25 Maret 2012

Filsafat Modern: Hermeneutika & Islamologi Terapan


Oleh : Muhajir Salam
 Bahasa, Filsafat dan Analisa Bahasa
Logos menjadi prinsip alam semesta dan menjadi prinsip pertama bagi pengetahuan manusia. Demikianlah kiranya sejarah filsafat Yunani telah akrab dengan bahasa dalam mengungkapkan refleksi filosofisnya.[1] Diskursus melalui bahasa dan tentang bahasa dalam menyingkap hakikat realitas telah marak dilakukan. Meskipun terdapat khasanah yang kaya dengan perhatian beragam, namun para filosof dari mulai zaman Yunani, pertengahan dan masa modern tetap saja menjadikan bahasa sebagai teman akrab dalam kegiatan refleksi filosofisnya.[2] Terlebih, filosof-filosof abad 20 semakin menyadari bahwa kekaburan, kelemahan, dan ketidak jelasan konsep-konsep filosofis dapat dijelaskan melalui analisis bahasa.
Maka periode perkembangan filsafat mutakhir, baik filosof Barat Eropa maupun filosof muslim, lebih bersifat “analitik” dalam mengkritik, menyingkap, dan menjelaskan konsep-konsep filsafatnya melalui analisa bahasa. Fenomena ini telah membawa perkembangan filsafat kontemporer tersentral pada diskursus filsafat berbasis kebahasaan. Hal tersebut, ditandai dengan munculnya pemikiran dan tokoh-tokoh filsafat Posmodernisme yang melakukan refleksi filosofis dalam berbagai wacana yang meliputi bidang-bidang kehidupan manusia dengan konsisten menggunakan bahasa sebagai sentral, media, dan dasar pijakan analisa serta argumentasi filosofisnya.
Bahasa adalah alat yang paling utama bagi seorang filosof untuk melakukan analisis dan refleksi. Pandangan tersebut tampaknya telah menjadi anggapan mapan yang berkembang dalam filsafat kontemporer. Sebetulnya cara pandang tersebut, berkembang melalui proses transformasi tradisi filsafat yang sangat panjang. Dalam tradisi retorika pada zaman Yunani, para filosof Yunani telah mengembangkan analisa bahasa ini menjadi sebuah metode yang dikenal dengan “dialektis kritis”. Pada masa Yunani ini, telah muncul anggapan bahwa objektifitas kebenaran filosofis perlu diungkapkan dalam satu analisa kebahasaan secara dialektis dan dengan didasarkan pada dasar-dasar logika.
Meneruskan tradisi “dialektika kritis” dan kuatnya ketidakpuasan serta spekulasi keraguan akan kebenaran filsafat metafisika yang dikembangkan pemikir klasik. Filsafat abad modern telah memberikan landasan kokoh bagi analisa bahasa sebagai dasar ilmu pengetahuan modern. Tradisi kreatif dalam diskursus filsafat yang berkembang pada masa ini, telah mengokohkan pijakan dasar “epistemologi”. Peran rasio dan otoritas akal “apriori” banyak diterangkan oleh aliran rasionalisme. Penekanan pada peranan indera secara “a-posteriori” dalam pengenalan ilmu pengetahuan dikembangkan secara konsisten oleh aliran empirisme dan kelompok positivist. Sedangkan penekanan “intuisi” melalui kolaborasi akali-inderawi dikembangkan oleh aliran imaterialisme dan kritisme kantian[3]. Ketiga-nya telah melahirkan budaya yang berbasis “bahasa” sebagai media refleksi ke-filsafat-an. Meskipun kemunculannya, sebagai sebuah respon terhadap “permainan bahasa” dalam perdebatan ke-tiga-nya mengenai hakikat kebenaran.
Filsafat kontemporer menganggap bahwa perdebatan antara rasionalisme, empirisme, dan kritisme kantian mengenai “kebenaran”, hakikatnya adalah perdebatan mengenai “kebermaknaan” yang dapat diterangkan melalui analisa kebahasaan. Maka, sebagai reaksi atas filsafat modern, selanjutnya filsafat lebih tersentral pada dan melalui bahasa. Sampai pada akhirnya memunculkan filsafat “hermeneutika” sebagai sebuah teori “kebermaknaan” dan “kebenaran”. Tradisi pemikiran ini, banyak dikembangkan oleh filosof abad 20 di Inggris, Jerman dan Wina. Filosof-filosof kontemporer yang menggunakan analisis bahasa melalui gejala-gejala untuk sampai pada satu kebenaran yang hakiki, antara lain Edmund Husserl dengan aliran fenomenologi, Gradamer dan Dilthey dengan madzhab Frangfrut. Selainitu, reaksi keras dari filsof kontemporer terhadap proses modernisme dan pembongkaran hakikat kemanusiaan dengan dan melalui analisa simbol-simbol bahasa antara banyak dilakukan oleh filosof kontemporer di kalangan postmodernisme seperti Derida, Michael Foucault, Lyotard, dan tokoh lainnya.[4]
Filsafat Abad 20 memiliki ciri yang sangat menonjol yaitu meletakan bahasa sebagai pusat perhatian para filosof. Para filosof semakin menyadari bahwa persoalan-pesoalan filsafat berkembang dan dapat dijelaskan melalui bahasa. perspektif hermeneutik menyatakan bahwa, bahasa dalam kehidupan manusia tidak hanya dipahami sebahai struktur dan makna serta penggunaannya dalam kehidupan melainkan fungsi bahasa yang melukiskan seluruh realitas hidup manusia, karena bahasa merupakan die spachlichkeit atau sebagai pusat gravitasi. Sebagaimana unggakapan Gradamer yang menyatakan, “ada yang bisa dimengerti” yaitu bahasa. Maka, manusia bukanlah suatu maskhluk yang sekedar natural belaka, melainkan lebih sebagai suatu produk kultural, yaitu suatu “konstruk linguistik”, karena bahasa telah memungkinkan manusia untuk berpikir. Maka dari itu, secara hakiki bahasa merupakan manifestasi totalitas pikiran manusia , sebab tidak ada cara lain untuk berpikir tentang hakikat kenyataan itu selain melalui bahasa yang merupakan ungkapan kebudayaan manusia[5].

Hermeneutika: sejarah, arti dan pengertian
Hermeneutika sebagai sebuah metodole penafsiran berkembang pesat di lingkungan gereja untuk memahami pesan-pesan Yesus. Dalam lingkungan Kristen awal, Origen dikenal sebagai orang yang telah memperkenalkan pembacaan “tipologis” terhadap Bible yakni menggunakan metode alegoris untuk memahami ajaran-ajaran Yesus. Nama-nama lain yang sangat terkenal dalam tradisi hermeneutika Biblis adalah Sugustine (345-430) dengan Doctrina Cristiana yang dikenal: Inner Logos, Marthin Luther dengan Sola Scriptura, dan Matthias Flacius Illyricus (1520-1575) dengan pendiriannya tentang metode gramatikal, scopus. Bahkan buku pertama kalinya yang menggunakan istilah hermeneutika, “Hermeneutica Sacra Sive Methodus Exponendarums Sacrarum Litterarum” karya J.C. Dannhauer, juga masih berkaitan dengan Bibel. Barulah, pada abad ke 19, khususnya dengan terbitnya karya Friedrich Schleiermacher dan Wilhem Diltey, terminologi hermeneutika barulah digunakan dalam hubungannnya dengan upaya mencari teori pengetahuan bagi kajian data di mana para budayawan bekerja dalam wilayah itu, seperti teks, tanda, dan berbagai bentuk simbol ritual, imaji, contoh seni yang indah.[6]  
Hermeneutika berasal dari kata Yunani hermeneuine dan hermenia yang masing-masing berarti “menafsirkan” dan “penafsiran”. Istilah tersebut diasosiasikan kepada Hemes (hermeios), seoarang utusan (dewa) dalam mitologi Yunani Kuno yang bertugas menyampaikan dan menerjemahkan pesan Dewa yang masih samar ke dalam bahasa yang dipahami manusia.[7] Martin Heidgger, memandang filsafat itu sendiri sebagai interpretasi, secara eksplisit Heidgger menghubungkannya dengan filsafat-sebagai-hermeneutika dengan Hermes.[8] 
Proses penerjemahan Hermes mengandung tiga makna hermeneutis yang mendasar. Pertama, to say, mengungkap sesuatu yang tadinya masih ada dalam pikiran melalui kata-kata (uterrance, speaking) sebagai medium penyampaian. Kedua, to explain dan to interpretation, menjelaskan secara rasional sesuatu yang sebelumnya masih samar-samar sehingga maksud atau maknanya dapat dimengerti. Ketiga, to translate, menerjemahkan suatu bahasa kedalam bahasa lain yang lebih dikuasai oleh penerima pesan.[9] Maka dari itu, hermeneutika kemudian dirangkum dalam pengertian “menafsirkan”, interpretation  atau understanding.[10]
Merujuk pada dikursus yang berkembang dalam filsafat kontemporer, hermneutika pada umumnya dapat juga didefinisikan sebagai disiplin yang berkenaan dengan “teori tentang penafsiran”. Istilah teori di sini dapat diartikan eksposisi metodologis yang menunjukan aturan-aturan yang membimbing dalam penafsiran teks-teks. Selain itu juga dapat diartikan dalam pengertian yang lebih luas karena mencakup di dalamnya tugas-tugas untuk menganalisis segala fenomena dasariah dalam atas proses pemahaman manusia.[11]
Hermeneutika dalam pengertian metode berisi mengenai the condition of possibility sebuah penafsiran, menyangkut hal-hal prosedural yang dibutuhkan, mengenai prosedur penafsiran yang harus ditempuh untuk menghindari pemahaman yang keliru terhadap teks. Hermeneutika dalam pengertian ini mengandaikan adanya kebenaran dibalik teks dan untuk menyingkap kebenaran tersebut, dibutuhkan metode-metode penafsiran yang relatif memadai. Sementara hermeneutika dalam pengertian sebagai filsafat, ia lebih berkompeten memperbincangkan hakikat penafsiran: bagaimana suatu kebenaran bisa muncul sebagai sebuah kebenaran, atau atas dasar apa sebuah penafsiran dikatakan benar. Di sini hermeneutika menyoroti secara kritis bagaimana bekerjanya pola pemahaman manusia dan bagaimana bekerjanya hasil pemahaman manusia, dibenarkan dan bahkan disanggah. Dalam bahasa yang lebih tegas Gradamer mendeklarasikan bahwa hermeneutika bertugas untuk merefleksikan segala cara manusia memahami dunia dan bentuk-bentuk ungkapan pemahaman tersebut.

Problem Hermeneutis
Mengingat bahasa manusia demikian banyak dan beragam, sementara setiap bahasa mencerminkan pola kebudayaan tertentu, maka problem terjemahan dan penafsiran merupakan problem pokok dalam hermeneutika. Dengan begitu, problem herneutika selalu berhubungan dengan proses pemahaman, dan penerjemahan atas sebuah pesan (lisan atau tulisan) untuk selanjutnya disampaikan kepada masyarakat yang hidup dalam dunia yang berbeda.[12]
Bleicher berpendapat bahwa “problem hermeneutik muncul ketika sesorang berusaha memahami ekspresi-ekspresi manusia yang bermakna dan bagaimana menerjemahkan narasi yang bersifat subjektif tersebut menajadi objektif, sementara dalam kenyataannya, ia dimediasi oleh subjektifitas penafsir”[13]. Maka terdapat beberapa persoalan penting yang perlu diperhatikan. Pertama, terdapat bentuk-bentuk ekspresi menausia yang bermakna. Ekspresi tersebut, menurut hermeneutika, biasanya tertuang dalam teks apapun bentuknya. Kedua, ada upaya menafsirkan dalam bahasa yang lebih objektif sehingga dapat dikomunikasikan dan dipahami orang lain.  Ketiga, proses penafsiran yang dilakukan oleh seorang penafsir senantiasa diprasuposisi dimana penafsiran tersebut ditujukan. Maksudnya, sebuah penafsiran senantiasa berkaitan dengan alasan menafsirkan teks, kepentingan menafsirkan dan sasaran penafsiran.
        Kegiatan penafsiran berkaitan dengan tiga unsur dalam interpretasi: pertama, tanda, pesan, atau teks dari berbagai sumber; kedua, seorang mediator yang berfungsi menerjemahkan tanda dan pesan sehingga dapat dengan mudah dipahami; ketiga, audiens yang menajadi tujuan sekaligus mem-prasuposisi penafsiran. Ketiga untus tersebut berhubungan secara dialektis dan masing-masing memberi sumbangan bagi proses pembentukan makna, sebagaimana pada gambar di atas.
Unsur-unsur yang membentuk kegiatan interpretasi di atas pada gilirannya merangsang dan memperluas penyelidikan terhadap unsur-unsur utama dari “problem hermeneutis” yang menjadi perhatian hermeneutika modern. Jika dirinci, maka para teoritikus hermeneutika bergerak pada wilayah penyelidikan[15]: pertama , asal-usul teks, makna memahami teks; ketiga, adalah mengenai bagaimana pemahaman didterminasi oleh berbagai asumsi, kepercayaan, dan cakrawala orang-orang yang menjadi tujuan penafsiran.


[1] Menurut Herakleitos, prinsip perubahan tidak dapat ditemukan dalam benda material. Petunjuk ke arah tafsiran yang tepat terhadap tata kosmis bukanlah dunia material melainkan dunia manusiawi. Pada dunia manusiawi ini, bahasa atau kemampuan berbicara menduduki tempat sentral. Dalam pengertian ini, maka medium bahasa menjadi sentral. Logos (kata) bukan semata-mata gejala antripologis. Logos tidak terbatas dalam lingkup sempit dunia manusiawi saja, karena kata mengandung kebenaran universal. Cassier via Kaelan, lihat. Kaelan, Filsafat Bahasa. (Yogayakarta; Paradigma, 1998), hal 77.
[2] Ibid. hal, hal 24-25
[3] Howard, Roy J. Pengantar Atas Teori-teori Pemahaman Kontemporer: Hermeneutika, Wacana Analitis, Psikososial, & Ontologis, (Jakarta; Nuansa Cendekia, Jakarta), hal 25-30 diambil seperlunya.
[4] Kaelan, hal 79-80 diambil seperlunya.
[5] Rortry via Kaelan, Ibid, hal 183-187 diambil seperlunya
[6] Howard, hal 25
[7] Saenong, Ilham B., Hermneutika Pembebasan, (Jakarta; TERAJU, 2002), hal 23. lihat juga, Palmer, Richard E., Hermeneutika, teori baru mengenai interpretasi, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2003), hal 14-16
[8] Palmer, hal 15.
[9] Gerhad Ebeling via Saenong, hal 24, & Palmer, Hal 14-16
[10] Senada dengan Howard yang menyatakan, hermeneutika secara tradisional digambarkan sebagai seni menafsirkan bahasa, bukan nama buruk dalam epistemology mutakhir ini. Howar hal, 25
[11] Grondin via Saenong, hal 25
[12] Hidayat, Komarudin, Menafsirkan Kehendak Tuhan, (Jakarta; Teraju, 2004) hal 15-16
[13] Bleicher via Saenong, hal 32
[14] Havey via Saenong, hal 33
[15] Harvey via saenong, hal 34

Tidak ada komentar: