-laki dan wanita yg sudah tua dan bagi orang yg tdk mampu berpuasa, maka hendak mereka memberi makan setiap hari seorang miskin.[Hadits Riwayat Bukhari 8/135]
Oleh krn itu Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma dianggap menyelisihi jumhur sahabat atau pendpt saling bertentangan, lebih khusus lagi jika engkau mengetahui bahwasa beliau menegaskan ada mansukh. Dalam riwayat lain (disebutkan).
“Diberi rukhsah bagi laki-laki dan perempuan yg sudah tua yg tdk mampu berpuasa, hendak berbuka kalau mau, atau memberi makan seorang miskin dan tdk ada qadha’, kemudian dimansukh oleh ayat.
“Arti : Karena itu, barangsiapa diantara kamu hadir di bulan itu (Ramadhan-ed) maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” [Al-Baqarah : 185]
Telah shahih bagi kakek dan nenek yg sudah tua jika tdk mampu berpuasa, ibu hamil dan menyusui yg khawatir keadaan kedua untuk berbuka, kemudian memberi makan setiap hari seorang miskin. [Ibnu Jarud 381, Al-Baihaqi 4/230, Abu Dawud 2318 sanad Shahih]
Sebagian orang ada yg melihat dhahir riwayat yg lalu, yaitu riwayat Bukhari pada kitab Tafsir dalam Shahih yg menegaskan tdk ada naskh, hingga mereka menygka Hibrul Ummat (Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma) menyelisihi jumhur, tetapi tatkala diberikan riwayat yg menegaskan ada naskh, mereka menygka ada saling pertentangan !
[3]. Yang Benar Ayat Tersebut (Al-Baqarah : 185) Mansukh
Yang benar dan tdk diragukan lagi ayat tersebut ialah mansukh, tetapi dalam pengertian orang-orang terdahulu, krn Salafus Shalih Radhiyallahu a’alaihim menggnkan kata nask untuk menghilangkan pemakaian dalil-dalil umum, mutlak dan dhahir dan selainnya, adapun dgn mengkhususkan atau mengaitkan atau menunjukkan yg mutlak kpd muqayyad, penafsirannya, penjelasan sehingga mereka menamakan istisna’ (pengecualian), syarat dan sifat sebagai naskh. Karena pada mengandung penghilangan makna dan dhahir maksud lafadz tersebut. Naskh dalam bahasa arab menjelaskan maksud tanpa memakai lafadz tersebut, bahkan (bisa juga) dgn sebab dari luar. [Lihat I’lamul Muwaqi’in 1/35 karya Ibnu Qayyim dan Al-Muwafaqat 3/118 karya As-Syatibi]
Sudah diketahui bahwa barangsiapa yg memperhatikan perkataan mereka (orang arab) akan melihat banyak sekali contoh masalah tersebut, sehingga akan hilanglah musykilat (problema) yg disebabkan memaknakan perkataan Salafus Shalih dgn perngetian yg baru yg mengandung penghilangan hukum syar’i terdahulu dgn dalil syar’i muataakhirin yg dinisbatkan kpd mukallaf.
[4]. Ayat Tersebut Bersifat Umum
Yang menguatkan hal ini, ayat di atas ialah bersifat umum bagi seluruh mukallaf yg mencakup orang yg bisa berpuasa atau tdk bisa puasa. Penguat hal ini dari sunnah ialah apa yg diriwayatkan Imam Muslim dan Salamah bin Al-Akwa Radhiyallahu ‘anhu : “Kami pernah pada bulan Ramadhan bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, barangsiapa yg mau puasa maka puasalah, dan barangsiapa yg mau berbuka maka berbukalah, tetapi hrs berbuka dgn memberi fidyah kpd seorang miskin, hingga turun ayat :
“Arti : Karena itu, barangsiapa diantara kamu hadir di bulan itu (Ramadhan-ed) maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” [Al-Baqarah : 185]
Mungkin ada masalah itu terjadi krn hadits Ibnu Abbas yg menegaskan ada nash bahwa rukhsah itu untuk laki-laki dan wanita yg sudah lanjut usia dan tdk mampu berpuasa, tetapi masalah ini akan hilang jika jelas bagimu bahwa hadits tersebut ha sebagai dalil bukan membatasi orangnya, dalil untuk memahami hal ini terdpt pada hadits itu sendiri. Jika rukhsah tersebut ha untuk laki-laki dan wanita yg sudah lanjut usia saja kemudian dihapus (dinaskh), hingga tetap berlaku bagi laki-laki dan wanita yg sudah lanjut usia, maka apa makna rukhsah yg ditetapkan dan yg dinafikan itu jika penyebutan mereka bukan sebagai dalil ataupun pembatasan ?
Jika engkau telah merasa jelas dan yakin, serta berpendpt bahwa makna ayat mansukh bagi orang yg mampu berpuasa, dan tdk mansukh bagi yg tdk mampu berpuasa, hukum yg pertama mansukh dgn dalil Al-Qur’an adapun hukum kedua dgn dalil dari sunnah dan tdk akan dihapus sampai hari kiamat.
Yang menguatkan hal ini ialah pernyataan Ibnu Abbas dalam riwayat yg menjelaskan ada naskh : “Telah tetap bagi laki-laki dan wanita yg sudah lanjut usia dan tdk mampu berpuasa, serta wanita yg hamil dan menyusui jika khawatir keadaan keduanya, untuk berbuka dan memberi makan orang miskin setiap harinya”.
Dan yg menambah jelas lagi hadits Muadz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu : “Adapun keadaan-keadaan puasa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah menetapkan puasa selama tiga hari setiap bulannya, dan puasa Asyura’ kemudian Allah mewajibkan puasa turunlah ayat.
“Arti : Hai orang-orang yg beriman diwajbkan atas kalian berpuasa ….” [Al-Baqarah : 183]
Kemudian Allah menurunkan ayat.
“Arti : Bulan Ramadhan ialah bulan diturunkan pada Al-Qur’an ….” [Al-Baqarah : 185]
Allah menetapkan puasa bagi orang mukim yg sehat, dan memberi rukhsah bagi orang yg sakit dan musafir dan menetapkan fidyah bagi orang tua yg tdk mampu berpuasa, inilah keadaan kedua ….” [Hadits Riwayat Abu Dawud dalam Sunan 507, Al-Baihaqi dalam Sunan 4/200, Ahmad dalam Musnad 5/246-247 dan sanad Shahih]
Dua hadits ini menjelaskan bahwa ayat ini mansukh bagi orang yg mampu berpuasa, dan tdk mansukh bagi orang yg tdk mampu berpuasa, yakni ayat ini dikhususkan.
Oleh krn itu Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma mencocoki sahabat, hadits mencocoki dua hadits yg lain (yaitu) hadits Ibnu Umar dan Salamah bin Al-Akwa Radhiyallahu ‘anhum, dan juga tdk saling bertentangan. Perkataan tdk mansukh ditafsirkan oleh perkataan : itu mansukh, yakni ayat ini dikhususkan, dgn keterangan ini jelaslah bahwa naskh dalam pemahaman sahabat berlawanan dgn pengkhususan dan pembatasan di kalangan ahlus ushul mutaakhirin, demikianlah diisyaratkan oleh Al-Qurthubi dalam tafsirnya.[Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an 2/288]
[5]. Hadits Ibnu Abbas dan Muadz Ha Ijtihad ?
Mungkin engkau menygka wahai saudara muslim hadits dari Ibnu Abbas dan Muadz ha semata ijtihad dan pengkhabaran hingga faedah bisa naik ke tingkatan hadts marfu’ yg bisa mengkhususkan pengumuman dalam Al-Qur’an dan membatasi yg mutlaknya, menafsirkan yg global, dan jawaban sebagai berikut.
[a]. Dua hadits ini memiliki hukum marfu’ menurut kesepakatan ahlul ilmi tentang hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seorang yg beriman mencintai Allah dan Rasul-Nya tdk boleh menyelisihi dua hadits ini jika ia anggap shahih, krn dua hadits ini ada dalam tafsir ketika menjelaskan asbabun nuzul, yakni dua shahabat ini menyaksikan wahyu dan turun Al-Qur’an, mengabarkan ayat Al-Qur’an, bahwa turun begini, maka ini ialah hadits musnad, [Lihat Tadribur Rawi 1/192-193 karya Suyuhthi, ‘Ulumul Hadits hal.24 karya Ibnu Shalah]
[b]. Ibnu Abbas menetapkan hukum ini bagi wanita yg menyusui dan hamil, dari mana beliau mengambil hukum ini ? Tidak diragukan lagi beliau mengambil dari sunnah, terlebih lagi beliau tdk sendirian tapi disepakati oleh Abdullah bin Umar yg meriwayatkan bahwa hadits ini mansukh.
Dari Malik dari Nafi’ bahwasa Ibnu Umar dita tentang seorang wanita yg hamil jika mengkhawatirkan anaknya, beliau berkata : “Berbuka dan ganti memberi makan satu mud gandum setiap hari kpd seorang miskin” [Al-Baihaqi dalam As-Sunan 4/230 dari jalan Imam Syafi’i, sanad Shahih]
Daruquthni meriwayatkan I/207 dari Ibnu Umar dan beliau menshahihkannya, bahwa beliau (Ibnu Umar) berkata : “Seorang wanita hamil dan menyusui boleh berbuka dan tdk mengqadha”. Dari jalan lain beliau meriwayatkan : Seorang wanita yg hamil berta kpd Ibnu Umar, beliau menjawab : “Berbukalah, dan berilah makan orang miskin setiap hari dan tdk perlu mengqadha” sanad jayyid, dari jalan yg ketiga : Anak perempuan Ibnu Umar ialah istri seorang Quraisy, dan hamil. Dan dia kehausan ketika puasa Ramadhan, Ibnu Umar pun menyuruh berbuka dan memberi makan seorang miskin.
[c]. Tidak ada Shahabat yg menentang Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma. [Sebagaimana dinashkan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni 3/21]
[6]. Wanita Hamil dan Menyusui Gugur Puasanya
Keterangan ini menjelaskan makna : “Allah menggugurkan kewajiban puasa dari wanita hamil dan menyusui” yg terdpt dalam hadits Anas yg lalu, yakni dibatasi “Kalau mengkhwatirkan diri dan anaknya” dia bayar fidyah tdk mengqadha.
[7]. Musafir Gugur Puasa dan Wajib Mengqadha’
Barangsiapa menygka gugur puasa wanita hamil dan menyusui sama dgn musafir sehingga menghrskan qadha’, perkataan ini tertolak krn Al-Qur’an menjelaskan makna gugur puasa dari musafir.
“Arti : Barangsiapa diantara kalian ada yg sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah bagimu berpuasa) sebanyak hari yg ditinggalkan itu pada hari-hari yg lain” [Al-Baqarah : 184]
Dan Allah menjelaskan makna gugur puasa bagi yg tdk mampu menjalankan dalam firman-Nya.
“Arti : Dan wajib bagi orang yg berat menjalankan (jika mereka tdk berpuasa) membayar fidyah (yaitu) memberi makan seorang miskin” [Al-Baqarah : 184]
Maka jelaslah bagi kalian, bahwa wanita hamil dan menyusui termasuk orang yg tercakup dalam ayat ini, bahkan ayat ini ialah khusus untuk mereka.
[Disalin dari Kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, edisi Indonesia Sipat Puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata]
Sumber F i d y a h : http://alsofwah.or.id

Tidak ada komentar: