Tahun baru Masehi beberapa saat lagi akan tiba. Ketika tahun baru masehi itu tiba, mayoritas manusia, baik di belahan dunia bagian Barat maupun di Timur, akan merayakannya dengan meriah. Hampir tidak ada manusia yang rela ketinggalam perayaan tahun baru itu. Meskipun di tengah hujan, asal bukan hujan deras, menjelang tengah malam mereka tetap memaksakan keluar rumah untuk bisa merayakan Tahun Baru.
31 Desember 2010
Di Balik Perayaan Tahun Baru Masehi
Posted in Buletin Studia Tahun ke Lima by abu fikri on the April 20th, 2007
Sreet….! Satu lembar lagi kalender sobek yang mangkal di atas meja kerja kudu menghuni tempat sampah. Phew….sobat, nggak kerasa ya, dalam hitungan hari, sebentar lagi kita akan memasuki tanggal keramat di awal tahun. 1 Januari bow! Tanggal yang memaksa kita mencampakkan kalender lama yang lecek bin dekil of the kumel dengan semua kenangan yang tersimpan di setiap tanggalnya. Posisinya kudu digantikan oleh almanak baru yang siap merekam setiap peristiwa dalam keseharian kita. Ibarat pepatah, “Habis tanggal, kalender dipenggalâ€? Kejam nggak sih?
Waspadai Perayaan Tahun Baru Masehi
Sejarah Tahun Baru Masehi
Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM. Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir.
22 Desember 2010
10 Muharram
Asyura merupakan peringatan hal-hal di bawah ini dimana Muslim, khususnya Sunni percaya terjadi pada tanggal 10 Muharram.
· Bebasnya Nabi Nuh dan ummatnya dari banjir besar.
· Nabi Ibrahim selamat dari apinya Namrudz.
· Kesembuhan Nabi Yakub dari kebutaan dan ia dibawa bertemua dengan Nabi Yusuf pada hari asyura.
· Nabi Musa selamat dari pasukan Fir’aun
· Nabi Isa diangkat ke surga setelah usaha Roma untuk menangkap dan menyalibnya gagal.
· Bebasnya Nabi Nuh dan ummatnya dari banjir besar.
· Nabi Ibrahim selamat dari apinya Namrudz.
· Kesembuhan Nabi Yakub dari kebutaan dan ia dibawa bertemua dengan Nabi Yusuf pada hari asyura.
· Nabi Musa selamat dari pasukan Fir’aun
· Nabi Isa diangkat ke surga setelah usaha Roma untuk menangkap dan menyalibnya gagal.
20 November 2010
TASAWUF AKHLAQI
Pengertian Tasawuf Akhlaqi
Tasawuf Islam: Pada tulisan saya yang lalu telah saya jelaskan tentang pengertian tasawuf, barang kali yang perlu saya jelaskan pada pertemuan kali ini adalah tentang pengertian akhlaq, untuk menemukan singkronisasi antara tasawuf dengan akhlaq, sehingga kita temukan pengertian tentang tasawuf akhlaqi yang dulunya sangat gencar dibicarakan oleh para sufi sehingga sistem tasawuf akhlaqi ini telah sukses melahirkan cendikiawan berpribadi tercerahkan seperti Hasan Bashri, Al-Muhasibi, Al-Qusyairi, Al-Gazali, dll, sungguh menakjubkan membuat kita semakin tertarik mendalaminya untuk kita ambil hikmah yang terkandung di dalamnya sebagai bekal kita merentas jalan menuju cahaya yang sama seperti cahaya yang telah ditemukan Adam dan Hawa sewaktu masih di surga sebelum hijrah ke bumi, atau seperti yang ditemukan Musa di bukit tursina, atau Muhammad di sidratul muntaha dan para sufi dalam tenda-tenda perzikirannya sehingga terbebas dari belenggu kelam hitam kegelapan.Untuk menemukan pengertian akhlaq, kita perlu melakukan dua pendekatan yang dapat kita gunakan dalam mengartikan tentang akhlaq, yaitu pendekatan lughot (linguistik, bahasa) dan istilahi (terminologis).
Pengertian Akhlaq Dari Sudut Pandang Lughot
Akhlaq merupakan bahasa import yang dikirim dari Saudi Arabia (tempat semua para Nabi dan Rasul diturunkan). Menurut orang Arab, akhlaq merupakan isim mashdar (bentuk infinitif) dari kata akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, sesuai dengan wazan (timbangan) tsulasi majid dari af'ala, yuf'ilu, if'alan yang berarti al-sajiyah (perangai), ath-thabi'ah (watak, kelakuan, tabi'at), al'adat (kelaziman, kebiasaan), (peradaban atau adab yang baik), dan aal-maru'ahl-din (ajaran, agama).
Kata akhlaq juga bisa kita artikan dari segi isim jamid atau isim ghoirul mustaq yaitu isim yang tidak memiliki akar kata, melainkan kata tersebut memang sudah demikian adanya. Kata akhlaq merupakan jamak dari kata khilqun atau khuluqun yang memiliki arti sama dengan arti akhlaq, kedua kata ini dapat kita temukan pemakaiannya dalam Al-Qur'an, contohnya:
"Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung." (Q.S. 68. Al-Qalam, A. 4). |
Ayat tersebut menggunakan kata khuluq untuk arti berbudi pekerti, kemudian ayat di bawah ini:
"(Agama kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu." (Q.S. 26. Al-Syu'ara, A. 137). |
menggunakan kata akhlaq untuk arti adat kebiasaan. Dengan demikian kata akhlaq atau khuluq jika ditinjau dari sudut lughot berarti muru'ah, perangai, adat kebiasaan, bidu pekerti atau segala sesuatu yang telah menjadi tabi'at.
Sebagai pendekatan kita mengetahui pengertian akhlaq dari sudut pandang istilahi, saya ajak kita untuk merujuk kepada pendapat para ulama terkemuka, sebagai berikut:
1. Menurut Imam Al-Gazali:
"Akhlaq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan."1
2. Menurut Ibnu Maskawaih:
"Akhlaq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan."2
3. Menurut Ibrahim Anis:
"Akhlaq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan."3
4. Menurut Abdul Karim Zaidan:
"(Akhlaq) adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dalam sorotan dan timbangannya seseorang dapat menilai perbuatannya baik atau buruk, untuk kemudian memilih melakukan atau meninggalkannya."4
5. Menurut Drs. H. Yunahar Ilyas, Lc., M.A:
".......akhlaq itu haruslah bersifat konstan, spontan, tidak temporer dan tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan serta dorongan dari luar."5
6. Menurut Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A:
"Lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlaq, yaitu:
1. Perbuatan akhlaq adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya.
2. Perbuatan akhlaq adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran.
3. Bahwa perbuatan akhlaq adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar.
4. Bahwa perbuatan akhlaq adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara.
5. Sejalan dengan ciri yang keempat, perbuatan akhlaq (khusus akhlaq yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan sesuatu pujian."6
7. Menurut Prof. Dr. Ahmad Amin
".......Akhlaq ialah kehendak yang dibiasakan. Artinya bahwa kehendak itu bila membiasakan sesuatu, maka kebiasaan itu dinamakan akhlaq."7
8. Menurut Prof. K.H. Farid Ma'ruf
"Kehendak jiwa manusia yang menimbulkan perbuatan dengan mudah karena kebiasaan, tanpa memerlukan pertimbangan pikiran terlebih dahulu."8
9. Menurut Dr. M. Abdullah Dirroz
"Akhlaq adalah suatu kekuatan dalam kehendak yang mantap, kekuatan dan kehendak mana berkombinasi membawa kecenderungan pada pemilihan pihak yang benar (dalam hal akhlaq yang baik) atau pihak yang jahat (dalam hal akhlaq yang jahat). Perbuatan-perbuatan manusia dapat dianggap sebagai manifestasi dari akhlaqnya, apabila dipenuhi dua syarat, yaitu:
1. Perbuatan-perbuatan itu dilakukan berulang kali dalam bentuk yang sama, sehingga menjadi kebiasaan.
2. Perbuatan-perbuatan itu dilakukan karena dorongan emosi-emosi jiwanya, bukan karena adanya tekanan-tekanan yang datang dari luar seperti paksaan dari orang lain sehingga menimbulkan ketakutan, atau bujukan dengan harapan-harapan yang indah-indah dan lain sebagainya."9
Namun dari kitab Dairatul Ma'arif, secara singkat kita dapat tambahan pengertian akhlaq, yaitu: "sifat-sifat manusia yang terdidik."
Dengan demikian kita menyimpulkan bahwa pengertian akhlaq adalah: "Perbuatan yang telah biasa dilakukan secara berkesinambungan dengan kesadaran sendiri, baik itu bawaan lahir, maupun hasil dari didikan yang diperoleh dari orang lain yang telah menyatu dalam diri dan tertanam dalam jiwa sehingga menjadi sifat kepribadiannya sehari-hari."
Maka yang kita maksudkan dengan tasawuf akhlaqi adalah ajaran tasawuf yang inti pengajarannya mengarah pada penyucian segala sifat yang Allah tidak ridho, sehingga melahirkan komunitas manusia mulia di hadapan Allah dan makhluk-Nya. www.tasawufislam.blogspot.com
Referensi:
1. Imam Al-Gazali, Ihya 'Ulumuddin, Jld. III, Darul Fikri, Beirut, tt, Hal. 56.
2. Ibnu Maskawaih, Tahzib Al-Akhlaq Wa Tathhir Al-A'raq, Al-Mathba'atul Mishriyah, Mesir, Cet. I, 1934, Hal. 40.
3. Ibrahim Anis, Al-Mu'jam Al-Wasith, Darul Ma'arif, Kairo, 1972, Hal. 202.
4. Abdul Karim Zaidan, Ushulud Da'wah, Jam'iyatul Amani, Baghdad, Iraq, 1976, Hal. 75.
5. Drs. H. Yunahar Ilyas, Lc., M.A, Kuliah Akhlaq, LPPI, Yogyakarta, Cet. VI, Februari 2004, Hal. 3.
6. Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A, Akhlak Tasawuf, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, Hal. 4-5.
7. Prof. Dr. Ahmad Amin, Al-Akhlaq, alih bahasa Prof. K.H. Farid Ma'ruf, Bulan Bintang, Jakarta, 1977, Hal. .......
8. Prof. K.H. Farid Ma'ruf, Analisa Akhlaq, Persatuan, Yogyakarta, 1964, Hal. .......
9. Dr. M. Abdullah Dirroz dalam Drs. H. A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, CV. Pustaka Setia, Bandung, Cet. V, November 2008, Hal. 14.
TASAWUF AKHLAQI 2
CORAK AJARAN ILMU TASAWUF ( akhlaqi, amaly, falsafi )
Sebagai ilmu pengetahuan ‘Tasawuf’ atau ‘Sufisme’ mempelajari cara dan jalan bagaimana manusia (seorang muslim) dapat berada sedekat mungkin dengan Allah SWT. Sekalipun secara tekstual, tidak ditemukan ayat yang memerintahkan bertasawuf dan kata atau kalimat tasawuf dalam al Quran, namun secara implisit terdapat ayat-ayat dalam al Quran yang memberi dorongan untuk mengamalkan bagian dari ajaran tasawuf yang diartilkulasikan sebagai landasan moral.Dalam perkembangannya, pemikiran tawasuf mengalami persentuhan budaya dengan ajaran atau nilai-nilai agama yang bukan Islam, seperti dari peradaban Yunani, Romawi, Hindi, Mesir, Yahudi, dan Kristiani. Interaksi ajaran dan sistem nilai tersebut tidak bisa dihindari mengakibatkan ajaran tasawuf mengalami perkembangan pemikiran dalam penerapannya. Dalam pertemuan budaya dan peradaban tersebut Umat Islam mengenalkan, menularkan dan mengedepankan aqidah dan ibadah dalam sistem nilai ajaran Islam, sebaliknya peradaban non Islam dan budaya lokal setempat menularkan pemikiran kefilsafatan kepada umat Islam. Begitu juga pemikiran tasawuf yang pada awalnya bersifat amali atau akhlaqi, atau disebut ‘tasawuf akhlaqi’, maka dalam perkembangannya memunculkan ajaran tasawuf dengan pola kefilsafatan dalam memahami tasawuf, yang kemudian dikenal dengan ‘tasawuf falsafi’.
Sebagaimana Tasawuf Amali, Tasawuf Falsafi juga melahirkan tokoh-tokoh dan pemikirannya yang terkenal dalam kajian ilmu tasawuf. Dan upaya mendekati Tuhan berdasarkan ‘kedekatan atau jarak’ antara manusia dengan Tuhan telah melahirkan dua aliran tasawuf, yaitu ‘tasawuf transendentalisme dan tasawuf union mistisisme’.Aliran pertama memperlihatkan bahwa masih ada garis pemisah atau pembeda antara manusia dan Tuhan, sedangkan aliran kedua mengatakan bahwa garis pemisah tersebut dapat dihilangkan sehingga manusia dapat manunggal dengan Tuhan karena ada kesamaan . Dalam perkembangannya kedua aliran tersebut banyak melahirkan tokoh-tokohnya antara lain ; al-Qusyairy, al-Junaid, al-Ghazali, al-Busthami, Ibnu Arabi, Ibnu Sab’in, Al Jilli, dll.
Pada pemahaman yang pertama kemudian melahirkan tasawuf akhlaqi/amali , kemudian sering juga disebut tasawuf sunni. Dalam perkembangannya tasawuf sunni juga disebut sebagai tasawuf ‘Dualistik’ yaitu tasawuf yang telah dimodifikasi dan disesuaikan dengan teologi Asy’ariyah dan Syariah (baca ‘fiqih ahlussunah).Tokoh-tokohnya antara lain Al Junaid, Abu Bakar Muhammad al-Kalabazi, Al Qusyairi, Al Ghazali, dll. Tasawuf sunni berupaya mendamaikan tasawuf dengan syariat sejak pertengahan abad ke 3 H / 9 M, yang mencapai kematangan dan keberhasilannya pada pemikiran Abu Hamid al-Ghazali
Tasawuf Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal tuhan (ma’rifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju tingkatan yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan lebih tinggi dari itu yaitu wihdatul wujud (kesatuan wujud).
Yang dimaksud dengan tasawuf falsafi adalah tasawuf yang bersandarkan pada pemaduan antara intuisi para sufi dengan cara pandang rasional mereka, serta menggunakan tema-tema filsafat dari berbagai macam sumber untuk mengungkapkan tasawufnya itu.Bisa juga dikatakan bahwa tasawuf falsafi adalah tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat.
Di dalam tasawuf falsafi metode pendekatannya sangat berbeda dengan tasawuf sunni atau tasawuf salafi. Kalau tasawuf sunni atau salafi lebih menonjol kepada segi praktis, sedangkan tasawuf falsafi menonjol kepada segi teoritis sehingga dalam konsep-konsep tasawuf falsafi lebih mengedepankan asas rasio dengan pendekatan-pendekatan filosofis yang sulit diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi orang awam, bahkan bisa dikatakan mustahil, namun tetap bisa diaplikasikan pada kenyataannya.
Sedangkan pemahaman kelompok kedua adalah tasawuf falsafi, yang juga disebut ‘Tasawuf Monistik’, dimana ajaran tasawuf ini memadukan visi mistis dan rasional dengan ungkapan dan terminologi filsafat.Tasawuf falsafi ini pada umumnya didasarkan pada konsep wahdatul wujud, al-Hulul dan al-Ittihad. Tokoh-tokohnya antara lain Abu Yazid Al Busthami, Al Hallaj, Ibnu Arabi, Ibn Masarra, Al Jilli, Ibn Sab’in, Suhrawardi al-Maqtul, Mulla Sadra, dll.
Dalam tasawuf falsafi lahirlah beberapa teori-teori pemikiran tasawuf, diantaranya seperti ; fana, baqa dan ittihad adalah hasil pemikiran Abu Yazid Al Busthami, Hulul oleh Al Hallaj, Wahdat Al Wujud dinisbahkan kepada Ibnu Arabi, Insan Kamil dikembangkan oleh Al Jilli, dan Wihdatul al-Mutlaqah digagas oleh pemikiran Ibn Sab’in.
Tasawuf falsafi muncul pada sekitar abad ke 6 dan 7 H, ditandai dengan diperkenalkannya tokoh-tokoh pemikiran sufi yang filosof dan filosof yang sufi ketika tasawuf bercampur dengan filsafat menyerap beragam pemikiran filsafat asing di luar Islam dari Yunani, Persia, India, Mesir, Yahudi dan Kristen tanpa kehilangan keautentikan Islam sebagai agama.
sebelum Al Ghazali, ulama ulama ilmu Qalam telah mengambil beberapa cara berfikir kaum filsafat menguatkan dasar ilmu qalam. filsafat mereka pelajari hanyalah semata semata untuk menguatkan dasar ilmu qalam itu. tetapi Ghazali memandang bahwasannya cara pengambilan yang demikian adalah dangkal. Orang hanya tertarik pada ujung ujung filsafat, tetapi orang tidak menggali sampai ke uratnya, filsafat tidaklah memiliki pendirian keTuhanan, tapi hanyalah menggoyahkan. Beliau berkata : orang orang yang bekerja membantah filsafat tidaklah berusaha hendak sampai mengetahui urat ilmu mereka. Kata kata yang di pakai oleh ilmu qalam hanyalah kata kata yang sulit dan pecah belah. Jelas berlawan lawanan dan merusak. Orang biasa yang tak berilmu pun tak dapat menerimanya, apa lagi orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Maka insaflah saya bahwasannya menolak suatu mazhab sebelim benar benar di fahamkan dan di pelajari dengan seksama, adalah laksana memanah dengan mata buta. Akan koyaklah kaki melangkah dalam kesungguhan, dengan membaca kitab filsafat kitab kitab saja, tanpa seorang guru.
Puaslah Ghazali menegakkan ilmu qalam sebagai suatu ilmu. Dia tidak akan menurut dengan membuta saja kepada ilmu qalam buatan orang yang dahulu dari padanya. Kata kata filsafat tidak lagi semata mata di pinjamnya lagi untuk menguatkan pendiriannya,tetapi telah di perbaiki dan di jadikannya suatu ilmu yang tahan uji. Tetapi meskipun ia telah menang, kerena dengan usahanya ilmu qalam yelah tegak sebagai suatu ilmu, namun jiwanya sendiri belumlah puas.
Salah satu kerangka umum tasawuf falsafi adalah bahwa tasawufnya tidak jelas, mempunyai bahasa-bahasa tersendiri dan memahaminya memerlukan daya pikir dan daya rasa yang tidak biasa, dan sebab itu tasawuf falsafi tidak dianggap filsafat karena dilandaskan pada intuisi, juga bukan tasawuf murni karena diungkapkan dengan bahasa-bahasa filsafat yang mengarah pada pembentukan aliran pemikiran dalam pembahasan.
Para sufi falsafi mengenal dan memperdalam filsafat aliran Socrates, Plato, Aristoteles, Neoplatonisme, teori emanasi, Hermetisisme dan buku-buku filsafat lainnya dari Timur; Persia, India dan Filsafat Islam; al-Farabi, Ibn Sina, Ibnu Rusyd dan lainnya untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.Sebagian dari mereka ada juga yang terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran Syiah Ismailiyah, Batiniyah dan Risalah-Risalah Ikhwan as-Shafa’.
Sejak awal diketahui pemikiran falsafatnya para sufi falsafi menjadi target kritik dari para fuqaha Islam, terutama tentang ‘wahdah al-wujud’ dan pemikiran lainnya yang dianggap bertentangan dengan akidah Islam.
Sedangkan penolakan tasawuf falsafi secara kritis juga diketahui telah memperkaya keluasan kajian tasawuf secara kontemporer yang sampai saat ini masih terus dibicarakan secara komprehensif dalam wacana akademik.
Konsepsi etikal berkembang di kalangan zuhad atau asketik adalah embrio sufisme, yang menyatakan bahwa Tuhan tidak hanya terbatas sebagaimana pendapat Mutakallimin (pengamal ilmu kalam), tetapi lebih dari itu. Dzat Tuhan adalah sumber dari segala keindahan dan kesempurnaan, juga diyakini bahwa Tuhan adalah sumber kekuatan, daya iradat yang mutlak.Tuhan adalah pencipta tertinggi, pengatur segala kejadian dan asal segala yang ada. Oleh karena keyakinan yang demikian, maka perasaan takut kepada Tuhan lebih mempengaruhi mereka ketimbang rasa pengharapan. Karena kuatnya rasa takut kepada murka Tuhan, seluruh pengabdian yang mereka lakukan bertujuan demi keselamatan diri dari siksaanNya. Dorongan-dorongan yang demikian mempengaruhi sikap hidup mereka terhadap hal-hal yang profan dan hubungan mereka dengan Tuhan.
Timbulnya doktrin estetikal tentang Tuhan bersumber dari keyakinan bahwa Tuhan adalah segala yang ada, sehingga antara manusia dengan Tuhan ada jalur komunikasi timbal balik. Tuhan, sebagai Dzat Yang Maha Agung dan Mulia, juga adalah Dzat Yang Maha Cantik, dan Sumber segala keindahan. Sesuai dengan salah satu sifat dasar manusia yang menyukai keindahan dan kecantikan, maka hasrat mencintai Tuhan adalah manusiawi, karena Tuhan adalah puncak dari segala keindahan. Konsep teologik estetikal ini dikaitkan dengan Rabi’ah al-Adawiyah melaui doktrin al-hubb atau mahabbah. Mencintai Tuhan dan berbuat apa saja untuk-Nya, adalah motivasi kasih para sufi. Dalam jiwa tidak ada rasa takut akan siksa atau murka Tuhan, tidak ada hasrat untuk menikmati surga yang ada hanyalah keinginan untuk memperoleh cinta dan keindahan Dzat Tuhan yang abadi.Orang sufi mengabdikan diri kepada Tuhan adalah karena cinta dan harapan sambutan cinta dari-Nya. Doktrin ini kemudian berlanjut kepada keyakinan, bahwa penciptaan alam semesta adalah pernyataan cinta kasih Tuhan yang direfleksikan dalam bentuk empirik atau sebagai mazhohir dari asma Allah.
Semenjak masa Abu Yazid al-Busthami, pendapat sufi condong kepada konsepsi ‘kesatuan wujud’ atau ‘union mistisism’, dimana inti ajarannya adalah bahwa dunia fenomena ini hanyalah bayangan dari realitas yang sesungguhnya, yaitu Tuhan. Satu-atunya wujud yang hakiki hanyalah wujud Tuhan yang merupakan dasar dan sumber kejadian dari segala sesuatu. Dunia adalah bayangan yang keberadaannya tergantung wujud Tuhan, sehingga realitas wujud ini hakikatnya tunggal. Sedangkan antara hakikat dengan yang nampak aneka terlihat ada perbedaan, hanyalah perbedaan relatif. Perbedaan hakikinya adalah akibat yang timbul dari keterbatasan akal budi. Jadi adanya keberagaman tidak lain hanyalah hasil pencerapan indrawi dan penalaran akal budi yang terbatas dan ketidak mampuan memahami ketunggalan dzat segala sesuatu. Jadi mereka berpendapat bahwa alam ini dimana di dalamnya terdapat manusia dan makhluk dan atau benda-benda lainnya merupakan radiasi dari ‘hakikat Ilahi’. Dalam diri manusia terdapat unsur-unsur ke-Tuhanan, karena ia merupakan pancaran Nur Ilahi (Cahaya Tuhan) seperti pancaran cahaya matahari.
Jika pada kedua konsepsi tentang Tuhan sebelumnya, para sufi mengartikan makrifat sebagai pengenalan Allah melalui qalbu dan merupakan terminal tertinggi yang bisa dicapai manusia, maka bagi sufi penganut ‘kesatuan wujud’, manusia masih dapat melewati ‘maqom ma’rifat’ yaitu ‘bersatu dengan Allah’ atau dikenal dengan istilah ‘ittihad’.
Para sufi sunni mengakui bahwa kedekatan manusia dengan Tuhannya, hanya dalam batas-batas syariat yang tetap “membedakan manusia dengan Tuhan”, dengan alasan bahwa manusia adalah manusia, sedangkan Tuhan adalah Tuhan, yang tidak mungkin dapat bersatu antara keduanya.
Sedangkan para sufi falsafi mengakui “kebersatuan manusia dengan Tuhannya” itu, adalah pengalaman batin, perjalanan ruhani dan pengalaman ruhani yang dijalani dan dialami dalam kondisi ‘ekstase’ mengalami ‘keterpaduan esensi’, bukan ‘kebersatuan substansi’.
Berkembangnya tasawuf sebagai jalan dan latihan untuk merealisir kesucian batin dalam perjalanan menuju kedekatan dengan Allah, juga menarik perhatian para pemikir muslim yang berlatar belakang teologi dan filsafat. Dari kelompok inilah tampil sejumlah sufi yang filosofis, atau filosof yang sufis. Konsep-konsep tasawuf mereka disebut ‘tasawuf falsafi’ yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat. Ajaran filsafat yang banyak dipergunakan dalam analisis tasawuf adalah paham ‘emanasi Neo-Platonisme’ dalam semua variasinya.
Selain Abu Yazid al-Busthami, tokoh tasawuf falsafi atau teosofi yang populer dan sebagai perintis adalah Ibn Masarrah (W.381H) dari Andalusi (Spanyol) yang berdasarkan teori emanasi berpendapat bahwa melalui jalan tasawuf manusia dapat membebaskan jiwanya dari cengkeraman badani (materi) dan memperoleh sinar Ilahi (emanasi) secara langsung (ma’rifat sejati). Suhrawardi al-Maqtul (W.578 H) berkebangsaan Persia/Iran adalah orang kedua yang mengkombinasikan teori filsafat dan tasawuf berangkat dari teori emanasi berpendapat bahwa melalui usaha keras dan sungguh-sungguh seseorang dapat membebaskan jiwanya dari perangkap ragawi untuk kemudian dapat kembali ke pangkalan pertama yakni alam malakut atau alam Ilahiyat. Konsepsi tersebut kemudian dikenal dengan nama ‘al-Israqiyah’.
Sementara itu al-Hallaj (W.308 H) memformulasikan teorinya dalam doktrin ‘Hulul’, yakni perpaduan insan dengan Tuhan secara rohaniyah atau makhluk dengan al-khalik.
Dan sebagai puncak dari pemikiran tasawuf falsafi adalah konsepsi al- Wihdat al- Wujud yang dasar-dasarnya diletakkan dan dinisbahkan kepada Ibnu ’ Arabi (W. 638 H).
Terinspirasi oleh Ibn Arabi, Ibn Faridh (W.633 H) seorang sufi penyair dari Mesir juga telah mengenalkan konsepsi pemikiran tasawuf yang mirip dengan al Wihdat al Wujud, disebut dengan “al-Wihdat al-Syuhud”.
al-Jilli (W. 832 H) juga mengemukakan pendapatnya bahwa upaya manusia melalui Ma’rifat untuk mendekati Tuhan akan mampu dicapai sampai kepada hakikat jati dirinya, yang disebut ‘insan kamil’.
Dalam teologi bermazhab Syi’ah dan berpola pikir Muktazilah, konsep-konsep tasawuf falsafi biasanya dapat diterima karena itu aliran tasawuf ini berkembang pesat dikawasan umat Islam bermazhab Syi’ah dan atau Muktazilah. Itulah alasannya kenapa tasawuf falsafi sering juga dinamai atau dinisbahkan ke dalam ‘tasawuf Syi’i’.
Pandangan ‘union mistisisme’ inilah yang membentuk konsepsi dasar tasawuf falsafi dan banyak meng-inspirasi para sufi bermazhab falsafi atau Sufi-Filosof untuk merumuskan dan melahirkan karya-karya pemikiran tasawuf falsafi, yang terkenal diantaranya adalah Ibnu Arabi, Ibnu Syab’in, Al Jilli, dll.
TASAWUF AKHLAQI 1
Tokoh2 Tasawuf Akhlaqi
BAB II
PEMBAHASAN
A. HASAN AL-BASHRI
1. Riwayat Hidup
Hasan Al-Bashri yang nama lengkapnya Abu Said Al-hasan bin Yasar, adalah seorang zahid yang sangat masyhur dikalangan tabi’in. Ia dilahirkan di Madinah pada tahun 21 H. (632 M) dan wafat pada hari kamis bulan rajab tanggal 10 tahun 110 H (728 H). Ia dilahirkan dua malam sebelum Khalifah Umar bin Khaththab wafat.
PEMBAHASAN
A. HASAN AL-BASHRI
1. Riwayat Hidup
Hasan Al-Bashri yang nama lengkapnya Abu Said Al-hasan bin Yasar, adalah seorang zahid yang sangat masyhur dikalangan tabi’in. Ia dilahirkan di Madinah pada tahun 21 H. (632 M) dan wafat pada hari kamis bulan rajab tanggal 10 tahun 110 H (728 H). Ia dilahirkan dua malam sebelum Khalifah Umar bin Khaththab wafat.
TASAWUF FALSAFI 5
Pendahuluan
Islam sufistik dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan Islam sertakhazanah intelektual Islam di Nusantara merupakan salah satu wacanayang masih menarik untuk dibincangkan. Hal ini tidak hanya disebabkanawal masuknya Islam ke Indonesia -sebagaimana ‘disepakati’ para ahlisejarah- bernuansa tasawuf. Namun juga dikarenakan adanya luka-lukasejarah dalam perkembangan Islam di negeri gemah ripah loh jinawi iniyang terkait langsung dengan issu Islam esoteris.
TASAWUF FALSAFI 4
A. Definisi Tasawuf Falsafi
Tasawuf Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (ma’rifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ketinggkat yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wihdatul wujud (kesatuan wujud). Bisa juga dikatakan tasawuf filsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat.
Di dalam tasawuf falsafi metode pendekatannya sangat berbeda dengan tasawuf sunni atau tasawuf salafi. kalau tasawuf sunni dan salafi lebih menonjol kepada segi praktis (العملي ), sedangkan tasawuf falsafi menonjol kepada segi teoritis (النطري ) sehingga dalam konsep-konsep tasawuf falsafi lebih mengedepankan asas rasio dengan pendektan-pendekatan filosofis yang ini sulit diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi orang awam, bahkan bisa dikatakan mustahil.
Dari adanya aliran tasawuf falsafi ini menurut saya sehingga muncullah ambiguitas-ambiguitas dalam pemahaman tentang asal mula tasawuf itu sendiri. kemudian muncul bebrapa teori yang mengungkapkan asal mula adanya ajaran tasawuf. Pertama; tasawuf itu murni dari Islam bukan dari pengaruh dari non-Islam. Kedua; tasawuf itu adalah kombinasi dari ajaran Islam dengan non-Islam seperti Nasrani, Hidu-Budha, filsafat Barat (gnotisisme). Ketiga; bahwa tasawuf itu bukan dari ajaran Islam atau pun yang lainnya melainkan independent.
Teori pertama yang mengatakan bahwa tasawuf itu murni dari Islam dengan berlandaskan QS. Qaf ayat 16 yang artinya “Telah Kami ciptakan manusia dan Kami tahuapa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Dan Kami lebih dekat dengan manusia daripada pembuluh darah yang ada dilehernya”. Ayat ini bukan hanya sebagai bukti atau dasar bahwa tasawuf itu murni dari Islam meliankan salah satu ajaran yang utama dalam tasawuf yaitu wihdatul wujud. Kemudian kami juga mengutip pendapat salah satu tokoh tasawuf yang terkenal yaitu Abu Qasim Junnaid Al-Baqdady, menurutnya “yang mungki menjadi ahli tasawuf ialah orang yang mengetahui seluruh kandungan al-qur’an dan sunnah”. Jadi menurut ahli sufi, setiap gerak-gerik tasawuf baik ‘ilmy dan ‘amaly haruslah bersumber dari al-qur’an dan sunnah. Maka jelas bahwa tasawuf adalah murni dari Islam yang tidak di syari’atkan oleh nabi akan tetapi beliau juga mempraktikkannya. Buktinya sejak zaman beliau (nabi Muhammada-red) juga ada kelompok yang mengasingkan diri dari dunia, sehingga untuk menjaga kekhusuan mereka beliau memberi mereka tempat kepada mereka di belakang muruh nabi. Meskipun istilah tasawuf itu belum ada tapi dapat di sinyalir bahwa munculnya ajaran-ajaran seperti itu (zuhud/ warok, mendekatkan diri pada Allah-red) sudah ada sejak zaman Islam mulai ada, dan nabi sendiri sejatinya adalah seorang sufi yang sejati.
Kemudian pendapat kedua yang mengatakan bahwa tasawuf adala kombinasi dari ajaran Islam dengan yang lainnya (non-Islam). Mereka memberi contoh beberapa ajaran yang ada di tasawuf sama dengan aliran (ajaran) lain, misal;
sumber dari Nasrani:
- Konsep Tawakal
- Peranan Syekh
- Adanya ajaran tentang menehan diri tidak menikah.
TASAWUF FALSAFI 3
IBN ARABI Mengusung Tasawuf Falsafi
MESKI PEMIKIRANNYA MEMILIKI PENGARUH BESAR, IA PUN TAK SEPI KRITIK.
Ibn Arabi merupakan seorang filsuf yang juga sufi. Ia mengembangkan apa yang disebut dengan tasawuf falsafi. Pemikirannya menarik minat para cendekiawan lainnya. Ia pun tak lepas dari pro dan kontra atas pemikirannya yang terlontar. Menurut Prof Dr Kautsar Azhari Noer dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, dalam Seminar Nasional Filsafat dan Mistitisme Islam, Ibn Arabi dan Mulia Sadra, UIN Syarif Hidayatullah, 16 Januari lalu, sejumlah ulama menyerang pemikiran Ibn Arabi.
Ibn Arabi merupakan seorang filsuf yang juga sufi. Ia mengembangkan apa yang disebut dengan tasawuf falsafi. Pemikirannya menarik minat para cendekiawan lainnya. Ia pun tak lepas dari pro dan kontra atas pemikirannya yang terlontar. Menurut Prof Dr Kautsar Azhari Noer dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, dalam Seminar Nasional Filsafat dan Mistitisme Islam, Ibn Arabi dan Mulia Sadra, UIN Syarif Hidayatullah, 16 Januari lalu, sejumlah ulama menyerang pemikiran Ibn Arabi.
TASAWUF FALSAFI 2
Tasawuf Falsafi : Dasar-dasar Teologi dan Historis
Tasawuf Falsafi : Dasar-dasar Teologi dan Historis
Oleh: Mochamad Soef
Latar Belakang
Munculnya konsep tipologi tasawuf antara lain tasawuf akhlaki, amali, dan falsafi. Sesungguhnya tipologi tasawuf memiliki tujuan yang sama yaitu melalui mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan cara membersihkan diri dan menjauhkan diri dari perbuatan tercela, serta manghasilkan perbuatan terpuji.
Dan adanya anggapan bahwa konsep tasawuf erat kaitannya dengan mistis dengan Tuhan, yaitu seorang sufi merasakan dapat berhubungan langsung dengan Tuhan-Nya, bahkan dapat menyatu secara rahani dengan-Nya.
TASAWUF FALSAFI 1 Tasawuf falsafi di Nusantara Abad ke XVII M
Pendahuluan
Islam sufistik dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan Islam serta khazanah intelektual Islam di Nusantara merupakan salah satu wacana yang masih menarik untuk dibincangkan. Hal ini tidak hanya disebabkan awal masuknya Islam ke Indonesia -sebagaimana ‘disepakati’ para ahli sejarah- bernuansa tasawuf. Namun juga dikarenakan adanya luka-luka sejarah dalam perkembangan Islam di negeri gemah ripah loh jinawi ini yang terkait langsung dengan issu Islam esoteris.
Eksekusi mati terhadap Syekh Siti Jenar pada abad ke 15 M di Jawa oleh Wali Songo, pembunuhan terhadap para penganut paham wahdah al-wujud di Serambi Mekah -Aceh- atas fatwa qadhi kesultanan yang waktu itu dijabat Al-Raniri, adalah luka yang akan tetap meninggalkan codet dalam lembaran sejarah Islam di Indonesia. Selanjutnya, budaya masyarakat Nusantara yang amat kental dengan dunia mistik -terutama sejak masuknya Hindu dan Budha dari India- merupakan faktor yang tidak bisa dikesampingkan yang membuat semakin menariknya wacana ini.
1. Tasawuf Falsafi di Dunia Islam
Tasawuf falasafi secara sederhana dapat didefenisikan sebagai kajian dan jalan esoteris dalam Islam untuk mengembangkan kesucian bathin yang kaya dengan pandangan-pandangan filosofis. Keberadaan tasawuf bercorak falsafi ini pada satu sisi telah menarik perhatian para ulama yang pada awalnya kurang senang dengan kehadiran filsafat dalam khazanah Islam. Sementara bagi para ulama yang menyenangi kajian-kajian filsafat dan sekaligus menguasainya, tasawuf falsafi bagaikan sungai yang airnya demikian bening dan begitu menggoda untuk direnangi.
Ulama pertama yang dapat dianggap sebagai tokoh tasawuf falsafi adalah Ibn Masarrah (w. 319/931) yang muncul dari Andalusia. Sekaligus dia dapat dianggap sebagai filosof sufi pertama dalam dunia Islam. Pandangan filsafatnya adalah emanasi yang mirip dengan emanasi Plotinus.
Menurutnya, melalui jalan tasawuf manusia dapat melepaskan jiwanya dari belenggu/penjara badan dan memperoleh karunia Tuhan berupa penyinaran hati dengan nur Tuhan. Suatu ma’rifah yang memberikan kebahagiaan sejati. Ia juga menganut pandangan bahwa kehidupan di akhirat bersifat ruhani, sehingga di akhirat kelak manusia dibangkitkan ruhnya saja, tidak dengan badan. Pandangan yang amat mirip dengan penyataan Ibnu Sina tentang kebangkitan manusia kelak di akhirat.
Tokoh kedua yang berpengaruh besar dalam dunia tasawuf falsasi adalah Suhrawardi al-Maqtul, sufi yang dibunuh di Aleppo pada tahun 587/1191, -karena pandangannya yang telah keluar dari Islam menurut ulama fuqaha. Suhrawardi juga seorang penganut paham emanasinya Ibnu Sina.
Bila tasawuf sunni (akhlaki) memperoleh bentuk yang final di tangan Imam Al-Gazali, maka tasawuf falsafi mencapai ‘puncak’ kesempurnaan dalam pengajaran Ibn Arabi, seorang sufi yang juga datang dari Andalusia. Pengetahuan Ibnu Arabi yang amat kaya dalam bidang keislaman dan lapangan filsafat, membuatnya mampu menghasilkan karya yang demikian banyak, di antaranya al-Futuhad al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam. Boleh dikatakan hampir semua pengajaran, praktek dan ide-ide yang berkembang di kalangan sufi pada masa itu mampu diliput dan kemudian diberinya penjelasan yang amat memadai.
Ajaran sentral Ibn Arabi adalah kesatuan wujud (wahdah al-wujud). Menurutnya wujud itu hanyalah satu ; yaitu wujud yang berdiri dengan dirinya sendiri, itulah Tuhan, Zat Yang Maha Benar. Alam yang banyak sekalipun mempunyai wujud, namun dia tidak berwujud dengan wujud sendiri, melainkan berwujud dengan wujud Allah. Wujud alam adalah khayal, maksudnya bila ia kelihatan sebagai wujud yang berdiri sendiri, maka sesungguhnya ia berwujud dengan wujud Tuhan. Oleh sebab itu kemudian dikatakan bahwa wujud Tuhan dengan wujud alam adalah satu, bukan dua atau banyak. Alam yang banyak dan beraneka ragam adalah manifestasi atau penampakan dari wujud Tuhan yang satu. Dari segi hakekat, alam tidak lain dari Tuhan. Sedangkan dari sudut manifestasi, alam benar-benar berbeda dengan Tuhan. Alam bukanlah Tuhan dan tidak sama dengan Tuhan.
Ada banyak tokoh sufi filosof yang muncul setelah meninggalnya Ibnu Arabi di Damaskus. Di antara yang terkenal adalah ; al-Qunawi, al-Farqani, al-Qaishari, Jalaluddin Rumi dan al-Jili dan lain-lain. Tasawuf bercorak falsafi ini kemudian memperoleh tanah yang subur, terutama di Persia. Umumnya kalangan Syi’ah Isma’iliyah dan Syi’ah Dua Belas dapat menerima dan membenarkan paham ini.
Tasawuf falsafi yang telah mencapai puncak di tangan Ibnu Arabi, yang kemudian berkembang di tangan para sufi filosof sesudanya, menyebar hampir ke seluruh dunia Islam dengan jaringan sebagaimana yang diungkapkan Azyumardi Azra dalam “Jaringan Ulama”nya. Lewat jaringan itu pula tasawuf falsafi masuk ke Indonesia yang kemudian memunculkan tokoh-tokoh sufi filosof yang juga tidak sepi dari ungkapan syhathahad-¬nya. Seperti Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani, yang kiprah keduanya akan dibicarakan pada pembahasan berikut.
Dibanding dengan tasawuf sunni, tasawuf falsafi lebih kaya dengan ide-ide dan pikiran-pikiran tentang Tuhan dan alam metafisik. Ide-ide yang oleh para sufinya dipandang tidak bertentangan dengan ajaran al-Qur’an dan Sunnah, termasuk dalam hal ini ungkapan syathahad-nya. Sementara tasawuf sunni tidak mementingkan ide-ide dan pikiran spekulatif dalam tataran falsafah. Para sufi sunni sudah merasa cukup dengan pemahaman akidah pokok yang diajarkan dalam ilmu tauhid. Persoalan qadim-nya alam, kehidupan akhirat yang bersifat ruhani tidak terdapat dalam kajian tasawuf sunni, karena dipandang tidak benar, menyalahi apa yang diajarkan para mutakallimin.
Islam sufistik dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan Islam serta khazanah intelektual Islam di Nusantara merupakan salah satu wacana yang masih menarik untuk dibincangkan. Hal ini tidak hanya disebabkan awal masuknya Islam ke Indonesia -sebagaimana ‘disepakati’ para ahli sejarah- bernuansa tasawuf. Namun juga dikarenakan adanya luka-luka sejarah dalam perkembangan Islam di negeri gemah ripah loh jinawi ini yang terkait langsung dengan issu Islam esoteris.
Eksekusi mati terhadap Syekh Siti Jenar pada abad ke 15 M di Jawa oleh Wali Songo, pembunuhan terhadap para penganut paham wahdah al-wujud di Serambi Mekah -Aceh- atas fatwa qadhi kesultanan yang waktu itu dijabat Al-Raniri, adalah luka yang akan tetap meninggalkan codet dalam lembaran sejarah Islam di Indonesia. Selanjutnya, budaya masyarakat Nusantara yang amat kental dengan dunia mistik -terutama sejak masuknya Hindu dan Budha dari India- merupakan faktor yang tidak bisa dikesampingkan yang membuat semakin menariknya wacana ini.
1. Tasawuf Falsafi di Dunia Islam
Tasawuf falasafi secara sederhana dapat didefenisikan sebagai kajian dan jalan esoteris dalam Islam untuk mengembangkan kesucian bathin yang kaya dengan pandangan-pandangan filosofis. Keberadaan tasawuf bercorak falsafi ini pada satu sisi telah menarik perhatian para ulama yang pada awalnya kurang senang dengan kehadiran filsafat dalam khazanah Islam. Sementara bagi para ulama yang menyenangi kajian-kajian filsafat dan sekaligus menguasainya, tasawuf falsafi bagaikan sungai yang airnya demikian bening dan begitu menggoda untuk direnangi.
Ulama pertama yang dapat dianggap sebagai tokoh tasawuf falsafi adalah Ibn Masarrah (w. 319/931) yang muncul dari Andalusia. Sekaligus dia dapat dianggap sebagai filosof sufi pertama dalam dunia Islam. Pandangan filsafatnya adalah emanasi yang mirip dengan emanasi Plotinus.
Menurutnya, melalui jalan tasawuf manusia dapat melepaskan jiwanya dari belenggu/penjara badan dan memperoleh karunia Tuhan berupa penyinaran hati dengan nur Tuhan. Suatu ma’rifah yang memberikan kebahagiaan sejati. Ia juga menganut pandangan bahwa kehidupan di akhirat bersifat ruhani, sehingga di akhirat kelak manusia dibangkitkan ruhnya saja, tidak dengan badan. Pandangan yang amat mirip dengan penyataan Ibnu Sina tentang kebangkitan manusia kelak di akhirat.
Tokoh kedua yang berpengaruh besar dalam dunia tasawuf falsasi adalah Suhrawardi al-Maqtul, sufi yang dibunuh di Aleppo pada tahun 587/1191, -karena pandangannya yang telah keluar dari Islam menurut ulama fuqaha. Suhrawardi juga seorang penganut paham emanasinya Ibnu Sina.
Bila tasawuf sunni (akhlaki) memperoleh bentuk yang final di tangan Imam Al-Gazali, maka tasawuf falsafi mencapai ‘puncak’ kesempurnaan dalam pengajaran Ibn Arabi, seorang sufi yang juga datang dari Andalusia. Pengetahuan Ibnu Arabi yang amat kaya dalam bidang keislaman dan lapangan filsafat, membuatnya mampu menghasilkan karya yang demikian banyak, di antaranya al-Futuhad al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam. Boleh dikatakan hampir semua pengajaran, praktek dan ide-ide yang berkembang di kalangan sufi pada masa itu mampu diliput dan kemudian diberinya penjelasan yang amat memadai.
Ajaran sentral Ibn Arabi adalah kesatuan wujud (wahdah al-wujud). Menurutnya wujud itu hanyalah satu ; yaitu wujud yang berdiri dengan dirinya sendiri, itulah Tuhan, Zat Yang Maha Benar. Alam yang banyak sekalipun mempunyai wujud, namun dia tidak berwujud dengan wujud sendiri, melainkan berwujud dengan wujud Allah. Wujud alam adalah khayal, maksudnya bila ia kelihatan sebagai wujud yang berdiri sendiri, maka sesungguhnya ia berwujud dengan wujud Tuhan. Oleh sebab itu kemudian dikatakan bahwa wujud Tuhan dengan wujud alam adalah satu, bukan dua atau banyak. Alam yang banyak dan beraneka ragam adalah manifestasi atau penampakan dari wujud Tuhan yang satu. Dari segi hakekat, alam tidak lain dari Tuhan. Sedangkan dari sudut manifestasi, alam benar-benar berbeda dengan Tuhan. Alam bukanlah Tuhan dan tidak sama dengan Tuhan.
Ada banyak tokoh sufi filosof yang muncul setelah meninggalnya Ibnu Arabi di Damaskus. Di antara yang terkenal adalah ; al-Qunawi, al-Farqani, al-Qaishari, Jalaluddin Rumi dan al-Jili dan lain-lain. Tasawuf bercorak falsafi ini kemudian memperoleh tanah yang subur, terutama di Persia. Umumnya kalangan Syi’ah Isma’iliyah dan Syi’ah Dua Belas dapat menerima dan membenarkan paham ini.
Tasawuf falsafi yang telah mencapai puncak di tangan Ibnu Arabi, yang kemudian berkembang di tangan para sufi filosof sesudanya, menyebar hampir ke seluruh dunia Islam dengan jaringan sebagaimana yang diungkapkan Azyumardi Azra dalam “Jaringan Ulama”nya. Lewat jaringan itu pula tasawuf falsafi masuk ke Indonesia yang kemudian memunculkan tokoh-tokoh sufi filosof yang juga tidak sepi dari ungkapan syhathahad-¬nya. Seperti Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani, yang kiprah keduanya akan dibicarakan pada pembahasan berikut.
Dibanding dengan tasawuf sunni, tasawuf falsafi lebih kaya dengan ide-ide dan pikiran-pikiran tentang Tuhan dan alam metafisik. Ide-ide yang oleh para sufinya dipandang tidak bertentangan dengan ajaran al-Qur’an dan Sunnah, termasuk dalam hal ini ungkapan syathahad-nya. Sementara tasawuf sunni tidak mementingkan ide-ide dan pikiran spekulatif dalam tataran falsafah. Para sufi sunni sudah merasa cukup dengan pemahaman akidah pokok yang diajarkan dalam ilmu tauhid. Persoalan qadim-nya alam, kehidupan akhirat yang bersifat ruhani tidak terdapat dalam kajian tasawuf sunni, karena dipandang tidak benar, menyalahi apa yang diajarkan para mutakallimin.
2. Tasawuf Falsafi di Nusantara
Wacana tasawuf falsafi di Nusantara agaknya dimotori oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani, dua tokoh sufi yang datang dari pulau Andalas (Sumatera) pada abad ke 17 M. Sekalipun pada abad ke 15 sebelumnya telah terjadi peristiwa tragis berupa eksekusi mati terhadap Syekh Siti Jenar atas fatwa dari Wali Songo, karena ajarannya dipandang menganut doktrin sufistik yang bersifat bid’ah berupa pengakuan akan kesatuan wujud manusia dengan wujud Tuhan, Zat Yang Maha Mutlak.
Namun sejauh ini penulis belum menemukan literatur yang menjelaskan apakah paham yang dianut Syekh Siti Jenar adalah wahdatulwujud yang berasal dari Ibnu Arabi lewat ‘jaringan ulama’ sebagaimana dimaksud Azra dalam bukunya tersebut. Terlebih lagi terlalu sedikit literatur yang menjelaskan keberadaan sosok Syekh Siti Jenar dalam khazanah keislaman di Nusantara. Paling tidak menurut Alwi Shihab, kehadiran Syekh Siti Jenar dengan ajaran dan syathahad-nya yang dipandang sesat, dapat dijadikan sebagai tahap pertama perkembangan tasawuf falsafi di Indonesia. Alwi menamakannya sebagai tahap perkenalan. Pembunuhan terhadap Syekh Siti Jenar agaknya telah meredupkan cahaya perkembangan tasawuf falsafi di Indonesia dalam waktu yang lama, sampai kemudian munculnya Hamzah dan Syamsuddin di Sumatera.
Hamzah Fansuri adalah keturunan Melayu yang dilahirkan di Fansur -nama lain dari Barus-. Para peneliti tidak menemukan bukti yang valid kapan sebenarnya Hamzah lahir. Dia diperkirakan hidup pada akhir abad ke 16 dan awal abad ke 17, yakni pada masa sebelum dan selama pemerintahan Sultan ‘Ala al-Din Ri’yat Syah (berkuasa 977-1011H/1589-1602M). Hamzah diperkirakan meninggal sebelum tahun 1016H/1607M.
Hamzah memulai pendidikannya di Barus, kota kelahirannya yang pada waktu itu menjadi pusat perdagangan, karena saat itu Aceh berada dalam kemajuan di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda dan Iskandar Tsani. Kwalitas pendidikan yang cukup baik di Aceh menjadikan Hamzah dapat mempelajari ilmu-ilmu agama seperti ; fiqh, tauhid, akahlak, tasawuf, dan juga ilmu umum seperti ; kesustraan, sejarah dan logika. Selesai mengikuti pendidikan di tanah kelahirannya, Hamzah kemudian melanjutkan pendidikan ke Timur Tengah, khususnya Persia dan Arab. Sehingga dia dapat menguasai bahasa Arab dan Persia, mungkin juga bahasa Urdu. Dalam hal tasawuf falsafi diperkirakan Hamzah mempelajari dari Iraqi, murid Sadr al-Din al-Qunawi, murid kesayangan Ibnu Arabi.
Sekembalinya dari perantauan menuntut ilmu, Hamzah mengajarkan agama di Aceh melalui lembaga pendidikan “Dayah” (pesantren) di Oboh Simpang-Kanan, yang merupakan cabang dari Dayah Simpang-Kiri yang diasuh oleh kakaknya Syekj Ali Fansuri, ayah dari Abdr Rauf al-Sinkli. Hamzah ternyata tidak hanya berakfitas sebagai guru, namun juga rajin menulis. Tetapi sangat disayangkan karya-karya Hamzah tersebut tidak lagi ditemukan karena telah dimusnahkan oleh ‘lawan-lawannya’ yang menentang paham wujudiyah yang dikembangkan oleh Hamzah.
Pemikiran Hamzah tentang ajaran wujudiyah terdapat dalam karyanya Zinat al-Wahidin, yang terdiri dari tujuh bab. Menurut Hamzah hakekat dari Zat Yang Maha Mutlak, Kadim dan pencipta alam semesta tidak dapat ditentukan atau dilukiskan. Dalam kaitan ini bagi Hamzah alam yang pada mulanya bersifat ruhani kemudian berubah berisifat jasmani adalah manifestasi dari zat Ilahi. Zat Ilahi menampung seluruh wujud, sehingga dalam aspek transenden zat Tuhan tidak bertepi. Pada aspek immanen zat Tuhan juga tidak terpisah dari alam. Lebih jauh Hamzah menjelaskan tahap-tahap hubungan Tuhan dengan manifestasi-Nya, alam.
Tahap pertama disebut la ta’ayyun, pada tahap ini Tuhan yang Esa belum berhubungan dengan alam. Lalu bagaimana Tuhan menciptakan alam, padahal suatu hal yang mustahil Tuhan sebagai Zat Yang Mutlak dari-Nya langsung muncul nakhluk-makhluk yang sifatnya relatif. Menurut Hamzah Penciptaan dari Zat Mutlak ke alam yang relatif membutuhkan tahapan-tahapan. Ia membagi tahapan-tahapan ini kepada lima tahapan yang disebut dengan ta’ayyun atau penampakan.
Pertama, ta’ayyun awwal yaitu Tuhan menampakkan diri-Nya melalui ilmu-Nya, sifat-Nya dan Nur-Nya, ide-ide ketuhanan pada tahap ini dalam pengajaran Syamsuddin Samatrani masih bersifat ijmali atau global. Kedua ta’ayyun tsani merupakan penampakan dalam diri Tuhan yang menghasilkan munnculnya pengetahuan terperinci tentang hakikat-hakikat alam (a’yyan tsabitah). Dalam pengajaran Hamzahditegaskan bahwa a’yan tsabitah tidaklah memiliki wujud aktual. Unsur ini merupakan pola-pola rancangan tetap dan lengkap tentang alam. Alam diwujudkan Tuhan secara aktual menurut pola-pola rancangan tersebut. Ketiga ta’ayyun tsalist, yaitu penampakan Tuhan dalam alam arwah, tahap ini terjadi di luar zat yang Mutlak sehingga dinamakan a’yan kharijah. Keempat, ta’ayyun rabi’ merupakan penampakan kepada seluruh makhluk, tapi masih dalam alam misal dan kelima, ta’ayyun khamis, penampakan Tuhan terakhir pada alam insan dan alam dunia.
Tahapan-tahapan dalam penciptaan ini hanyalah hirarki yang disusun untuk lebih mudah memahami, yang sebenarnya terjadi secara gradual dan seketika. Dengan pemikiran ini Hamzah menjelaskan bahwa penampakan Tuhan tidak terjadi begitu saja atau secara langsung, tapi melalui tahap tertentu, sehingga keesaan dan kemurnian Tuhan tidak tercampuri dengan makhluk.
Ajaran wujudiyah Hamzah ini kemudian dikembangkan oleh muridnya Syamsuddin Sumatrani. Kebanyakan peneliti berpendapat, hubungan mereka adalah guru-murid. Abdul Azis juga membenarkan pendapat A. Hasymy bahwa hubungan Hamzah dengan Syamsuddin sebagai murid dan khalifah, karena menurutnya telah dijumpai dua karya Syamsuddin yang merupakan ulasan atau syarah terhadap pengajaran Hamzah yaitu : Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri dan Syarah Syair Ikan Tongkol.
Terdapat banyak informasi tentang potret pribadi syeikh di antaranya : Hikayat Aceh, Adat Aceh, Bustan al-Salathin dan informasi dari pengembara dan peneliti asing. Dari informasi tersebut dijelaskan bahwa Syamsuddin lahir kira-kira 1589 dan wafat 24 Februari 1630 berdasarkan informasi Deny Lombard. Syaikh banyak melahirkan karya bermutu seperti : Jawhar al-Haqaiq, Risalah Tubayyin Mulahazah, Nur al-Daqaiq, Thariq al-Sahlikin, I’raj al-Iman dan karya lainnya. Syamsuddin menguasai beberapa bahasa, tapi karya-karyanya kebanyakan ditulis dalam bahasa Melayu dan Arab.
Pemberian makna “Tiada wujud selain Allah” bagi kalimat tauhid la ilaha illa Allah hanya dilakukan oleh kalangan sufi penganut paham wujudiyyah saja, dan itu menjadi ciri khas yang membedakan kalangan penganut paham wujudiyyah dengan kalangan sufi lainnya. Pengakuan bahwa tidak ada wujud selain Allah disebut dalam pengajaran Syamsuddin sebagai tauhid hakiki (al-tawhid al-haqiqi) atau tauhid yang murni (al-tawhid al-khalish). Menurutnya, tauhid hakiki atau tauhid murni itu baru ada pada seseorang jika ia mengakui bahwa tidak ada pelaku atau pembuat selain Allah, tidak ada yang ditaati atau disembah selain Allah dan tidak ada wujud selain Allah.
Syamsuddin, dalam pengajarannya tentang maksud kalimat-kalimat tauhid itu, juga mengingatkan pengikutnya tentang perbedaan pendirian mereka sebagai penganut tauhid yang benar (al-muwahhidin al-shiddiqin) dengan kaum yang ia sebut sebagai orang-orang zindiq. Menurutnya kedua pihak itu sepakat dalam hal menetapkan maksud kalimat tauhid la ilaha illa Allah, yakni tiada wujud selain Allah, sedangkan wujud sekalian alam adalah bersifat bayang-bayang, majazi atau fatamorgana, dibandingkan dengan wujud Allah.
Sedangkan paham kaum zindiq, wujud Tuhan tidak ada kecuali dengan kandungan wujud alam seluruhnya; semua wujud alam adalah wujud Tuhan dan wujud Tuhan adalah wujud alam, baik dari segi wujud maupun dari segi ta’ayyun-ta’ayyun (penampakan-penampakan). Mereka menetapkan kesatuan hakiki dalam kejamakan alam tanpa membedakan martabat Tuhan dengan alam.
Paham demikian, menurut Syamsuddin adalah paham batil, tidak benar dan ditolak oleh penganut tauhid yang benar. Berdasarkan pendapat ini terkesan jauh-jauh hari sebelum Nuruddin al-Raniry mengkritik paham Syamsuddin sebagai mulhid, ia sendiri telah menjelaskan bahwa mana wujudiyyah mulhid dan mana yang muwahhid berdasarkan keterangan di atas.
Pengajaran Syamsuddin tentang Tuhan dengan corak paham wujudiyyah dikenal juga dengan pengajaran tentang “martabat tujuh”, yaitu tentang satu wujud dengan tujuh martabatnya. Pengajarannya tentang ini agaknya samam dengan yang diajarkan al-Buhanpuri, yang diduga kuat sebagai orang pertama yang membagi martabat wujud itu kepada tujuh kategori. Ketujuh martabat tersebut adalah : martabat ahadiyyah, martabat wahdah, martabat wahidiyyah, martabat alam arwah, martabat alam mitsal, martabat alam ajsam dan martabat alam insan.
Al-Buhanpuri pernah mengingatkan bahwa sebutan martabat ketuhanan tidak boleh dipakaikan untuk martabat alam dan begitu pula sebaliknya. Akan tetapi dalam karya al-Burhanpuri tidak dijelaskan secara implisit tentang itu. Syamsuddin sebagai penganut paham martabat tujuh ini di Nusantara telah mengkategorikan martabat ketuhanan dan martabat kemakhlukan seperti yang disimpulkan Abdul Aziz Dahlan. Menurutnya, secara eksplisit dalam karya Syamsuddin terlihat tiga martabat, pertama disebut anniyat Allah, yaitu martabat wujud aktual Allah, sedangkan empat martabat berikutnya disebut anniyah al-Makhluq, yaitu martabat wujud aktual makhluk.
Paham martabat tujuh inilah yang membedakan antara Syamsuddin Sumatrani dengan gurunya Hamzah Fansuri, yang mana dalam ajaran Hamzah tidak ditemukan pengajaran ini. Tetapi keduanya sangat menekankan pemahaman tauhid yang murni, bahwa Tuhan tidak boleh disamakan atau dicampurkan dengan unsur alam, dikenal dalam pengajaran Hamzah Fansuri la ta’ayyun. Sedangkan dalam pengajaran Syamsuddin dikenal dengan aniyat Alllah, yang merupakan kejelasan dari ajaran al-Burhanpuri untuk tidak mencampur-adukkan martabat ketuhanan dengan martabat kemakhlukan.
Namun sejauh ini penulis belum menemukan literatur yang menjelaskan apakah paham yang dianut Syekh Siti Jenar adalah wahdatulwujud yang berasal dari Ibnu Arabi lewat ‘jaringan ulama’ sebagaimana dimaksud Azra dalam bukunya tersebut. Terlebih lagi terlalu sedikit literatur yang menjelaskan keberadaan sosok Syekh Siti Jenar dalam khazanah keislaman di Nusantara. Paling tidak menurut Alwi Shihab, kehadiran Syekh Siti Jenar dengan ajaran dan syathahad-nya yang dipandang sesat, dapat dijadikan sebagai tahap pertama perkembangan tasawuf falsafi di Indonesia. Alwi menamakannya sebagai tahap perkenalan. Pembunuhan terhadap Syekh Siti Jenar agaknya telah meredupkan cahaya perkembangan tasawuf falsafi di Indonesia dalam waktu yang lama, sampai kemudian munculnya Hamzah dan Syamsuddin di Sumatera.
Hamzah Fansuri adalah keturunan Melayu yang dilahirkan di Fansur -nama lain dari Barus-. Para peneliti tidak menemukan bukti yang valid kapan sebenarnya Hamzah lahir. Dia diperkirakan hidup pada akhir abad ke 16 dan awal abad ke 17, yakni pada masa sebelum dan selama pemerintahan Sultan ‘Ala al-Din Ri’yat Syah (berkuasa 977-1011H/1589-1602M). Hamzah diperkirakan meninggal sebelum tahun 1016H/1607M.
Hamzah memulai pendidikannya di Barus, kota kelahirannya yang pada waktu itu menjadi pusat perdagangan, karena saat itu Aceh berada dalam kemajuan di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda dan Iskandar Tsani. Kwalitas pendidikan yang cukup baik di Aceh menjadikan Hamzah dapat mempelajari ilmu-ilmu agama seperti ; fiqh, tauhid, akahlak, tasawuf, dan juga ilmu umum seperti ; kesustraan, sejarah dan logika. Selesai mengikuti pendidikan di tanah kelahirannya, Hamzah kemudian melanjutkan pendidikan ke Timur Tengah, khususnya Persia dan Arab. Sehingga dia dapat menguasai bahasa Arab dan Persia, mungkin juga bahasa Urdu. Dalam hal tasawuf falsafi diperkirakan Hamzah mempelajari dari Iraqi, murid Sadr al-Din al-Qunawi, murid kesayangan Ibnu Arabi.
Sekembalinya dari perantauan menuntut ilmu, Hamzah mengajarkan agama di Aceh melalui lembaga pendidikan “Dayah” (pesantren) di Oboh Simpang-Kanan, yang merupakan cabang dari Dayah Simpang-Kiri yang diasuh oleh kakaknya Syekj Ali Fansuri, ayah dari Abdr Rauf al-Sinkli. Hamzah ternyata tidak hanya berakfitas sebagai guru, namun juga rajin menulis. Tetapi sangat disayangkan karya-karya Hamzah tersebut tidak lagi ditemukan karena telah dimusnahkan oleh ‘lawan-lawannya’ yang menentang paham wujudiyah yang dikembangkan oleh Hamzah.
Pemikiran Hamzah tentang ajaran wujudiyah terdapat dalam karyanya Zinat al-Wahidin, yang terdiri dari tujuh bab. Menurut Hamzah hakekat dari Zat Yang Maha Mutlak, Kadim dan pencipta alam semesta tidak dapat ditentukan atau dilukiskan. Dalam kaitan ini bagi Hamzah alam yang pada mulanya bersifat ruhani kemudian berubah berisifat jasmani adalah manifestasi dari zat Ilahi. Zat Ilahi menampung seluruh wujud, sehingga dalam aspek transenden zat Tuhan tidak bertepi. Pada aspek immanen zat Tuhan juga tidak terpisah dari alam. Lebih jauh Hamzah menjelaskan tahap-tahap hubungan Tuhan dengan manifestasi-Nya, alam.
Tahap pertama disebut la ta’ayyun, pada tahap ini Tuhan yang Esa belum berhubungan dengan alam. Lalu bagaimana Tuhan menciptakan alam, padahal suatu hal yang mustahil Tuhan sebagai Zat Yang Mutlak dari-Nya langsung muncul nakhluk-makhluk yang sifatnya relatif. Menurut Hamzah Penciptaan dari Zat Mutlak ke alam yang relatif membutuhkan tahapan-tahapan. Ia membagi tahapan-tahapan ini kepada lima tahapan yang disebut dengan ta’ayyun atau penampakan.
Pertama, ta’ayyun awwal yaitu Tuhan menampakkan diri-Nya melalui ilmu-Nya, sifat-Nya dan Nur-Nya, ide-ide ketuhanan pada tahap ini dalam pengajaran Syamsuddin Samatrani masih bersifat ijmali atau global. Kedua ta’ayyun tsani merupakan penampakan dalam diri Tuhan yang menghasilkan munnculnya pengetahuan terperinci tentang hakikat-hakikat alam (a’yyan tsabitah). Dalam pengajaran Hamzahditegaskan bahwa a’yan tsabitah tidaklah memiliki wujud aktual. Unsur ini merupakan pola-pola rancangan tetap dan lengkap tentang alam. Alam diwujudkan Tuhan secara aktual menurut pola-pola rancangan tersebut. Ketiga ta’ayyun tsalist, yaitu penampakan Tuhan dalam alam arwah, tahap ini terjadi di luar zat yang Mutlak sehingga dinamakan a’yan kharijah. Keempat, ta’ayyun rabi’ merupakan penampakan kepada seluruh makhluk, tapi masih dalam alam misal dan kelima, ta’ayyun khamis, penampakan Tuhan terakhir pada alam insan dan alam dunia.
Tahapan-tahapan dalam penciptaan ini hanyalah hirarki yang disusun untuk lebih mudah memahami, yang sebenarnya terjadi secara gradual dan seketika. Dengan pemikiran ini Hamzah menjelaskan bahwa penampakan Tuhan tidak terjadi begitu saja atau secara langsung, tapi melalui tahap tertentu, sehingga keesaan dan kemurnian Tuhan tidak tercampuri dengan makhluk.
Ajaran wujudiyah Hamzah ini kemudian dikembangkan oleh muridnya Syamsuddin Sumatrani. Kebanyakan peneliti berpendapat, hubungan mereka adalah guru-murid. Abdul Azis juga membenarkan pendapat A. Hasymy bahwa hubungan Hamzah dengan Syamsuddin sebagai murid dan khalifah, karena menurutnya telah dijumpai dua karya Syamsuddin yang merupakan ulasan atau syarah terhadap pengajaran Hamzah yaitu : Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri dan Syarah Syair Ikan Tongkol.
Terdapat banyak informasi tentang potret pribadi syeikh di antaranya : Hikayat Aceh, Adat Aceh, Bustan al-Salathin dan informasi dari pengembara dan peneliti asing. Dari informasi tersebut dijelaskan bahwa Syamsuddin lahir kira-kira 1589 dan wafat 24 Februari 1630 berdasarkan informasi Deny Lombard. Syaikh banyak melahirkan karya bermutu seperti : Jawhar al-Haqaiq, Risalah Tubayyin Mulahazah, Nur al-Daqaiq, Thariq al-Sahlikin, I’raj al-Iman dan karya lainnya. Syamsuddin menguasai beberapa bahasa, tapi karya-karyanya kebanyakan ditulis dalam bahasa Melayu dan Arab.
Pemberian makna “Tiada wujud selain Allah” bagi kalimat tauhid la ilaha illa Allah hanya dilakukan oleh kalangan sufi penganut paham wujudiyyah saja, dan itu menjadi ciri khas yang membedakan kalangan penganut paham wujudiyyah dengan kalangan sufi lainnya. Pengakuan bahwa tidak ada wujud selain Allah disebut dalam pengajaran Syamsuddin sebagai tauhid hakiki (al-tawhid al-haqiqi) atau tauhid yang murni (al-tawhid al-khalish). Menurutnya, tauhid hakiki atau tauhid murni itu baru ada pada seseorang jika ia mengakui bahwa tidak ada pelaku atau pembuat selain Allah, tidak ada yang ditaati atau disembah selain Allah dan tidak ada wujud selain Allah.
Syamsuddin, dalam pengajarannya tentang maksud kalimat-kalimat tauhid itu, juga mengingatkan pengikutnya tentang perbedaan pendirian mereka sebagai penganut tauhid yang benar (al-muwahhidin al-shiddiqin) dengan kaum yang ia sebut sebagai orang-orang zindiq. Menurutnya kedua pihak itu sepakat dalam hal menetapkan maksud kalimat tauhid la ilaha illa Allah, yakni tiada wujud selain Allah, sedangkan wujud sekalian alam adalah bersifat bayang-bayang, majazi atau fatamorgana, dibandingkan dengan wujud Allah.
Sedangkan paham kaum zindiq, wujud Tuhan tidak ada kecuali dengan kandungan wujud alam seluruhnya; semua wujud alam adalah wujud Tuhan dan wujud Tuhan adalah wujud alam, baik dari segi wujud maupun dari segi ta’ayyun-ta’ayyun (penampakan-penampakan). Mereka menetapkan kesatuan hakiki dalam kejamakan alam tanpa membedakan martabat Tuhan dengan alam.
Paham demikian, menurut Syamsuddin adalah paham batil, tidak benar dan ditolak oleh penganut tauhid yang benar. Berdasarkan pendapat ini terkesan jauh-jauh hari sebelum Nuruddin al-Raniry mengkritik paham Syamsuddin sebagai mulhid, ia sendiri telah menjelaskan bahwa mana wujudiyyah mulhid dan mana yang muwahhid berdasarkan keterangan di atas.
Pengajaran Syamsuddin tentang Tuhan dengan corak paham wujudiyyah dikenal juga dengan pengajaran tentang “martabat tujuh”, yaitu tentang satu wujud dengan tujuh martabatnya. Pengajarannya tentang ini agaknya samam dengan yang diajarkan al-Buhanpuri, yang diduga kuat sebagai orang pertama yang membagi martabat wujud itu kepada tujuh kategori. Ketujuh martabat tersebut adalah : martabat ahadiyyah, martabat wahdah, martabat wahidiyyah, martabat alam arwah, martabat alam mitsal, martabat alam ajsam dan martabat alam insan.
Al-Buhanpuri pernah mengingatkan bahwa sebutan martabat ketuhanan tidak boleh dipakaikan untuk martabat alam dan begitu pula sebaliknya. Akan tetapi dalam karya al-Burhanpuri tidak dijelaskan secara implisit tentang itu. Syamsuddin sebagai penganut paham martabat tujuh ini di Nusantara telah mengkategorikan martabat ketuhanan dan martabat kemakhlukan seperti yang disimpulkan Abdul Aziz Dahlan. Menurutnya, secara eksplisit dalam karya Syamsuddin terlihat tiga martabat, pertama disebut anniyat Allah, yaitu martabat wujud aktual Allah, sedangkan empat martabat berikutnya disebut anniyah al-Makhluq, yaitu martabat wujud aktual makhluk.
Paham martabat tujuh inilah yang membedakan antara Syamsuddin Sumatrani dengan gurunya Hamzah Fansuri, yang mana dalam ajaran Hamzah tidak ditemukan pengajaran ini. Tetapi keduanya sangat menekankan pemahaman tauhid yang murni, bahwa Tuhan tidak boleh disamakan atau dicampurkan dengan unsur alam, dikenal dalam pengajaran Hamzah Fansuri la ta’ayyun. Sedangkan dalam pengajaran Syamsuddin dikenal dengan aniyat Alllah, yang merupakan kejelasan dari ajaran al-Burhanpuri untuk tidak mencampur-adukkan martabat ketuhanan dengan martabat kemakhlukan.
3. Respon dan Pengaruh Paham Tasawuf Falsafi di Nusantara Pasca Hamzah dan Syamsuddin.
Ternyata Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani pada prinsipnya dikategorikan termasuk dalam aliran pemikiran yang sama, keduanya merupakan pendukung terkenal penafsiran mistikofilosofis wahdat al-Wuju. Walaupun sedikit ada perbedaan penekanan, keduanya sangat dipengaruhi terutama oleh Ibn ‘Arabi. Konsep inti ajaran mereka adalah kehadiran alam ini disebabkan serangkaian proses penampakan diri Tuhan. Ide ini pada perkembangan selanjutnya mendorong para penentang seperti al-Raniri untuk menuduh mereka sebagai panteis.
Dalam apandangan Nuruddin al-Raniri, pembahasan tentang wujud Allah dapat dibagi dua: wujudiyyah muwahhid dan wujuddiyah mulhid. Hamzah digolongkan pada wujudiyyah mulhid dan disebut zindiq. Menurut Aziz, Syamsuddin bersama pengikutnya tidak menyebut diri sebagai penganut paham wujudiyah, apalagi mulhid. Seperti telah dijelaskan pada sub-bab sebelum mereke yakin berada dalam tauhid yang benar dan memandang diri sebagai golongan al-muwahhidin al-shiddiqin.
Sepanjang menyangkut tuduhan itu, menurut Azra para peneliti terbagi dua pula. Pertama, peneliti Barat seperti Winstedt, Johns dan Bariend, berpendapat bahwa ajaran dan doktrin Hamzah dan Syamsuddin sesat. Kleim ini mendorong Abdul Aziz Dahlan untuk membuktikan bahwa ajaran Syamsuddin dan gurunya Hamzah, bisa dipertanggungjawabkan secara teologis. Kedua, al-Attas, menyatakan bahwa sebenarnya ketiga pemikiran Hamzah, Syamsuddin dan Al-Raniri adalah sama, ia tidak menyebut ajaran Hamzah dan Syamsuddin sesat. Pada gilirannya al-Attas malah menuduh al-Raniri melakukan distorsi dan menyebarkan fitnah dan tidak memahami wujudiyyah. Asumsi al-Attas ini mengobsesi Ahmad Daudi untuk menjelaskan pada dunia bahwa al-Raniri punya logika pembenaran sendiri yang menurutnya wajar kalau ia menuduh Hamzah dan Syamsuddin sesat. Tapi menurut Azra al-Attas buru-buru mengklarifikasi pendapatnya dalam buku yang berjudul “A Comentary on the Siddiq al-Nur al-Din al-Raniri” terbit tahun 1986, berarti sesudah tesis Daudi terbit. Dalam karya tersebut al-Attas memuji al-Raniri sebagai orang yang dikaruniai kebijakan dan diberkati dengan pengetahuan yang orisinil yang berhasil menjelaskan doktrin yang keliru.
Tidak juga bisa dikatakan dengan munculnya al-Raniri yang mengkritik dan “membumi hanguskan” paham tasawuf falsafi, lantas paham ini lenyap dan punah. Berdasarkan penelitian Taufik Abdullah menjelaskan bahwa setelah Sultan Iskandar Tsani wafat tahun 1642, tampil Syafiyatuddin Syah (1942-1975) permaisuri Iskandar Tsani yang menggantikannya. Diberitakan pada waktu itu Nuruddin al-Raniri meninggalkan Aceh sambil tergesa-gesa, menurut Bustan al-Salathin, rupanya seperti tercatat dalam diary opper-koopman Belanda, mangkatnya Iskandar Tsani memberikan kesempatan pada golongan moderat (Syamsuddin) untuk bangkit melawan arus intoleransi dan anti intelektual yang dilancarkan al-Raniri. Tampil pada waktu itu Syeikh Saifulrijal, ulama Minang, sebagai penasehat Sultanah atau ratu di Aceh dan menyebarkan pahamnya.
Jadi pada abad ke 16-17 M di Nusantara berkembang paham tasawuf falsafi yang bukan hanya di Aceh tapi di bagian wilayah lainnya di Nusantara. Meskipun ada usaha-usaha untuk menerapkan syari’ah – suatu yang tidak bisa dipisahkan dari lingkup Islam pada abad itu. Tulisan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin memberi dorongan pada kecenderungan ini, tidak bisa disimpulkan secara blak-blakan bahwa mereka mengindahkan syari’ah. Mereka telah membeirkan sumbangan pada kehidupan religio-intelektual kaum Muslimin abad ke-16 dan 17 M.
Dalam apandangan Nuruddin al-Raniri, pembahasan tentang wujud Allah dapat dibagi dua: wujudiyyah muwahhid dan wujuddiyah mulhid. Hamzah digolongkan pada wujudiyyah mulhid dan disebut zindiq. Menurut Aziz, Syamsuddin bersama pengikutnya tidak menyebut diri sebagai penganut paham wujudiyah, apalagi mulhid. Seperti telah dijelaskan pada sub-bab sebelum mereke yakin berada dalam tauhid yang benar dan memandang diri sebagai golongan al-muwahhidin al-shiddiqin.
Sepanjang menyangkut tuduhan itu, menurut Azra para peneliti terbagi dua pula. Pertama, peneliti Barat seperti Winstedt, Johns dan Bariend, berpendapat bahwa ajaran dan doktrin Hamzah dan Syamsuddin sesat. Kleim ini mendorong Abdul Aziz Dahlan untuk membuktikan bahwa ajaran Syamsuddin dan gurunya Hamzah, bisa dipertanggungjawabkan secara teologis. Kedua, al-Attas, menyatakan bahwa sebenarnya ketiga pemikiran Hamzah, Syamsuddin dan Al-Raniri adalah sama, ia tidak menyebut ajaran Hamzah dan Syamsuddin sesat. Pada gilirannya al-Attas malah menuduh al-Raniri melakukan distorsi dan menyebarkan fitnah dan tidak memahami wujudiyyah. Asumsi al-Attas ini mengobsesi Ahmad Daudi untuk menjelaskan pada dunia bahwa al-Raniri punya logika pembenaran sendiri yang menurutnya wajar kalau ia menuduh Hamzah dan Syamsuddin sesat. Tapi menurut Azra al-Attas buru-buru mengklarifikasi pendapatnya dalam buku yang berjudul “A Comentary on the Siddiq al-Nur al-Din al-Raniri” terbit tahun 1986, berarti sesudah tesis Daudi terbit. Dalam karya tersebut al-Attas memuji al-Raniri sebagai orang yang dikaruniai kebijakan dan diberkati dengan pengetahuan yang orisinil yang berhasil menjelaskan doktrin yang keliru.
Tidak juga bisa dikatakan dengan munculnya al-Raniri yang mengkritik dan “membumi hanguskan” paham tasawuf falsafi, lantas paham ini lenyap dan punah. Berdasarkan penelitian Taufik Abdullah menjelaskan bahwa setelah Sultan Iskandar Tsani wafat tahun 1642, tampil Syafiyatuddin Syah (1942-1975) permaisuri Iskandar Tsani yang menggantikannya. Diberitakan pada waktu itu Nuruddin al-Raniri meninggalkan Aceh sambil tergesa-gesa, menurut Bustan al-Salathin, rupanya seperti tercatat dalam diary opper-koopman Belanda, mangkatnya Iskandar Tsani memberikan kesempatan pada golongan moderat (Syamsuddin) untuk bangkit melawan arus intoleransi dan anti intelektual yang dilancarkan al-Raniri. Tampil pada waktu itu Syeikh Saifulrijal, ulama Minang, sebagai penasehat Sultanah atau ratu di Aceh dan menyebarkan pahamnya.
Jadi pada abad ke 16-17 M di Nusantara berkembang paham tasawuf falsafi yang bukan hanya di Aceh tapi di bagian wilayah lainnya di Nusantara. Meskipun ada usaha-usaha untuk menerapkan syari’ah – suatu yang tidak bisa dipisahkan dari lingkup Islam pada abad itu. Tulisan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin memberi dorongan pada kecenderungan ini, tidak bisa disimpulkan secara blak-blakan bahwa mereka mengindahkan syari’ah. Mereka telah membeirkan sumbangan pada kehidupan religio-intelektual kaum Muslimin abad ke-16 dan 17 M.
KHUTBAH JUM'AT 3
ADAB-ADAB KHUTBAH JUM’AT* |
oleh : KH. H. Shiddiq Al-Jawi** Monday, 29 August 2005 |
KHUTBAH JUM'AT 2
Pengertian Shalat Jum'at, Hukum, Syarat, Ketentuan, Hikmah Dan Sunah Solat Jumat
A. Arti Definisi / Pergertian Shalat Jumat
Sholat Jum'at adalah ibadah salat yang dikerjakan di hari jum'at dua rakaat secara berjamaah dan dilaksanakan setelah khutbah.
B. Hukum Sholat Jum'at
Shalah Jum'at memiliki hukum wajib 'ain bagi laki-laki / pria dewasa beragama islam, merdeka dan menetap di dalam negeri atau tempat tertentu. Jadi bagi para wanita / perempuan, anak-anak, orang sakit dan budak, solat jumat tidaklah wajib hukumnya.
Dalil Al-qur'an Surah Al Jum'ah ayat 9 :
" Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."
C. Syarat Sah Melaksanakan Solat Jumat
1. Shalat jumat diadakan di tempat yang memang diperuntukkan untuk sholat jumat. Tidak perlu mengadakan pelaksanaan solat jum'at di tempat sementara seperti tanah kosong, ladang, kebun, dll.
2. Minimal jumlah jamaah peserta salat jum'at adalah 40 orang.
3. Shalat Jum'at dilaksanakan pada waktu shalat dhuhur / zuhur dan setelah dua khutbah dari khatib.
2. Minimal jumlah jamaah peserta salat jum'at adalah 40 orang.
3. Shalat Jum'at dilaksanakan pada waktu shalat dhuhur / zuhur dan setelah dua khutbah dari khatib.
D. Ketentuan Shalat Jumat
Shalat jumat memiliki isi kegiatan sebagai berikut :
1. Mengucapkan hamdalah.
2. Mengucapkan shalawat Rasulullah SAW.
3. Mengucapkan dua kalimat syahadat.
4. Memberikan nasihat kepada para jamaah.
5. Membaca ayat-ayat suci Al-quran.
6. Membaca doa.
1. Mengucapkan hamdalah.
2. Mengucapkan shalawat Rasulullah SAW.
3. Mengucapkan dua kalimat syahadat.
4. Memberikan nasihat kepada para jamaah.
5. Membaca ayat-ayat suci Al-quran.
6. Membaca doa.
E. Hikmah Solat Jum'at
1. Simbol persatuan sesama Umat Islam dengan berkumpul bersama, beribadah bersama dengan barisan shaf yang rapat dan rapi.
2. Untuk menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antar sesama manusia. Semua sama antara yang miskin, kaya, tua, muda, pintar, bodoh, dan lain sebagainya.
3. Menurut hadis, doa yang kita panjatkan kepada Allah SWT akan dikabulkan.
4. Sebagai syiar Islam.
2. Untuk menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antar sesama manusia. Semua sama antara yang miskin, kaya, tua, muda, pintar, bodoh, dan lain sebagainya.
3. Menurut hadis, doa yang kita panjatkan kepada Allah SWT akan dikabulkan.
4. Sebagai syiar Islam.
F. Sunat-Sunat Shalat Jumat
1. Mandi sebelum datang ke tempat pelaksanaan sholat jum at.
2. Memakai pakaian yang baik (diutamakan putih) dan berhias dengan rapi seperti bersisir, mencukur kumis dan memotong kuku.
3. Memakai pengaharum / pewangi (non alkohol).
4. Menyegerakan datang ke tempat salat jumat.
5. Memperbanyak doa dan salawat nabi.
6. Membaca Alquran dan zikir sebelum khutbah jumat dimulai.
2. Memakai pakaian yang baik (diutamakan putih) dan berhias dengan rapi seperti bersisir, mencukur kumis dan memotong kuku.
3. Memakai pengaharum / pewangi (non alkohol).
4. Menyegerakan datang ke tempat salat jumat.
5. Memperbanyak doa dan salawat nabi.
6. Membaca Alquran dan zikir sebelum khutbah jumat dimulai.
Sumber : Buku Pelajaran Sekolah Agama Islam (mohon maaf kalau tidak ada dalil, kalau bisa bantu melengkapi/memperbaiki).
KHUTBAH JUM'AT 1
Khutbah Jum’at itu memang memerlukan rukun yang harus terpenuhi, agar bisa sah secara aturan. Bilamana salah satu rukun itu tidak terpenuhi, memang akan membuat khtbah itu rusak, alias tidak sah.
Yang paling pokok untuk diketahui bahwa khutbah Jum’at itu terdiri dari dua bagian. Yaitu khutbah pertama dan khutbah kedua, di mana keduanya dipisahkan dengan duduk di antara dua khurbah.
PENGERTIAN PERNIKAHAN DALAM ISLAM 4
khir-akhir ini, fenomena nikah siri memberikan kesan yang menarik.
Pertama, nikah siri sepertinya memang benar-benar telah menjadi trend
yang tidak saja dipraktekkan oleh masyarakat umum, namun juga
dipraktekkan oleh figur masyarakat yang selama ini sering disebut
dengan istilah kyai, dai, ustad, ulama, atau istilah lainnya yang
menandai kemampuan seseorang mendalami agama (Islam). Kedua, nikah
siri sering ditempatkan menjadi sebuah pilihan ketika seseorang hendak
berpoligami dengan sejumlah alasannya tersendiri.
Pertama, nikah siri sepertinya memang benar-benar telah menjadi trend
yang tidak saja dipraktekkan oleh masyarakat umum, namun juga
dipraktekkan oleh figur masyarakat yang selama ini sering disebut
dengan istilah kyai, dai, ustad, ulama, atau istilah lainnya yang
menandai kemampuan seseorang mendalami agama (Islam). Kedua, nikah
siri sering ditempatkan menjadi sebuah pilihan ketika seseorang hendak
berpoligami dengan sejumlah alasannya tersendiri.
PENGERTIAN PERNIKAHAN DALAM ISLAM 3
Mereka yang mahir bahasa Arab dan membaca Qur’an dalam bahasa asli Arab, biasanya kaget ketika membaca terjemahannya dalam bahasa asing. Mereka menyadari betapa banyaknya ketidaksesuaian antara bahasa asli dengan terjemahannya. Ini ternyata bukanlah kesalahan biasa yang tak disengaja. Ini menunjukkan bahwa ketidaksesuaian itu SENGAJA ditulis untuk mengelabui pembaca. Tujuan penerjemah adalah untuk mengalihkan perhatian pembaca asing (yang tak mengerti bhs. Arab) dan calon2 pemeluk Islam dari segala kekejaman dan kerancuan yang tercantum dalam Qur’an.
PENGERTIAN PERNIKAHAN DALAM ISLAM 2
Sebagai salah satu ibadah yang mulia kedudukannya, menikah berikut prosesi yang mendahului ataupun setelahnya juga memiliki rambu-rambu yang telah digariskan syariat.
Nikah sebagai kata serapan dari bahasa Arab bila ditinjau dari sisi bahasa maknanya menghimpun atau mengumpulkan. Kata ini bisa dimutlakkan pada dua perkara yaitu akad dan jima’ (“hubungan” suami istri).
Nikah sebagai kata serapan dari bahasa Arab bila ditinjau dari sisi bahasa maknanya menghimpun atau mengumpulkan. Kata ini bisa dimutlakkan pada dua perkara yaitu akad dan jima’ (“hubungan” suami istri).
PENGERTIAN PERNIKAHAN DALAM ISLAM 1
Pernikahan merupakan ikatan diantara dua insan yang mempunyai banyak perbedaan, baik dari segi fisik, asuhan keluarga, pergaulan, cara berfikir (mental), pendidikan dan lain hal.
Dalam pandangan Islam, pernikahan merupakan ikatan yang amat suci dimana dua insan yang berlainan jenis dapat hidup bersama dengan direstui agama, kerabat, dan masyarakat.
Dalam pandangan Islam, pernikahan merupakan ikatan yang amat suci dimana dua insan yang berlainan jenis dapat hidup bersama dengan direstui agama, kerabat, dan masyarakat.
15 November 2010
sejarah qurban 2
Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (qurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, Maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah). (Al Hajj: 34).
sejarah qurban 2
Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (qurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, Maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah). (Al Hajj: 34).
1. Qurban Di masa Nabi Adam As.
"Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan qurban, Maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (qurban) dari orang-orang yang bertakwa". (Al Maidah: 27).
Allâh memerintah Adam agar mengawinkan Qabil dengan saudara perempuan kembar Habil yang bernama Lubuda yang tidak bagus rupa, dan mengawinkan Habil dengan saudara perempuan kembar Qabil yang bernama Iqlima yang cantik rupa. Pada saat itu Adam dilarang Allâh mengawinkan perempuan kepada saudara laki-lakinya yang kembar. Namun Qabil menolak hal ini, sementara Habil menerima. Qabil ingin kawin dengan saudara perempuan kembarnya sendiri yang cantik rupa. Maka Adam menyuruh kedua anaknya untuk berqurban, siapa yang diterima qurbannya, itu yang menjadi suami bagi saudara perempuan kembar Qabil yang cantik
Kemudian kedua anak Adam itu berqurban, Habîl adalah seorang peternak kambing dan ia berqurban denganKambing Qibas yang berwarna putih, matanya bundar dan bertanduk mulus, dan berqurban dengan jiwa yang bersih. Dan Qabil adalah tukang bercocok tanam, Ia berqurban dengan makanan yang jelek, dan niat yang tidak baik. Maka diterima qurbannya Habil dan tidak diterima qurbannya Qabil. Dan qurban-qurban itu diletakkan di sebuah gunung dan tanda diterimanya qurban itu ialah dengan datangnya api dari langit lalu membakarnya. Dan ternyata api menyambar Kambing Qibas qurbannya Habil, sebagai tanda diterima qurbannya. Melihat hal demikian Qabil marah, dan membunuh saudaranya.
2. Qurban di masa Nabi Idris As.
Disunnahkan kepada kaum Nabi Idris As yang taat kepadanya antara lain; beragama Allâh, bertauhid, ibadah kepada khaliq, membersihkan jiwa dari siksa akhirat dengan cara beramal shalih di dunia, bersifat Zuhud, adil, puasa pada hari yang ditentukan pada tiap bulan, berjihad, berzakat dan sebagainya. Dan bagi kaum Idris ditetapkan hari-hari raya pada waktu-waktu yang tertentu, serta berqurban; di antaranya saat terbenam matahari ke ufuk dan saat melihat hilal. Mereka diperintah berqurban antara lain dengan al-Bakhûr (dupa atau wangi-wangian), al-Dzabâih (sembelihan), al-Rayyâhîn (tumbuhan-tumbuhan yang harum baunya), di antaranya al-Wardu (bunga ros), dan al-hubûb biji-bijian, seperti al-Hinthah (biji gandum), dan juga berqurban dengan al-Fawâkih (buah-buahan), seperti al-‘Inab (buah anggur).
3. Qurban di masa Nabi Nuh As.
sesudah terjadi taufan (banjir) Nûh, Nabi Nûh As membuat tempat yang sengaja dan tertentu untuk meletakkan qurban, yang nantinya qurban tersebut sesudah diletakkan di tempat tadi dibakar.
4. Qurban di masa Nabi Ibrohim As.
Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa usia Ismail sekitar 6 atau 7 tahun. Sejak dilahirkan sampai sebesar itu Nabi Ismail senantiasa menjadi anak kesayangan. Tiba-tiba Allah memberi ujian kepadanya, sebagaimana firman Allah dalam surat Ash-Shaffaat: 102 :
“Maka ketika sampai (pada usia sanggup atau cukup) berusaha, Ibrahim berkata: Hai anakku aku melihat (bermimpi) dalam tidur bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah bagaimana pendapatmu” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.
Kambing Qibas Dalam mimpinya, Ibrahim mendapat perintah dari Allah supaya menyembelih putranya Nabi Ismail. Ketika sampai di Mina, Ibrahim menginap dan bermimpi lagi dengan mimpi yang sama. Demikian juga ketika di Arafah, malamnya di Mina, Ibrahim bermimpi lagi dengan mimpi yang tidak berbeda pula. Ibrahim kemudian mengajak putranya, Ismail, berjalan meninggalkan tempat tinggalnya, Mina. Baru saja Ibrahim berjalan meninggalkan rumah, syaitan menggoda Siti Hajar: “Hai Hajar! Apakah benar suamimu yang membawa parang akan menyembelih anakmu Ismail?”. Akhirnya Siti Hajar, sambil berteriak-teriak: “Ya Ibrahim, ya Ibrahim mau diapakan anakku?” Tapi Nabi Ibrahim tetap melaksanakan perintah Allah SWT tersebut.
Setibanya di Jabal Qurban, sekitar 200 meter dari tempat tinggalnya. Nabi Ibrahim melaksanakan perintah Allah untuk menyembelih Ismail. Rencana itu pun berubah drastis, sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam surat Ash-Shaffaat ayat 103-107:
“Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, nyatalah kesabaran keduanya. Dan Kami panggillah Dia: "Hai Ibrohim, “Kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang yang berbuat baik”. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar “.
5. Qurban di masa Nabi Musa As.
Penyembelihan qurban berlaku hingga zaman Nabi Musa As. Nabi Musa membagi binatang yang disediakan untuk qurban kepada dua bagian, sebagian dilepaskan saja dan dibiarkan berkeliaran sesudah di beri tanda yang diperlukan. Dan sebagian lagi disembelih.
6. Qurban Bani Isroil.
Ummat dulu sebelum kita, jika seorang dari mereka berqurban, orang-orang keluar menyaksikan apakah qurban mereka itu diterima atau tidak. Jika diterima datang api putih (Baidhâ`u) dari langit membakar apa yang diqurbankan. Jika qurbannya tidak diterima, api itu tidak muncul. Dan rupa api itu Lâ dukhâna lahâ wa lahâ dawiyun (api yang tidak berasap dan berbunyi). Dan bila seorang laki-laki dari mereka (Bani Isrâ’îl) bershadaqah, jika diterima turun api dari langit, lalu membakar apa yang mereka sodaqohkan.
7. Qurban di masa Nabi zakaria As dan Nabi Yahya As.
Nabi Zakaria As dan Nabi Yahya As adalah di antara nabi dan rosul dari Bani Isroil, pada keduanya ada qurban. Dan qurbannya adalah binatang dan Amti'atun (barang-barang) lalu di bakar api.
8. Qurban Pada Bangsa Yahudi dan Nashrani
Bangsa Yahudi merupakan sebagian dari bani Isrâ’îl. Sementara Bani Isrâ’îl adalah keturunan Nabi Ya’qub As. Nabi Ya’kub bergelar, Isrâ’îl. Pada bangsa Yahudi terdapat qurban yang biasa mereka lakukan demikian juga pada bangsa Nashrani. Qurban pada bangsa Yahudi dan bangsa Nashrani, yaitu melakukan pengurbanan dengan membakar sebagai sesaji yang bertujuan mengingat-ingat kesalahan, yaitu dengan menyembelih sapi dan kambing jantan yang mulus, tidak cacat. Dengan menghidangkan: tepung, minyak dan susu. Qurban karena adanya ketentraman, sebagai rasa syukur kepada al-Rabb . Qurban pada bangsa Nashrani, antara lain: Persembahan missa seorang Kahin berupa roti dan arak. Yang menurut keyakinan pada mereka hakekatnya, roti dan arak yang mereka qurbankan ditukar dengan daging dan darah al-Masih.
9. Qurban Pada Bangsa Arab Jahilliyah.
Bangsa Arab Jahiliyah juga suka berqurban. Qurban mereka dipersembahkan untuk berhala-berhala yang mereka sembah. Qurbannya ada binatang yang disembelih untuk berhala, dan ada binatang yang dilepas bebas berkeliaran, juga untuk berhala.
Cara qurban Arab Jahiliyah, yaitu mereka jika menyembelih binatang qurban, seperti unta, mereka percikan daging dan darahnya pada al-baet (ka’bah).
Arab Jahili jika mereka menyembelih binatang, memercikan darahnya pada permukaan ka’bah, dan memotong-motong dagingnya lalu mereka simpan di atas batu.
Selain qurban yang disembelih, juga ada qurban Jahiliyah yang dilepas untuk sembahan mereka, yaitu Bahîrah, sâibah, washîlah, hâm.
* Bahîrah, ialah unta betina yang telah beranak lima kali, dibebaskan, tidak boleh di ganggu. Jika anak yang kelima jantan, mereka sembelih dan boleh dimakan baik oleh laki-laki atau perempuan. Jika Betina dibelah telinganya, dan hanya dapat diambil manfaatnya oleh laki-laki, tidak boleh oleh wanita. Jika betina itu mati, halal, baik bagi laki-laki atau wanita.
* Sâibah, yaitu unta jantan yang dilepas tidak boleh diganggu karena dipakai nazar pada Thaugut-thaugut mereka. Orang Arab Jahiliyyah jika mereka sakit atau sesuatu yang hilang kembali lagi, mereka jadikan unta jantan saibah ini sebagai qurban.
* Washîlah, ialah domba betina jika melahirkan betina, mereka makan. Jika lahir jantan dipersembahkan buat Tuhan mereka. Jika kembar, mereka tidak menyembelih yang jantan karena buat Tuhan mereka.
* Hâm, ialah unta jantan yang telah dapat membuntingkan unta betina 10 kali, tidak boleh diganggu-gugat lagi, untuk Tuhan mereka.
Sembelihan Jahiliyyah itu terbagi tiga:
1. Untuk mendekatkan diri kepada sesuatu yang dipuja. Sembelihan untuk maksud ini dibakar, mereka ambil kulitnya saja, dan mereka berikan kepada Kahin (dukun).
2. Untuk meminta ampun. Untuk maksud ini, dibakar separuh, dan separuhnya lagi diberikan kepada kahin (dukun).
3. Untuk memohon keselamatan. Untuk maksud ini mereka makan.
10. Qurban Abdul Muthalib (Kakek Nabi SAW).
100 Ekor pengganti qurban Ayah Nabi. Pada waktu Ayah Nabi, Abdullah bin Abdul Muthalib, belum dilahirkan. Abdul Muthalib pernah bernazar kepada berhalanya, bahwa jika anaknya laki-laki sudah ada sepuluh orang , maka salah seorang dari mereka akan dijadikan qurban di muka berhala yang ada di sisi Ka'bah yang biasa di puja oleh bangsawan Quraisy. Oleh sebab itu, setelah istri Abdul Muthalib melahirkan anak laki-laki maka mereka itu genaplah sepuluh orang.
Abdul Muthalib bermimpi pada suatu malam ada suara yang memanggil, yang ia tidak mengerti maknanya, yaitu, Ihfir Thayyibah!, lalu pada malam kedua bermimpi lagi, Ihfir Barrah!, berikutnya bermimpi, Ihfir Madhmûnah! dan malam keempat suara dalam mimpinya yaitu, Ihfir Zamzam!. Setelah itu baru ia mengerti dan bermaksud untuk melaksanakan mimpinya itu.
Sebelum pelaksanaan qurban itu, Abdul Muthalib mengumpulkan semua anak laki-lakinya dan mengadakan undian. Pada saat itu undian telah jatuh pada diri Abdullah. Padahal Abdullah itu seorang anak yang paling muda, yang paling bagus rupanya, dan yang paling dicintainya. Tetapi apa boleh buat, undian jatuh kepadanya, dan Abdullah menurut saja apa yang menjadi kehendak ayahnya.
Seketika tersiar kabar di seluruh kota Mekkah, bahwa Abdul Muthalib akan mengurbankan anaknya yang paling muda. Namun ketika itu orang-orang quraisy menolak dan menghalanginya. Hingga mereka mendatangi seorang al-‘Arâfat yaitu kahin di Yatsrib. Kahin Yatsrib menghukumi mereka supaya mengundi antara Abdullah dengan unta. Bila keluar unta, maka sembelih unta. Jika yang keluar Abdullah maka setiap kali keluar diganti dengan 10 ekor unta. Lalu mereka kembali ke Makkah, dan melakukan undian antara Abdullah dengan 10 ekor unta. Undian pertama keluar Abdullah, lalu diganti dengan 10 ekor unta. Hal ini berulang sampai undian yang kesembilan yang keluar Abdullah, baru yang kesepuluh keluar unta. Maka Abdul Muthalib mengganti Abdullah dengan 100 ekor unta untuk berqurban. Dan dengan demikian Abdullah urung untuk dijadikan qurban oleh ayahnya.
Dengan adanya peristiwa itu. Maka Nabi SAW setelah beberapa tahun lamanya menjadi rosul pernah bersabda,'Aku anak laki-laki dari dua orang yang di sembelih "Ibnu Dzabihain"."
11. Qurban Nabi Muhammad SAW.
Nabi Muhammad SAW melakukan qurban pada waktu Haji Wada di Mina setelah solat Iedul Adha. Beliau menyembelih 100 ekor unta, 70 ekor di sembelih dengan tangannya sendiri dan 30 ekor di sembelih oleh Sayyidina Ali Ra.
"Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi'ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, Maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam Keadaan berdiri (dan telah terikat). kemudian apabila telah roboh (mati), Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, Mudah-mudahan kamu bersyukur." (Al Hajj:36).
Ayat ini menjelaskan binatang yang dijadikan qurban, tujuan qurban, cara menyembelih hewan qurban, kapan memakan daging qurban, siapa yang dapat memakan daging qurban. Binatang qurban, yaitu al-Budnu, dalam bahasa ialah nama yang khusus bagi unta. Sedangkan sapi dipandang sama menempati tempat unta dalam hukumnya karena Nabi Saw berkata, "Unta dijadikan dalam tujuh (bentuk) dan sapi merupakan bagian dari ketujuh bentuk itu."
WaAllhu A'lam bi showab.
Dari berbagai sumber.
1. Qurban Di masa Nabi Adam As.
"Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan qurban, Maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (qurban) dari orang-orang yang bertakwa". (Al Maidah: 27).
Allâh memerintah Adam agar mengawinkan Qabil dengan saudara perempuan kembar Habil yang bernama Lubuda yang tidak bagus rupa, dan mengawinkan Habil dengan saudara perempuan kembar Qabil yang bernama Iqlima yang cantik rupa. Pada saat itu Adam dilarang Allâh mengawinkan perempuan kepada saudara laki-lakinya yang kembar. Namun Qabil menolak hal ini, sementara Habil menerima. Qabil ingin kawin dengan saudara perempuan kembarnya sendiri yang cantik rupa. Maka Adam menyuruh kedua anaknya untuk berqurban, siapa yang diterima qurbannya, itu yang menjadi suami bagi saudara perempuan kembar Qabil yang cantik
Kemudian kedua anak Adam itu berqurban, Habîl adalah seorang peternak kambing dan ia berqurban denganKambing Qibas yang berwarna putih, matanya bundar dan bertanduk mulus, dan berqurban dengan jiwa yang bersih. Dan Qabil adalah tukang bercocok tanam, Ia berqurban dengan makanan yang jelek, dan niat yang tidak baik. Maka diterima qurbannya Habil dan tidak diterima qurbannya Qabil. Dan qurban-qurban itu diletakkan di sebuah gunung dan tanda diterimanya qurban itu ialah dengan datangnya api dari langit lalu membakarnya. Dan ternyata api menyambar Kambing Qibas qurbannya Habil, sebagai tanda diterima qurbannya. Melihat hal demikian Qabil marah, dan membunuh saudaranya.
2. Qurban di masa Nabi Idris As.
Disunnahkan kepada kaum Nabi Idris As yang taat kepadanya antara lain; beragama Allâh, bertauhid, ibadah kepada khaliq, membersihkan jiwa dari siksa akhirat dengan cara beramal shalih di dunia, bersifat Zuhud, adil, puasa pada hari yang ditentukan pada tiap bulan, berjihad, berzakat dan sebagainya. Dan bagi kaum Idris ditetapkan hari-hari raya pada waktu-waktu yang tertentu, serta berqurban; di antaranya saat terbenam matahari ke ufuk dan saat melihat hilal. Mereka diperintah berqurban antara lain dengan al-Bakhûr (dupa atau wangi-wangian), al-Dzabâih (sembelihan), al-Rayyâhîn (tumbuhan-tumbuhan yang harum baunya), di antaranya al-Wardu (bunga ros), dan al-hubûb biji-bijian, seperti al-Hinthah (biji gandum), dan juga berqurban dengan al-Fawâkih (buah-buahan), seperti al-‘Inab (buah anggur).
3. Qurban di masa Nabi Nuh As.
sesudah terjadi taufan (banjir) Nûh, Nabi Nûh As membuat tempat yang sengaja dan tertentu untuk meletakkan qurban, yang nantinya qurban tersebut sesudah diletakkan di tempat tadi dibakar.
4. Qurban di masa Nabi Ibrohim As.
Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa usia Ismail sekitar 6 atau 7 tahun. Sejak dilahirkan sampai sebesar itu Nabi Ismail senantiasa menjadi anak kesayangan. Tiba-tiba Allah memberi ujian kepadanya, sebagaimana firman Allah dalam surat Ash-Shaffaat: 102 :
“Maka ketika sampai (pada usia sanggup atau cukup) berusaha, Ibrahim berkata: Hai anakku aku melihat (bermimpi) dalam tidur bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah bagaimana pendapatmu” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.
Kambing Qibas Dalam mimpinya, Ibrahim mendapat perintah dari Allah supaya menyembelih putranya Nabi Ismail. Ketika sampai di Mina, Ibrahim menginap dan bermimpi lagi dengan mimpi yang sama. Demikian juga ketika di Arafah, malamnya di Mina, Ibrahim bermimpi lagi dengan mimpi yang tidak berbeda pula. Ibrahim kemudian mengajak putranya, Ismail, berjalan meninggalkan tempat tinggalnya, Mina. Baru saja Ibrahim berjalan meninggalkan rumah, syaitan menggoda Siti Hajar: “Hai Hajar! Apakah benar suamimu yang membawa parang akan menyembelih anakmu Ismail?”. Akhirnya Siti Hajar, sambil berteriak-teriak: “Ya Ibrahim, ya Ibrahim mau diapakan anakku?” Tapi Nabi Ibrahim tetap melaksanakan perintah Allah SWT tersebut.
Setibanya di Jabal Qurban, sekitar 200 meter dari tempat tinggalnya. Nabi Ibrahim melaksanakan perintah Allah untuk menyembelih Ismail. Rencana itu pun berubah drastis, sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam surat Ash-Shaffaat ayat 103-107:
“Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, nyatalah kesabaran keduanya. Dan Kami panggillah Dia: "Hai Ibrohim, “Kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang yang berbuat baik”. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar “.
5. Qurban di masa Nabi Musa As.
Penyembelihan qurban berlaku hingga zaman Nabi Musa As. Nabi Musa membagi binatang yang disediakan untuk qurban kepada dua bagian, sebagian dilepaskan saja dan dibiarkan berkeliaran sesudah di beri tanda yang diperlukan. Dan sebagian lagi disembelih.
6. Qurban Bani Isroil.
Ummat dulu sebelum kita, jika seorang dari mereka berqurban, orang-orang keluar menyaksikan apakah qurban mereka itu diterima atau tidak. Jika diterima datang api putih (Baidhâ`u) dari langit membakar apa yang diqurbankan. Jika qurbannya tidak diterima, api itu tidak muncul. Dan rupa api itu Lâ dukhâna lahâ wa lahâ dawiyun (api yang tidak berasap dan berbunyi). Dan bila seorang laki-laki dari mereka (Bani Isrâ’îl) bershadaqah, jika diterima turun api dari langit, lalu membakar apa yang mereka sodaqohkan.
7. Qurban di masa Nabi zakaria As dan Nabi Yahya As.
Nabi Zakaria As dan Nabi Yahya As adalah di antara nabi dan rosul dari Bani Isroil, pada keduanya ada qurban. Dan qurbannya adalah binatang dan Amti'atun (barang-barang) lalu di bakar api.
8. Qurban Pada Bangsa Yahudi dan Nashrani
Bangsa Yahudi merupakan sebagian dari bani Isrâ’îl. Sementara Bani Isrâ’îl adalah keturunan Nabi Ya’qub As. Nabi Ya’kub bergelar, Isrâ’îl. Pada bangsa Yahudi terdapat qurban yang biasa mereka lakukan demikian juga pada bangsa Nashrani. Qurban pada bangsa Yahudi dan bangsa Nashrani, yaitu melakukan pengurbanan dengan membakar sebagai sesaji yang bertujuan mengingat-ingat kesalahan, yaitu dengan menyembelih sapi dan kambing jantan yang mulus, tidak cacat. Dengan menghidangkan: tepung, minyak dan susu. Qurban karena adanya ketentraman, sebagai rasa syukur kepada al-Rabb . Qurban pada bangsa Nashrani, antara lain: Persembahan missa seorang Kahin berupa roti dan arak. Yang menurut keyakinan pada mereka hakekatnya, roti dan arak yang mereka qurbankan ditukar dengan daging dan darah al-Masih.
9. Qurban Pada Bangsa Arab Jahilliyah.
Bangsa Arab Jahiliyah juga suka berqurban. Qurban mereka dipersembahkan untuk berhala-berhala yang mereka sembah. Qurbannya ada binatang yang disembelih untuk berhala, dan ada binatang yang dilepas bebas berkeliaran, juga untuk berhala.
Cara qurban Arab Jahiliyah, yaitu mereka jika menyembelih binatang qurban, seperti unta, mereka percikan daging dan darahnya pada al-baet (ka’bah).
Arab Jahili jika mereka menyembelih binatang, memercikan darahnya pada permukaan ka’bah, dan memotong-motong dagingnya lalu mereka simpan di atas batu.
Selain qurban yang disembelih, juga ada qurban Jahiliyah yang dilepas untuk sembahan mereka, yaitu Bahîrah, sâibah, washîlah, hâm.
* Bahîrah, ialah unta betina yang telah beranak lima kali, dibebaskan, tidak boleh di ganggu. Jika anak yang kelima jantan, mereka sembelih dan boleh dimakan baik oleh laki-laki atau perempuan. Jika Betina dibelah telinganya, dan hanya dapat diambil manfaatnya oleh laki-laki, tidak boleh oleh wanita. Jika betina itu mati, halal, baik bagi laki-laki atau wanita.
* Sâibah, yaitu unta jantan yang dilepas tidak boleh diganggu karena dipakai nazar pada Thaugut-thaugut mereka. Orang Arab Jahiliyyah jika mereka sakit atau sesuatu yang hilang kembali lagi, mereka jadikan unta jantan saibah ini sebagai qurban.
* Washîlah, ialah domba betina jika melahirkan betina, mereka makan. Jika lahir jantan dipersembahkan buat Tuhan mereka. Jika kembar, mereka tidak menyembelih yang jantan karena buat Tuhan mereka.
* Hâm, ialah unta jantan yang telah dapat membuntingkan unta betina 10 kali, tidak boleh diganggu-gugat lagi, untuk Tuhan mereka.
Sembelihan Jahiliyyah itu terbagi tiga:
1. Untuk mendekatkan diri kepada sesuatu yang dipuja. Sembelihan untuk maksud ini dibakar, mereka ambil kulitnya saja, dan mereka berikan kepada Kahin (dukun).
2. Untuk meminta ampun. Untuk maksud ini, dibakar separuh, dan separuhnya lagi diberikan kepada kahin (dukun).
3. Untuk memohon keselamatan. Untuk maksud ini mereka makan.
10. Qurban Abdul Muthalib (Kakek Nabi SAW).
100 Ekor pengganti qurban Ayah Nabi. Pada waktu Ayah Nabi, Abdullah bin Abdul Muthalib, belum dilahirkan. Abdul Muthalib pernah bernazar kepada berhalanya, bahwa jika anaknya laki-laki sudah ada sepuluh orang , maka salah seorang dari mereka akan dijadikan qurban di muka berhala yang ada di sisi Ka'bah yang biasa di puja oleh bangsawan Quraisy. Oleh sebab itu, setelah istri Abdul Muthalib melahirkan anak laki-laki maka mereka itu genaplah sepuluh orang.
Abdul Muthalib bermimpi pada suatu malam ada suara yang memanggil, yang ia tidak mengerti maknanya, yaitu, Ihfir Thayyibah!, lalu pada malam kedua bermimpi lagi, Ihfir Barrah!, berikutnya bermimpi, Ihfir Madhmûnah! dan malam keempat suara dalam mimpinya yaitu, Ihfir Zamzam!. Setelah itu baru ia mengerti dan bermaksud untuk melaksanakan mimpinya itu.
Sebelum pelaksanaan qurban itu, Abdul Muthalib mengumpulkan semua anak laki-lakinya dan mengadakan undian. Pada saat itu undian telah jatuh pada diri Abdullah. Padahal Abdullah itu seorang anak yang paling muda, yang paling bagus rupanya, dan yang paling dicintainya. Tetapi apa boleh buat, undian jatuh kepadanya, dan Abdullah menurut saja apa yang menjadi kehendak ayahnya.
Seketika tersiar kabar di seluruh kota Mekkah, bahwa Abdul Muthalib akan mengurbankan anaknya yang paling muda. Namun ketika itu orang-orang quraisy menolak dan menghalanginya. Hingga mereka mendatangi seorang al-‘Arâfat yaitu kahin di Yatsrib. Kahin Yatsrib menghukumi mereka supaya mengundi antara Abdullah dengan unta. Bila keluar unta, maka sembelih unta. Jika yang keluar Abdullah maka setiap kali keluar diganti dengan 10 ekor unta. Lalu mereka kembali ke Makkah, dan melakukan undian antara Abdullah dengan 10 ekor unta. Undian pertama keluar Abdullah, lalu diganti dengan 10 ekor unta. Hal ini berulang sampai undian yang kesembilan yang keluar Abdullah, baru yang kesepuluh keluar unta. Maka Abdul Muthalib mengganti Abdullah dengan 100 ekor unta untuk berqurban. Dan dengan demikian Abdullah urung untuk dijadikan qurban oleh ayahnya.
Dengan adanya peristiwa itu. Maka Nabi SAW setelah beberapa tahun lamanya menjadi rosul pernah bersabda,'Aku anak laki-laki dari dua orang yang di sembelih "Ibnu Dzabihain"."
11. Qurban Nabi Muhammad SAW.
Nabi Muhammad SAW melakukan qurban pada waktu Haji Wada di Mina setelah solat Iedul Adha. Beliau menyembelih 100 ekor unta, 70 ekor di sembelih dengan tangannya sendiri dan 30 ekor di sembelih oleh Sayyidina Ali Ra.
"Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi'ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, Maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam Keadaan berdiri (dan telah terikat). kemudian apabila telah roboh (mati), Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, Mudah-mudahan kamu bersyukur." (Al Hajj:36).
Ayat ini menjelaskan binatang yang dijadikan qurban, tujuan qurban, cara menyembelih hewan qurban, kapan memakan daging qurban, siapa yang dapat memakan daging qurban. Binatang qurban, yaitu al-Budnu, dalam bahasa ialah nama yang khusus bagi unta. Sedangkan sapi dipandang sama menempati tempat unta dalam hukumnya karena Nabi Saw berkata, "Unta dijadikan dalam tujuh (bentuk) dan sapi merupakan bagian dari ketujuh bentuk itu."
WaAllhu A'lam bi showab.
Dari berbagai sumber.
SEJARAH DISYARIATKANNYA QURBAN
Pada suatu hari Nabi Ibrahim mimpi akan menyembelih putranya yang bernama Ismail, lalu dibicarakan dengan puteranya. Putera Nabi Ibrahim taat dan siap dengan katanya : “Kalau memang Allah SWT yang menyuruh ayah untuk menyembelih saya, laksanakanlah.” Lalu Nabi Ibrahim membawa putranya ke suatu tempat. Ketika pisau sudah diletakkan dileher Nabi Ismail, tiba-tiba Qibaslah yang terpotong sedang Nabi Ismail selamat. Qurban yang disyariatkan kepada ummat Nabi Muhammad SAW untuk mengingatkan kembali nikmat Allah kepada Nabi Ibrahim AS karena taat dan patuhnya kepada Allah SWT dan untuk bertaqarub (mendekatkan diri) kepada Allah.
SEJARAH QURBAN
|
| ||
Langganan:
Postingan (Atom)