Oleh : Lutfi A.S
1. Pengertian dan teori kecerdasan adversity
Dalam menjalankan tugas, seseorang sangat perlu melakukan langkah-langkah yang memungkinkan yang bersangkutan mengambil jalan yang paling taktis. Jalan taktis tersebut berguna untuk melakukan terobosan penting, agar kesuksesan menjadi nyata. Menurut Stoltz[1], suksesnya pekerjaan dan hidup terutama ditentukan oleh Adversity Quotient (AQ). Dikatakan juga bahwa AQ berakar pada bagaimana kita merasakan dan menghubungkan dengan tantangan-tantangan.
Orang yang memiliki AQ lebih tinggi tidak menyalahkan pihak lain atas kemunduran yang terjadi dan mereka bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah[2]. Stoltz membagi tiga kelompok manusia yang diibaratkan sedang dalam perjalanan mendaki gunung yaitu pertama, high-AQ dinamakan Climbers, kelompok yang suka mencari tantangan. Yang kedua, low-AQ dinamakan Quitters, kelompok yang melarikan diri dari tantangan. Yang ketiga, moderat-AQ dinamakan campers[3]. AQ mempunyai tiga bentuk[4] yaitu: (1) AQ adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan; (2) AQ adalah suatu ukuran untuk mengetahui respon terhadap kesulitan; dan (3) AQ adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon terhadap kesulitan. Agar kesuksesan menjadi nyata, maka Stoltz[5] berpendapat bahwa gabungan dari ke tiga unsur di atas yaitu pengetahuan baru, tolok ukur, dan peralatan yang praktis merupakan sebuah kesatuan yang lengkap untuk memahami dan memperbaiki komponen dasar meraih sukses. Berbeda dengan Mortel[6] yang berpendapat bahwa makin besar harapan kita terhadap diri sendiri, makin kuat tekad kita meraih sukses. Sedangkan Maxwell[7] mengatakan bahwa ketekunan membawa kepada daya tahan. Daya tahan tersebut akan memberikan kesempatan untuk meraih sukses.
Ada indikator yang merupakan gejala dari kesulitan menurut Stoltz[8] yang diungkapkan dalam bentuk pertanyaan. Di saat yang krisis, apakah Anda bangkit untuk menghadapi tantangan secara mendalam dan menunjukkan kebesaran? Apakah Anda tidak merasa takut terhadap gangguan, tantangan dan ketidakpastian harian? Atau, ketika kesulitan menggunung, apakah Anda terperosok dalam keadaan yang kacau, semangat menurun, serta menyesuaikan nilai inti dan tujuan yang sebelumnya demikian disanjung-sanjung? Menyalahkan orang lain, mengeluh, mengelak dari tanggung jawab, menghindari risiko dan menolak untuk berubah?
Dalam melakukan suatu kegiatan tidak selamanya berjalan lancar, adakalanya dihadapkan pada kegagalan, hambatan, dan kesulitan. Mortel[9] mengemukakan kegagalan ialah suatu proses yang perlu dihargai. Selain itu Mortel[10] juga berpendapat bahwa kegagalan hanyalah suatu pengalaman yang akan menghantar untuk mencoba berusaha lagi dengan pendekatan yang berbeda. Seiring dengan itu Maxwell[11] mengungkapkan bahwa perbedaan antara orang yang berprestasi biasa-biasa saja dengan orang yang prestasinya luar biasa adalah persepsi mereka tentang kegagalan serta bagaimana respon mereka terhadap kegagalan. Oulletle dalam Stoltz[12] mengemukakan bahwa orang yang tahan banting tidak terlalu menderita terhadap akibat negatif yang berasal dari kesulitan. Sifat tahan banting dalam diri manusia merujuk pada kemampuan menghadapi kondisi-kondisi kehidupan yang keras. Senada dengan itu Wetner yang dikutip Stoltz[13], mengatakan bahwa anak yang ulet adalah perencana, orang yang mampu menyelesaikan masalahnya dan orang yang mampu memanfaatkan peluang. Orang yang mengubah kegagalannya menjadi batu loncatan mampu memandang kekeliruan atau pengalaman negatifnya sebagai bagian dari hidupnya, belajar darinya dan kemudian maju terus.
Ada tujuh kemampuan yang dibutuhkan untuk mengubah kegagalan menjadi batu loncatan yaitu: (1) para peraih prestasi pantang menyerah dan tidak jemu-jemunya mencoba karena tidak mendasarkan harga dirinya pada prestasi, (2) para peraih prestasi memandang kegagalan sebagai sementara sifatnya, (3) para peraih prestasi memandang kegagalan sebagai insiden-insiden tersendiri, (4) para peraih prestasi memiliki ekspektasi yang realistik, (5) para peraih prestasi memfokuskan perhatian pada kekuatan-kekuatannya, (6) para peraih prestasi menggunakan berbagai pendekatan dalam meraih prestasinya, dan (7) para peraih prestasi mudah bangkit kembali[14].
Menurut Stolzt[15] ada beberapa faktor yang diperlukan untuk mengubah kegagalan menjadi suatu peluang yaitu daya saing, produktivitas, kreativitas, motivasi, mengambil risiko, ketekunan, belajar, merangkul perubahan, dan keuletan. Stoltz[16] mengemukakan bahwa seorang yang sukses pernah mengalami hambatan yang luar biasa dalam hidupnya, namun mempunyai semacam sikap suka tantangan. Keadaan ini yang terus mengobarkan semangat dalam diri orang tersebut. Menurut Stoltz[17] dalam menghadapi kesulitan maka yang diperlukan adalah tahan banting dan keuletan.
Yang dimaksud dengan kecerdasan adversity dalam penelitian ini adalah sikap seseorang dalam mengubah hambatan/tantangan/kesulitan menjadi peluang, yang ditandai dengan empat indikator yaitu (1) penilaian diri positif, (2) optimis, (3) ketekunan, dan (4) keuletan.
2. Kecerdasan adversity dan Kepemimpinan
Sebagaimana dijelaskan bahwa kecerdasan adversity adalah kemampuan mengubah tantangan menjadi peluang. Pengertian ini memiliki hubungan erat dengan model analisis SWOT (strenght, weakness, oportunity, dan threatment) dalam manajemen dan kepemimpinan, yaitu suatu model analisis untuk mengetahui kekuatan, kelemahan, peluangan dan tantangan yang dihadapi oleh sebuah organisasi atau lembaga.[18]
SWOT adalah sebuah teknik yang sederhana, mudah dipahami, dan juga bisa digunakan dalam merumuskan strategi-strategi dan kebijakan-kebijakan untuk pengelolaan pegawai administrasi (administrator). Sehingga, SWOT di sini tidak mempunyai akhir, artinya akan selalu berubah sesuai dengan tuntutan jaman. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menunjukkan bagaimana SWOT dapat digunakan oleh para administrator dalam menganalisis dan memulai pembuatan program baru yang inovatif untuk ditawarkan dalam pendidikan kejuruan.
Analisis SWOT secara sederhana dipahami sebagai pengujian terhadap kekuatan dan kelemahan internal sebuah organisasi, serta kesempatan dan ancaman lingkungan eksternalnya. SWOT adalah perangkat umum yang didesain dan digunakan sebagai langkah awal dalam proses pembuatan keputusan dan sebagai perencanaan strategis dalam berbagai terapan.[19]. Jika hal ini digunakan dengan benar, maka dimungkinkan bagi sebuah sekolah kejuruan untuk mendapatkan sebuah gambaran menyeluruh mengenai situasi sekolah itu dalam hubungannya dengan masyarakat, lembaga-lembaga pendidikan yang lain, dan lapangan industri yang akan dimasuki oleh murid-muridnya. Sedangkan pemahaman mengenai faktor-faktor eksternal, (terdiri atas ancaman dan kesempatan), yang digabungkan dengan suatu pengujian mengenai kekuatan dan kelemahan akan membantu dalam mengembangkan sebuah visi tentang masa depan. Prakiraan seperti ini diterapkan dengan mulai membuat program yang kompeten atau mengganti program-program yang tidak relevan serta berlebihan dengan program yang lebih inovatif dan relevan.
Langkah pertama dalam analisis SWOT adalah membuat sebuah lembaran kerja dengan jalan menarik sebuah garis persilangan yang membentuk empat kuadran, keadaan masing-masing satu untuk kekuatan, kelemahan, peluang/kesempatan, dan ancaman. Langkah berikutnya adalah membuat daftar item spesifik yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi di bawah topik masing-masing. Dengan membatasi daftar sampai 10 poin atau lebih sedikit, untuk menghindari generalisasi yang berlebihan.[20]
SWOT dapat dilaksanakan oleh para administrator secara individual atau secara kelompok dalam organisasi. Teknik secara kelompok akan lebih efektif khususnya dalam pengadaan struktur, objektifitas, kejelasan dan fokus untuk diskusi mengenai strategi, sehingga tidak akan cenderung melantur, dan bahkan akan terkena pengaruh politik atau kesenangan (interest) perseorangan yang kuat.[21]. Sedangkan Sabie[22] mencatat bahwa jika bekerja secara kelompok dalam bidang pendidikan, maka akan muncul tiga sikap yang terangan-terangan dari para guru di mana tergantung masa kerja mereka masing-masing. Guru-guru yang mempunyai pengalaman 0-6 tahun cenderung menjadi yang paling partisipatif dan receptive akan ide-ide baru.
SWOT harus mencakup semua aspek/area berikut ini, yang masing-masing dapat merupakan sumber kekuatan, kelemahan, kesempatan, atau ancaman, misalnya:
Beberapa contoh lingkungan internal lembaga pendidikan;
1) tenaga kependidikan dan staf adminstrasi
2) ruang kelas, laboratorium, dan fasilitas sarana prasarana (lingkungan belajar).
3) siswa yang ada
4) anggaran operasional
5) program riset dan pengembangan iptek
Bebrapa contoh lingkungan eksternal lembaga pendidikan
1) tempat kerja yang prospektif bagi lulusan
2) orang tua dan keluarga siswa
3) lembaga pendidikan pesaing lainnya
4) sekolah /lembaga tinggi sebagai persiapan lanjutan
5) demografi sosial dan ekonomi penduduk
6) badan-badan penyandang dana.[24]
Secara historis, para administrator berupaya menarik minat siswa agar memasuki/memlih program yang ada pada lembaga pendidikan mereka dengan cara meningkatkan promosi dan iklan tanpa memperhatikan kelemahan dan kekuatan lembaga pendidikan yang mereka kelola. Apabila keadaan audit internal seperti ini dilaksanakan, maka akan timbul area/aspek yang menghendaki beberapa perubahan. Lebih dari itu, potensi dan kemungkinan-kemungkinan akan adanya service dan program-program inovasi baru bisa juga muncul. Dengan membuat seluruh daftar tentang kelemahan internal maka akan tampak area/aspek yang bisa diubah guna untuk memperbaiki kinerja lembaga pendidikan, termasuk segala sesuatunya yang berada di luar jangkauan kontrol. Contoh mengenai kelemahan inheren cukup banyak. Misalnya moral staf adminstrasi dan staf pengajar yang rendah; bangunan infrastruktur yang kurang memadai; fasilitas sarana prasarana, serta laboratorium di bawah standar; langkanya sumber daya instruksional; dan termasuk lokasi lembaga pendidikan tersebut.
Sedangkan kekuatan yang ada perlu juga didaftar, sebagai contoh kekuatan potensial dapat berupa: (a) pembebanan biaya pendidikan yang rasional terhadap siswa; (b) tenaga pengajar yang berdedikasi dan bermoral tinggi; (c) akses dengan lembaga pendidikan lanjutan atau universitas-universitas yang lain, dimana siswa dapat mentransfer kredit mata pelajaran yang telah diperoleh; (d) reputasi yang baik dalam menyediakan pelatihan yang diperlukan untuk memperoleh pekerjaan; dan (e) perbedaan populasi siswa.[25]
Penaksiran kekuatan dan kelemahan juga bisa dilakukan melalui survei, kelompok-kelompok fokus, wawancara dengan murid dan bekas murid, dan sumber-sumber lain yang dapat dipercaya. Begitu kelemahan dan kekuatan tergambar, maka akan memungkinkan untuk mengkonfirmasi item-item tersebut. Harus dimafhumi bahwa persepsi yang berbeda-beda bisa timbul, tergantung pada kelompok-kelompok representatif yang dihubungi dan dimintai pendapatnya.
Gambaran eksternal bersifat komplementer terhadap self-study internal di dalam analisis SWOT. Pengaruh-pengaruh nasional dan regional seperti masalah-masalah lokal dan negara adalah yang paling penting dalam memutuskan program baru apa saja yang perlu ditambah atau program yang sudah ada dan perlu dimodifikasi atau diganti. Gilley[26] menetapkan sepuluh dasar-dasar institusi yang "on-the-move" (sedang maju), salah satunya adalah kemampuan institusi atau lembaga untuk menjaga pengawasan yang lebih dekat atas masyarakat. Tidak hanya administrator saja yang harus mengawasi masyarakatnya, namun mereka juga memainkan perananan kepemimpinan dengan memberikan isu-isu itu yang berkaitan secara langsung maupun tidak.
Informasi tentang iklim dan trend bisnis yang ada, perubahan penduduk, dan jumlah pegawai serta tingkat lulusan sekolah menengah harus dipertimbangkan dalam tahap studi pengembangan ini. Sejumlah sumber informasi harus diliput, tidak hanya terbatas kepada pengurus sekolah saja, melainkan termasuk orang tua siswa, tokoh masyarakat, surat kabar, majalah, jurnal pendidikan, dewan penasehat, dunia industri, dan lainnya. Sehingga masing-masing dapat merupakan sumber potensial sebagai informasi yang sangat berharga.
Ancaman harus dikenali, sebab ancaman dapat berwujud dalam berbagai bentuk. Besarnya anggaran pendidikan yang terbatas dianggap suatu peraturan daripada dianggap sebagai suatu pengecualian. Anggaran pemerintah umumnya diperuntukkan pada usaha pengembangan pendidikan yang tidak bersifat khusus, sehingga mempunyai dampak atas pelaksanaan program dengan anggaran tinggi. Terbatasnya industri/dunia kerja untuk menyerap tenaga kerja sebagai keluaran pendidikan. Lembaga pendidikan lain yang sejenis atau perguruan tinggi telah lebih dulu membuat beberapa program baru untuk menarik siswa lebih banyak atas program yang sama. Di samping juga, menurunnya jumlah lulusan sekolah menengah dapat menimbulkan suatu ancaman dengan adanya berkurangnya permintaan siswa terhadap program yang telah direncanakan.[27]
Adanya suatu perubahan kesadaran atau pola pikir masyarakat akan menciptakan kesempatan potensial untuk memberikan isu-isu baru dengan jalan memberikan layanan pendidikan yang lebih bermutu dan berkualitas. Kepedulian masyarakat terhadap lingkungan yang bersifat global, juga mempunyai areal/aspek kesempatan. Industri atau bisnis baru apa yang dapat muncul di masa akan datang, dengan mencari siswa lulusan pendidikan kejuruan berketrampilan serta terlatih baik.
Harus dipahami juga bahwa kesempatan dan ancaman sifatnya tidak absolut. Apa yang pertama-tama nampak akan menjadi suatu kesempatan/peluang, mungkin tidak muncul bila dikaitkan dengan sumber-sumber daya atau harapan masyarakat. Makin banyak sumber daya atau harapan masyarakat, maka makin besar pula tantangan dalam menggunakan metode analisis SWOT, sehingga memungkinkan untuk membuat penilaian yang benar dan tepat serta lebih menguntungkan baik secara institusi maupun lingkungan masyarakat.[28]
Pada umumnya SWOT hanya mencerminkan pandangan seseorang atau kelompok, dimana hanya mencerminkan keberpihakan dalam menilai tindakan yang telah ditentukan sebelumnya, daripada digunakan sebagai alat untuk menemukenali kemungkinan-kemungkinan peluang baru. Hal penting yang perlu perhatikan bahwa kadang-kadang ancaman juga dapat dipandang sebagai kesempatan, tergantung orang atau kelompok yang terlibat. Ada pepatah yang menyatakan, seorang yang pesimis adalah orang yang melihat kegagalan di dalam suatu kesempatan, dan seorang yang optimis adalah orang yang melihat kesempatan di dalam suatu kegagalan.
SWOT memungkinkan sebuah institusi untuk mengambil cara yang singkat daripada melakukan sebuah penelitian khusus kekuatannya yang sesuai dengan kesempatan, sehingga mengabaikan kesempatan yang tidak dirasakan. Metode yang lebih pro-aktif dalam identifikasi kesempatan/peluang adalah paling menarik, baru kemudian merencanakan dan menemukembangkan strategi institusi untuk memenuhi kesempatan-kesempatan tersebut. Hal ini akan menciptakan strategi efektif, menurut Glass[29], dalam menghadapi tantangan, daripada sekedar menemukan kekuatan yang ada dan kesempatan yang dipilih untuk dikembangkan kemudian.
[1] Paul G. Stoltz. Adversity Quotient; Mengubah Hambatan Menjadi Peluang. (T.Hermaya, trans.), Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2000, h. 8
[3] Jennifer Maragoni. Quitter, Camper, Climber: Which One Are You?. Silocon Valley Business Ink, 2001, h. 1.
[7] John Maxwell. Failing Forward, Mengubah Kegagalan Menjadi Batu Loncatan. (Arwin Saputra, trans.) Interaksara, Jakarta, 2001, h. 36.
[18] Gibson, Ivancevich & Donelly, Organisasi: Perilaku, Struktur, Proses, Jakarta: Erlangga, 1985, , h. 94
[20] G. Johnson, Scholes, K., & Sexty, R.M., Exploring Strategic Management, Scarborough, Ontario, Prentice Hall, 1989.
[21] N.M. Glass,, Pro-active Management: How to Improve Your Management Performance. East Brunswick, NJ Nichols Publishing, 1991.
[22] SA. Abie, The Industrial Arts/Technology Education: A Supervisor's Perspective. The Technology Teacher, 51(2), 1991, h. 13-14.
[23] Ibid. h. 83.
[24] Ibid.
[25] Gatot Subroto, Analisis Swot Tinjauan Awal Pendekatan Manajemen (Sebuah Pengenalan Inovasi Program Pada Sekolah Kejuruan), Balitbang Departemen Pendidikan Nasional R.I., Jakarta, 2001, h. 76.
[26] Gilley, J.W., Fulmer, K.A., & Reithlingschoefer, S.J., Searching for Academic Excellence: Twenty Colleges and Universities on the Move and Their Leaders. ACE/Macmillan, New York, 1986, h. 187
Tidak ada komentar:
Posting Komentar