Pendahuluan
Islam sufistik dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan Islam sertakhazanah intelektual Islam di Nusantara merupakan salah satu wacanayang masih menarik untuk dibincangkan. Hal ini tidak hanya disebabkanawal masuknya Islam ke Indonesia -sebagaimana ‘disepakati’ para ahlisejarah- bernuansa tasawuf. Namun juga dikarenakan adanya luka-lukasejarah dalam perkembangan Islam di negeri gemah ripah loh jinawi iniyang terkait langsung dengan issu Islam esoteris.
Eksekusi mati terhadap Syekh Siti Jenar pada abad ke 15 M di Jawa olehWali Songo, pembunuhan terhadap para penganut paham wahdah al-wujud diSerambi Mekah -Aceh- atas fatwa qadhi kesultanan yang waktu itu dijabatAl-Raniri, adalah luka yang akan tetap meninggalkan codet dalamlembaran sejarah Islam di Indonesia. Selanjutnya, budaya masyarakatNusantara yang amat kental dengan dunia mistik -terutama sejak masuknyaHindu dan Budha dari India- merupakan faktor yang tidak bisadikesampingkan yang membuat semakin menariknya wacana ini.
1. Tasawuf Falsafi di Dunia Islam
Tasawuf falasafi secara sederhana dapat didefenisikan sebagai kajiandan jalan esoteris dalam Islam untuk mengembangkan kesucian bathin yangkaya dengan pandangan-pandangan filosofis. Keberadaan tasawuf bercorakfalsafi ini pada satu sisi telah menarik perhatian para ulama yang padaawalnya kurang senang dengan kehadiran filsafat dalam khazanah Islam.Sementara bagi para ulama yang menyenangi kajian-kajian filsafat dansekaligus menguasainya, tasawuf falsafi bagaikan sungai yang airnyademikian bening dan begitu menggoda untuk direnangi.
Ulama pertama yang dapat dianggap sebagai tokoh tasawuf falsafi adalahIbn Masarrah (w. 319/931) yang muncul dari Andalusia. Sekaligus diadapat dianggap sebagai filosof sufi pertama dalam dunia Islam.Pandangan filsafatnya adalah emanasi yang mirip dengan emanasi Plotinus.
Menurutnya, melalui jalan tasawuf manusia dapat melepaskan jiwanya daribelenggu/penjara badan dan memperoleh karunia Tuhan berupa penyinaranhati dengan nur Tuhan. Suatu ma’rifah yang memberikan kebahagiaansejati. Ia juga menganut pandangan bahwa kehidupan di akhirat bersifatruhani, sehingga di akhirat kelak manusia dibangkitkan ruhnya saja,tidak dengan badan. Pandangan yang amat mirip dengan penyataan IbnuSina tentang kebangkitan manusia kelak di akhirat.
Tokoh kedua yang berpengaruh besar dalam dunia tasawuf falsasi adalahSuhrawardi al-Maqtul, sufi yang dibunuh di Aleppo pada tahun 587/1191,-karena pandangannya yang telah keluar dari Islam menurut ulama fuqaha.Suhrawardi juga seorang penganut paham emanasinya Ibnu Sina.
Bila tasawuf sunni (akhlaki) memperoleh bentuk yang final di tanganImam Al-Gazali, maka tasawuf falsafi mencapai ‘puncak’ kesempurnaandalam pengajaran Ibn Arabi, seorang sufi yang juga datang dariAndalusia. Pengetahuan Ibnu Arabi yang amat kaya dalam bidang keislamandan lapangan filsafat, membuatnya mampu menghasilkan karya yangdemikian banyak, di antaranya al-Futuhad al-Makkiyah dan Fushushal-Hikam. Boleh dikatakan hampir semua pengajaran, praktek dan ide-ideyang berkembang di kalangan sufi pada masa itu mampu diliput dankemudian diberinya penjelasan yang amat memadai.
Ajaran sentral Ibn Arabi adalah kesatuan wujud (wahdah al-wujud).Menurutnya wujud itu hanyalah satu ; yaitu wujud yang berdiri dengandirinya sendiri, itulah Tuhan, Zat Yang Maha Benar. Alam yang banyaksekalipun mempunyai wujud, namun dia tidak berwujud dengan wujudsendiri, melainkan berwujud dengan wujud Allah. Wujud alam adalahkhayal, maksudnya bila ia kelihatan sebagai wujud yang berdiri sendiri,maka sesungguhnya ia berwujud dengan wujud Tuhan. Oleh sebab itukemudian dikatakan bahwa wujud Tuhan dengan wujud alam adalah satu,bukan dua atau banyak. Alam yang banyak dan beraneka ragam adalahmanifestasi atau penampakan dari wujud Tuhan yang satu. Dari segihakekat, alam tidak lain dari Tuhan. Sedangkan dari sudut manifestasi,alam benar-benar berbeda dengan Tuhan. Alam bukanlah Tuhan dan tidaksama dengan Tuhan.
Ada banyak tokoh sufi filosof yang muncul setelah meninggalnya IbnuArabi di Damaskus. Di antara yang terkenal adalah ; al-Qunawi,al-Farqani, al-Qaishari, Jalaluddin Rumi dan al-Jili dan lain-lain.Tasawuf bercorak falsafi ini kemudian memperoleh tanah yang subur,terutama di Persia. Umumnya kalangan Syi’ah Isma’iliyah dan Syi’ah DuaBelas dapat menerima dan membenarkan paham ini.
Tasawuf falsafi yang telah mencapai puncak di tangan Ibnu Arabi, yangkemudian berkembang di tangan para sufi filosof sesudanya, menyebarhampir ke seluruh dunia Islam dengan jaringan sebagaimana yangdiungkapkan Azyumardi Azra dalam “Jaringan Ulama”nya. Lewat jaringanitu pula tasawuf falsafi masuk ke Indonesia yang kemudian memunculkantokoh-tokoh sufi filosof yang juga tidak sepi dari ungkapansyhathahad-¬nya. Seperti Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani,yang kiprah keduanya akan dibicarakan pada pembahasan berikut.
Dibanding dengan tasawuf sunni, tasawuf falsafi lebih kaya denganide-ide dan pikiran-pikiran tentang Tuhan dan alam metafisik. Ide-ideyang oleh para sufinya dipandang tidak bertentangan dengan ajaranal-Qur’an dan Sunnah, termasuk dalam hal ini ungkapan syathahad-nya.Sementara tasawuf sunni tidak mementingkan ide-ide dan pikiranspekulatif dalam tataran falsafah. Para sufi sunni sudah merasa cukupdengan pemahaman akidah pokok yang diajarkan dalam ilmu tauhid.Persoalan qadim-nya alam, kehidupan akhirat yang bersifat ruhani tidakterdapat dalam kajian tasawuf sunni, karena dipandang tidak benar,menyalahi apa yang diajarkan para mutakallimin.
2. Tasawuf Falsafi di Nusantara
Wacana tasawuf falsafi di Nusantara agaknya dimotori oleh HamzahFansuri dan Syamsuddin Sumatrani, dua tokoh sufi yang datang dari pulauAndalas (Sumatera) pada abad ke 17 M. Sekalipun pada abad ke 15sebelumnya telah terjadi peristiwa tragis berupa eksekusi mati terhadapSyekh Siti Jenar atas fatwa dari Wali Songo, karena ajarannya dipandangmenganut doktrin sufistik yang bersifat bid’ah berupa pengakuan akankesatuan wujud manusia dengan wujud Tuhan, Zat Yang Maha Mutlak.
Namun sejauh ini penulis belum menemukan literatur yang menjelaskanapakah paham yang dianut Syekh Siti Jenar adalah wahdatulwujud yangberasal dari Ibnu Arabi lewat ‘jaringan ulama’ sebagaimana dimaksudAzra dalam bukunya tersebut. Terlebih lagi terlalu sedikit literaturyang menjelaskan keberadaan sosok Syekh Siti Jenar dalam khazanahkeislaman di Nusantara. Paling tidak menurut Alwi Shihab, kehadiranSyekh Siti Jenar dengan ajaran dan syathahad-nya yang dipandang sesat,dapat dijadikan sebagai tahap pertama perkembangan tasawuf falsafi diIndonesia. Alwi menamakannya sebagai tahap perkenalan. Pembunuhanterhadap Syekh Siti Jenar agaknya telah meredupkan cahaya perkembangantasawuf falsafi di Indonesia dalam waktu yang lama, sampai kemudianmunculnya Hamzah dan Syamsuddin di Sumatera.
Hamzah Fansuri adalah keturunan Melayu yang dilahirkan di Fansur -namalain dari Barus-. Para peneliti tidak menemukan bukti yang valid kapansebenarnya Hamzah lahir. Dia diperkirakan hidup pada akhir abad ke 16dan awal abad ke 17, yakni pada masa sebelum dan selama pemerintahanSultan ‘Ala al-Din Ri’yat Syah (berkuasa 977-1011H/1589-1602M). Hamzahdiperkirakan meninggal sebelum tahun 1016H/1607M.
Hamzah memulai pendidikannya di Barus, kota kelahirannya yang padawaktu itu menjadi pusat perdagangan, karena saat itu Aceh berada dalamkemajuan di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda dan Iskandar Tsani.Kwalitas pendidikan yang cukup baik di Aceh menjadikan Hamzah dapatmempelajari ilmu-ilmu agama seperti ; fiqh, tauhid, akahlak, tasawuf,dan juga ilmu umum seperti ; kesustraan, sejarah dan logika. Selesaimengikuti pendidikan di tanah kelahirannya, Hamzah kemudian melanjutkanpendidikan ke Timur Tengah, khususnya Persia dan Arab. Sehingga diadapat menguasai bahasa Arab dan Persia, mungkin juga bahasa Urdu. Dalamhal tasawuf falsafi diperkirakan Hamzah mempelajari dari Iraqi, muridSadr al-Din al-Qunawi, murid kesayangan Ibnu Arabi.
Sekembalinya dari perantauan menuntut ilmu, Hamzah mengajarkan agama diAceh melalui lembaga pendidikan “Dayah” (pesantren) di ObohSimpang-Kanan, yang merupakan cabang dari Dayah Simpang-Kiri yangdiasuh oleh kakaknya Syekj Ali Fansuri, ayah dari Abdr Rauf al-Sinkli.Hamzah ternyata tidak hanya berakfitas sebagai guru, namun juga rajinmenulis. Tetapi sangat disayangkan karya-karya Hamzah tersebut tidaklagi ditemukan karena telah dimusnahkan oleh ‘lawan-lawannya’ yangmenentang paham wujudiyah yang dikembangkan oleh Hamzah.
Pemikiran Hamzah tentang ajaran wujudiyah terdapat dalam karyanya Zinatal-Wahidin, yang terdiri dari tujuh bab. Menurut Hamzah hakekat dariZat Yang Maha Mutlak, Kadim dan pencipta alam semesta tidak dapatditentukan atau dilukiskan. Dalam kaitan ini bagi Hamzah alam yang padamulanya bersifat ruhani kemudian berubah berisifat jasmani adalahmanifestasi dari zat Ilahi. Zat Ilahi menampung seluruh wujud, sehinggadalam aspek transenden zat Tuhan tidak bertepi. Pada aspek immanen zatTuhan juga tidak terpisah dari alam. Lebih jauh Hamzah menjelaskantahap-tahap hubungan Tuhan dengan manifestasi-Nya, alam.
Tahap pertama disebut la ta’ayyun, pada tahap ini Tuhan yang Esa belumberhubungan dengan alam. Lalu bagaimana Tuhan menciptakan alam, padahalsuatu hal yang mustahil Tuhan sebagai Zat Yang Mutlak dari-Nya langsungmuncul nakhluk-makhluk yang sifatnya relatif. Menurut Hamzah Penciptaandari Zat Mutlak ke alam yang relatif membutuhkan tahapan-tahapan. Iamembagi tahapan-tahapan ini kepada lima tahapan yang disebut denganta’ayyun atau penampakan.
Pertama, ta’ayyun awwal yaitu Tuhan menampakkan diri-Nya melaluiilmu-Nya, sifat-Nya dan Nur-Nya, ide-ide ketuhanan pada tahap ini dalampengajaran Syamsuddin Samatrani masih bersifat ijmali atau global.Kedua ta’ayyun tsani merupakan penampakan dalam diri Tuhan yangmenghasilkan munnculnya pengetahuan terperinci tentang hakikat-hakikatalam (a’yyan tsabitah). Dalam pengajaran Hamzahditegaskan bahwa a’yantsabitah tidaklah memiliki wujud aktual. Unsur ini merupakan pola-polarancangan tetap dan lengkap tentang alam. Alam diwujudkan Tuhan secaraaktual menurut pola-pola rancangan tersebut. Ketiga ta’ayyun tsalist,yaitu penampakan Tuhan dalam alam arwah, tahap ini terjadi di luar zatyang Mutlak sehingga dinamakan a’yan kharijah. Keempat, ta’ayyun rabi’merupakan penampakan kepada seluruh makhluk, tapi masih dalam alammisal dan kelima, ta’ayyun khamis, penampakan Tuhan terakhir pada alaminsan dan alam dunia.
Tahapan-tahapan dalam penciptaan ini hanyalah hirarki yang disusununtuk lebih mudah memahami, yang sebenarnya terjadi secara gradual danseketika. Dengan pemikiran ini Hamzah menjelaskan bahwa penampakanTuhan tidak terjadi begitu saja atau secara langsung, tapi melaluitahap tertentu, sehingga keesaan dan kemurnian Tuhan tidak tercampuridengan makhluk.
Ajaran wujudiyah Hamzah ini kemudian dikembangkan oleh muridnyaSyamsuddin Sumatrani. Kebanyakan peneliti berpendapat, hubungan merekaadalah guru-murid. Abdul Azis juga membenarkan pendapat A. Hasymy bahwahubungan Hamzah dengan Syamsuddin sebagai murid dan khalifah, karenamenurutnya telah dijumpai dua karya Syamsuddin yang merupakan ulasanatau syarah terhadap pengajaran Hamzah yaitu : Syarah Ruba’i HamzahFansuri dan Syarah Syair Ikan Tongkol.
Terdapat banyak informasi tentang potret pribadi syeikh di antaranya :Hikayat Aceh, Adat Aceh, Bustan al-Salathin dan informasi daripengembara dan peneliti asing. Dari informasi tersebut dijelaskan bahwaSyamsuddin lahir kira-kira 1589 dan wafat 24 Februari 1630 berdasarkaninformasi Deny Lombard. Syaikh banyak melahirkan karya bermutu seperti: Jawhar al-Haqaiq, Risalah Tubayyin Mulahazah, Nur al-Daqaiq, Thariqal-Sahlikin, I’raj al-Iman dan karya lainnya. Syamsuddin menguasaibeberapa bahasa, tapi karya-karyanya kebanyakan ditulis dalam bahasaMelayu dan Arab.
Pemberian makna “Tiada wujud selain Allah” bagi kalimat tauhid la ilahailla Allah hanya dilakukan oleh kalangan sufi penganut paham wujudiyyahsaja, dan itu menjadi ciri khas yang membedakan kalangan penganut pahamwujudiyyah dengan kalangan sufi lainnya. Pengakuan bahwa tidak adawujud selain Allah disebut dalam pengajaran Syamsuddin sebagai tauhidhakiki (al-tawhid al-haqiqi) atau tauhid yang murni (al-tawhidal-khalish). Menurutnya, tauhid hakiki atau tauhid murni itu baru adapada seseorang jika ia mengakui bahwa tidak ada pelaku atau pembuatselain Allah, tidak ada yang ditaati atau disembah selain Allah dantidak ada wujud selain Allah.
Syamsuddin, dalam pengajarannya tentang maksud kalimat-kalimat tauhiditu, juga mengingatkan pengikutnya tentang perbedaan pendirian merekasebagai penganut tauhid yang benar (al-muwahhidin al-shiddiqin) dengankaum yang ia sebut sebagai orang-orang zindiq. Menurutnya kedua pihakitu sepakat dalam hal menetapkan maksud kalimat tauhid la ilaha illaAllah, yakni tiada wujud selain Allah, sedangkan wujud sekalian alamadalah bersifat bayang-bayang, majazi atau fatamorgana, dibandingkandengan wujud Allah.
Sedangkan paham kaum zindiq, wujud Tuhan tidak ada kecuali dengankandungan wujud alam seluruhnya; semua wujud alam adalah wujud Tuhandan wujud Tuhan adalah wujud alam, baik dari segi wujud maupun darisegi ta’ayyun-ta’ayyun (penampakan-penampakan). Mereka menetapkankesatuan hakiki dalam kejamakan alam tanpa membedakan martabat Tuhandengan alam.
Paham demikian, menurut Syamsuddin adalah paham batil, tidak benar danditolak oleh penganut tauhid yang benar. Berdasarkan pendapat initerkesan jauh-jauh hari sebelum Nuruddin al-Raniry mengkritik pahamSyamsuddin sebagai mulhid, ia sendiri telah menjelaskan bahwa manawujudiyyah mulhid dan mana yang muwahhid berdasarkan keterangan di atas.
Pengajaran Syamsuddin tentang Tuhan dengan corak paham wujudiyyahdikenal juga dengan pengajaran tentang “martabat tujuh”, yaitu tentangsatu wujud dengan tujuh martabatnya. Pengajarannya tentang ini agaknyasamam dengan yang diajarkan al-Buhanpuri, yang diduga kuat sebagaiorang pertama yang membagi martabat wujud itu kepada tujuh kategori.Ketujuh martabat tersebut adalah : martabat ahadiyyah, martabat wahdah,martabat wahidiyyah, martabat alam arwah, martabat alam mitsal,martabat alam ajsam dan martabat alam insan.
Al-Buhanpuri pernah mengingatkan bahwa sebutan martabat ketuhanan tidakboleh dipakaikan untuk martabat alam dan begitu pula sebaliknya. Akantetapi dalam karya al-Burhanpuri tidak dijelaskan secara implisittentang itu. Syamsuddin sebagai penganut paham martabat tujuh ini diNusantara telah mengkategorikan martabat ketuhanan dan martabatkemakhlukan seperti yang disimpulkan Abdul Aziz Dahlan. Menurutnya,secara eksplisit dalam karya Syamsuddin terlihat tiga martabat, pertamadisebut anniyat Allah, yaitu martabat wujud aktual Allah, sedangkanempat martabat berikutnya disebut anniyah al-Makhluq, yaitu martabatwujud aktual makhluk.
Paham martabat tujuh inilah yang membedakan antara Syamsuddin Sumatranidengan gurunya Hamzah Fansuri, yang mana dalam ajaran Hamzah tidakditemukan pengajaran ini. Tetapi keduanya sangat menekankan pemahamantauhid yang murni, bahwa Tuhan tidak boleh disamakan atau dicampurkandengan unsur alam, dikenal dalam pengajaran Hamzah Fansuri la ta’ayyun.Sedangkan dalam pengajaran Syamsuddin dikenal dengan aniyat Alllah,yang merupakan kejelasan dari ajaran al-Burhanpuri untuk tidakmencampur-adukkan martabat ketuhanan dengan martabat kemakhlukan.
3. Respon dan Pengaruh Paham Tasawuf Falsafi di Nusantara Pasca Hamzah dan Syamsuddin.
Ternyata Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani pada prinsipnyadikategorikan termasuk dalam aliran pemikiran yang sama, keduanyamerupakan pendukung terkenal penafsiran mistikofilosofis wahdatal-Wuju. Walaupun sedikit ada perbedaan penekanan, keduanya sangatdipengaruhi terutama oleh Ibn ‘Arabi. Konsep inti ajaran mereka adalahkehadiran alam ini disebabkan serangkaian proses penampakan diri Tuhan.Ide ini pada perkembangan selanjutnya mendorong para penentang sepertial-Raniri untuk menuduh mereka sebagai panteis.
Dalam apandangan Nuruddin al-Raniri, pembahasan tentang wujud Allahdapat dibagi dua: wujudiyyah muwahhid dan wujuddiyah mulhid. Hamzahdigolongkan pada wujudiyyah mulhid dan disebut zindiq. Menurut Aziz,Syamsuddin bersama pengikutnya tidak menyebut diri sebagai penganutpaham wujudiyah, apalagi mulhid. Seperti telah dijelaskan pada sub-babsebelum mereke yakin berada dalam tauhid yang benar dan memandang dirisebagai golongan al-muwahhidin al-shiddiqin.
Sepanjang menyangkut tuduhan itu, menurut Azra para peneliti terbagidua pula. Pertama, peneliti Barat seperti Winstedt, Johns dan Bariend,berpendapat bahwa ajaran dan doktrin Hamzah dan Syamsuddin sesat. Kleimini mendorong Abdul Aziz Dahlan untuk membuktikan bahwa ajaranSyamsuddin dan gurunya Hamzah, bisa dipertanggungjawabkan secarateologis. Kedua, al-Attas, menyatakan bahwa sebenarnya ketiga pemikiranHamzah, Syamsuddin dan Al-Raniri adalah sama, ia tidak menyebut ajaranHamzah dan Syamsuddin sesat. Pada gilirannya al-Attas malah menuduhal-Raniri melakukan distorsi dan menyebarkan fitnah dan tidak memahamiwujudiyyah. Asumsi al-Attas ini mengobsesi Ahmad Daudi untukmenjelaskan pada dunia bahwa al-Raniri punya logika pembenaran sendiriyang menurutnya wajar kalau ia menuduh Hamzah dan Syamsuddin sesat.Tapi menurut Azra al-Attas buru-buru mengklarifikasi pendapatnya dalambuku yang berjudul “A Comentary on the Siddiq al-Nur al-Din al-Raniri”terbit tahun 1986, berarti sesudah tesis Daudi terbit. Dalam karyatersebut al-Attas memuji al-Raniri sebagai orang yang dikaruniaikebijakan dan diberkati dengan pengetahuan yang orisinil yang berhasilmenjelaskan doktrin yang keliru.
Tidak juga bisa dikatakan dengan munculnya al-Raniri yang mengkritikdan “membumi hanguskan” paham tasawuf falsafi, lantas paham ini lenyapdan punah. Berdasarkan penelitian Taufik Abdullah menjelaskan bahwasetelah Sultan Iskandar Tsani wafat tahun 1642, tampil SyafiyatuddinSyah (1942-1975) permaisuri Iskandar Tsani yang menggantikannya.Diberitakan pada waktu itu Nuruddin al-Raniri meninggalkan Aceh sambiltergesa-gesa, menurut Bustan al-Salathin, rupanya seperti tercatatdalam diary opper-koopman Belanda, mangkatnya Iskandar Tsani memberikankesempatan pada golongan moderat (Syamsuddin) untuk bangkit melawanarus intoleransi dan anti intelektual yang dilancarkan al-Raniri.Tampil pada waktu itu Syeikh Saifulrijal, ulama Minang, sebagaipenasehat Sultanah atau ratu di Aceh dan menyebarkan pahamnya.
Jadi pada abad ke 16-17 M di Nusantara berkembang paham tasawuf falsafiyang bukan hanya di Aceh tapi di bagian wilayah lainnya di Nusantara.Meskipun ada usaha-usaha untuk menerapkan syari’ah – suatu yang tidakbisa dipisahkan dari lingkup Islam pada abad itu. Tulisan HamzahFansuri dan Syamsuddin memberi dorongan pada kecenderungan ini, tidakbisa disimpulkan secara blak-blakan bahwa mereka mengindahkan syari’ah.Mereka telah membeirkan sumbangan pada kehidupan religio-intelektualkaum Muslimin abad ke-16 dan 17 M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar