25 Maret 2012

Kritik Matan atas Hadits-Hadits tentang Ilmu Pengetahuan


Oleh : D. Suryatman
 
Prolog: Relevansi Sunnah dengan Pendidikan dan Pembentukan Budaya

Sudah menjadi kesadaran bersama, Pendidikan Islam dengan berbagai bentuk dan metodanya mengambil peran penting dalam proses pembentukan dan transformasi Peradaban dan Kebudayaan Dunia Islam. Peradaban dan kebudayaan yang dibangun melalui sebuah proses dialektika manusia dengan realitas, dan terbangun pula melalui sebuah proses dialektika manusia dengan teks.
.[1] Dalam hal ini, al-Qur’an dan al-Hadits memiliki posisi sentral. Ketika teks menjadi poros utama dalam kebudayaan Islam, maka interpretasi merupakan salah satu mekanisme kebudayaan dan peradaban yang sangat penting dalam memproduksi pengetahuan. Lebih dari itu, teks, al-Qur’an dan as-Sunnah telah secara langsung mempengaruhi berbagai pemaknaan dan penilaian atas realitas sosial budaya. Karena keduanya telah mapan, dalam ranah kesadaran kita, dinobatkan sebagai “sumber kebenaran”.

Diawali dengan berkembangnya tradisi Fiqh, muncul perdebatan mengenai legalitas teks sunnah yang terkadang dianggap sebagai teks kedua setelah. Perdebatan itu menghadapkan kubu ahlul-hadits dan ahlul-ra’y. Pada dasarnya perbedaan mereka terletak pada akurasi keautentikan beberapa jenis hadits, terutama semenjak maraknya pemalsuan-pemalsuan.[2] Kelompok rasionalis memandang al-Qur’an saja sudah cukup, tidak perlu hadis dan sunnah yang sulit diketahui kebenaran dan kaitannya dengan wahyu. Terlebih al-Qur’an sendiri yang menguatkan makna hadis. Namun perdebatan itu, diselesaikan oleh Imam Syafi’i melalui upayanya mengaitkan al-Kitab dengan hadist ke dalam pola-pola semantik dan memasukannya ke dalam struktur teks al-Qur’an. Sehingga semenjak itu, sunah menjadi bagian dari teks sentral dalam tradisi interpretasi dan fiqh Islam.

Sunnah diyakini sebagi sumber teks ke dua yang terkadang secara hirakis ditempatkan setelah al-Qur’an. Pendapat Imam Syafi’i menjadi rujukan yang menguatkan pembelaan atas sunnah. Imam Syafi’i melihat setidaknya terdapat beberapa kaitan antara al-Qur’an dan sunah diantaranya; pertama, kemiripan semantik, yaitu kemiripan yang didasarkan pada pengulangan sunnah terhadap wacana al-Qur’an; kedua, hubungan at-tafsir dan al-bayan, sebagaimana dalam spesifikasi kalimat at-takhshish dan al-‘am dan perincian kalimat ambigu; ketiga, Sunnah berdiri sebagai teks tasyri’ meskipun ke-hujjah-an tekstualnya bersumber pada pemaknaan-pemaknaan yang terdapat dalam al-Kitab sendiri.[3] Pendapat ini telah menjadi rujukan tradisi penafsiran dan penukilan hukum yang berdampak pada berbagai segi penafsiran.

Perkembangan selanjutnya, sunnah telah menjadi bagian teks sentral yang terintegrasi secara mendasar dalam logika ushul, baik ushuluddin maupun ushul fiqh. Pada situasi tersebut, dapat dipastikan sunnah banyak  mewarnai penafsiran, penilaiaan, bahkan tindakan dalam realitas sosial budaya. Maka tidak syak lagi, dalam tataran ushuluddin[4], sunnah akan banyak mempengaruhi bangunan persepsi dan penetapan ideologi religius. Sedangkan dalam tataran ushul fiqh, sunnah banyak mewarnai dan mempengaruhi tindakan praksis. Sehingga akibatnya, sunnah memberikan warna atas relitas sosial, karena ia memproyeksikan persepsi dan seringkali dijadikan dalil-dalil atas tindakan praksis dalam kehidupan. Karena sunnah memiliki posisi mapan dalam proses pembentukan budaya kita. Karena dialektika teks dan realitas selalu melibatkan sunnah sebagai bagian tak terpisahkan dan merupakan salah sumber inspirasi nilai dan norma.

Sunnah dan Materi Pendidikan

Sunnah atau hadits dengan posisinya sebagai bagian sentral dalam pembentukan budaya Islam telah menjadi bahan material pendidikan Islam sejak lama. Seiring dengan perkembangan keilmuannya, ulumul hadits, sunnah menjadi materi utama dalam pendidikan Islam. Sunnah menjadi materi pendidikan dengan lingkup yang sangat luas, melingkupi persoalan aqidah, fiqh, akhlaq, tafsir dll.

Konteks perkembangan ilmu hadits ini seiring dengan kebutuhan mendesak hukum (baca: fiqh) guna menjawab tantangan perkembangan saat itu. Hal tersebut dapat dilihat dari sistematika penyusunan dan pengumpulan kitab-kitab hadits. Sebagian besar kitab-kitab hadits yang populer dijadikan rujukan, disusun sebagaimana materi pembelajaran fiqh. Sistematika pembahasannya, diawali dengan pembahasan mengenai niat, thaharah, shalat, zakat, dst.   

Maka dapat disimpulkan, dalam konteks pendidikan, hadits-hadits dengan berbagai kitabnya telah menjadi sumber bahan ajar dari masa kemasa. Hadits sebagai materi pendidikan, merupakan materi ajar yang dominan dalam konteks pembelajaran hukum Islam. Karena pembelajaran hadits ini tidak terlepas dari kepentingan untuk memahami hukum Islam. Sehingga materi pendidikan dalam hadits adalah pembahasan hadits-hadits tentang ‘aqidah, akhlaq, fiqh ibadah, fiqh mu’ammalah, dll.

Terkait materi pendidikan, banyak ulama melakukan pembahasan hadits di luar konteks hukum; seperti Ibnu al-Qayyim dengan kitabnya Zaad al-Ma’ad fi Hadyi Khairi al-Ibad, yang menyusun pembahasan hadits dalam konteks kedokteran dan psikologi; dan banyak ulama lainnya. Namun, pembahasan tersebut hanya bisa dipahami sebagai tradisi atau budaya Arab, karena kepentingan pembelajaran hadits utamanya tetap terpatri dalam konteks penafsiran, penegasan, dan penjabaran hukum, sebagaimana diperkuat oleh ungkapkan Ibnu Khaldun dalam Kitab Muqaddimah, beliau berpendapat,

“Orang-orang pedalaman dari bangsa yang telah beradab, mempunyai tradisi pengobatan yang biasanya dihasilkan dari pengalaman terbatas atas beberapa orang, diwariskan secara turun-termurun dari para leluhur mereka. Sebagian praktik pengobatan telah mencapai suatu teknik yang benar, namun itu tidak dilakukan dengan mengikuti hukum alam, juga tidak terhadap kecenderungan manusia. Bangsa Arab banyak mempunyai pengetahuan tentang pengobatan semacam ini. Diantara ahli pengobatan yang terkenal adalah Harits bin Kaladah dan lainya”[5]


Beberapa Hadits terkait dengan Ilmu dan Materi Pendidikan

Hadits 1

Kelebihan orang yang berilmu dengan orang yang banyak beribadah seperti kelebihanku dengan seorang yang terendah diantara kamu. Sesungguhnya Allah, para malaikat serta penduduk langit dan bumi sampai seekor semut di sarangnya atau ikan di lautan, semuanya bershalawat kepada seorang guru yang baik” Diriwayatkan oleh : Tirmidzi dari Abu Umamah al-Bahili.

Hadits 2

Amal yang sedikit akan bermanfaat dengan ilmu dan amal yang banyak tidak akan bermanfaat dengan kebodohan”. Diriwayatkan oleh ad-Dailami dalam al-Firdaus dari Anas bin Malik.

Hadits 3

Abu Darda ra. berkata, “Saya mendengar Rasulullah bersabda ‘Barang siapa menempuh jalan yang dimanfaatkan untuk menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan jalannya menuju syurga dan malaikat membentangkan sayapnya untuk penuntut ilmu karena puas dengan apa yang diperbuatnya. Dan bahwa sanya penghuni langit dan bumi sampai ikan yang ada di lautan itu senantiasa memintakan ampun untuk orang ‘alim. Kelebihan ‘alim dan abid adalah bagaikan kelebihan bulan purnama dengan bintang-bintang yang lain. Ulama itu adalah pewaris para nabi dan bahwasanya nabi tidak mewariskan dinar dan dirham tetapi para nabi mewariskan ilmu, maka barang siapa yang mengambil ilmu maka telah mengambil bagian yang sempurna”. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi.




Hadits 4

Abu Darda dan Abu Huraira ra. berkata, Rasulullah bersabda; “Sungguh satu bab (ilmu) yang dipelajari oleh seseorang lebih kucintai dari daripada menjalankan shalat sunnat seribu raka’at. Kata mereka selanjutnya, Rasulullah bersabda; “Apabila kematian merenggut seseorang pelajar dalam keadaan menuntut ilmu maka dia adalah mati syahid”. Diriwayatkan oleh al-Bazzar dan Thabrani.

Hadits 5

Dari Abdullah bin Amr ra, bahwasanya Rasulullah bersabda; Ilmu yang sedikit itu lebih baik daripada amal ibadat yang banyak. Cukuplah kiranya seseorang iu faham mendalam bila ia telah beribadah kepada Allah, dan cukuplah kiranya seseorang itu dikatakan bodoh bila ia mengagumi pendapatnya sendiri. Diriwayatkan oleh Thabrani.

Hadits 6

Anas ra berkata, bahwasanya Rasulullah bersabda; Barangsiapa yang keluar dengan dengan tujuan menuntut ilmu maka ia berada di jalan Allah sehingga ia kembali”. Diriwayatkan oleh Tirmidzi.

Hadits 7

Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah bersabda; “Barangsiapa yang mempelajari ilmu pengetahuan yang seharusnya ditujukan hanya untuk mencari ridla Allah kemudian ia tidak mempelajarinya untuk mendaptkan ridla Allah bahkan hanya untuk mendapatkan kedudukan/kekayaan dunia, maka ia tidak akan mendapatkan baunya sorga nanti pada hari kiamat”. Diriwayatkan oleh Abu Daud

Hadits 8

Muawiyah ra berkata, Rasulullah bersabda; “Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah menjadi orang baik maka ia akan dipandaikan dalam ilmu agama”. Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.

Hadits 9

Abu Huraira berkata, Rasulullah bersabda; “Barangsiapa yang menghilangkan dari orang suatu kesusahan diantara bermacam-macam kesusahan di Dunia, maka Allah akan menghilangkan darinya suatu kesusahan dari kesusahan-kesusahan kelak pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang membuat kemudahan terhadap orang-orang yang sedang berkesulitan, maka Allah akan mempermudah kepadanya di dunia dan di akhirat. Barangsiapa yang menutup cela orang Islam, maka Allah menutup celanya di dunia dan akhirat. Dan Allah tetap menolong hamba-Nya selama dia mau menolong saudaranya. Barangsiapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah mempermudah baginya jalan menuju syurga. Dan tidaklah segolongan manusia berhimpun pada sebuah rumah diantara rumah-rumah Allah, sedangkan mereka itu membaca kitab Allah dan saling mempelajarinya, melainkan turun atas mereka ketenangan jiwa, dan mereka itupun ditutupi oleh rahmat Allah dan dikelilingi malaikat, serta Allah memuji mereka pada sekumpulan malaikat di sisi-Nya. Barang siapa yang amalnya lengah, maka nasabnya pun tidak akan mempercepat amalnya itu. Diriwayatkan oleh Muslim.

Hadits 10

Kalian lebih tahu tentang perkara dunia kalian”. Diriwayatkan oleh Muslim.

Hadits 11

Barangsiapa telah belajar memanah kemudian ia melupakannya berarti ia telah kufur nikmat”. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, an-Nasa’i, dan al-Hakim.

Hadits 12

Setiap muslim yang menanam suatu tanaman atau suatu tumbuhan, kemudian tanamannya itu dimakan oleh burung, manusia, atau hewan, maka itu akan menjadi sedekah baginya”. Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.


Analisa Konteks Historis Penuturan (Asbab al-Wurud)

Untuk mengantarkan kita pada sebuah pemahaman utuh mengenai makna, maka perlu langkah penelusuran konteks penuturan hadits.[6] Secara umum, hadits-hadits di atas adalah hadits yang tidak memiliki sebab secara khusus. Sebagai salah satu contoh adalah hadits pertama yang berbunyi, “Kelebihan orang yang berilmu dengan orang yang banyak beribadah... dst. Sebab penuturan hadits ini adalah “Kata Abu Umamah, dua orang laki-laki telah memperkenalkan diri kepada Rasulullah. Satu diantaranya seorang yang banyak beribadah dan yang lainnya seorang yang berilmu. Rasulullah bersabda: “Kelebihan orang yang berilmu... dst.[7] Tentu saja, uraian mengenai latar belakang peristiwa tersebut belum memberi gambaran jelas yang dapat mengantarkan pembaca pada satu pemahaman yang utuh. Tampaknya, perlu ada tinjauan yang lebih luas dan spesifik yang mendeskripsikan susana dan kondisi historis penuturan hadits. Hal tersebut penting untuk menghindari kekakuan dan kesempitan pemaknaan atas hadits-hadits pendidikan.

Dalam konteks sejarahnya, hadits-hadits yang dituturkan Rasul mengenai pentingnya ilmu pengetahuan adalah ungakapan yang sangat maju untuk zamannya. Bagaimana tidak, secara konsiten seruan-seruan akan pentingnya ilmu pengetahuan ini, dituturkan Rasul dalam situasi kehidupan sosial bangsa Arab  diwarnai oleh kebodohan. Buta huruf diderita oleh sebagian besar masyarakat. Baca-tulis adalah hal yang sangat asing. Sehingga bahasa Arab hanyalah bahasa lisan. Hal ini menjadikan bangsa Arab sebagai bangsa primitif dan tidak berkembang. at-Thabari memperkirakan hanya 17 orang dari seluruh masyarakat Mekah pada masa itu yang pandai menulis dan membaca[8]. Maka wajar, pada masa itu bangsa Arab memiliki pandangan kehidupan yang sangat sempit. Sehingga mereka sulit melakukan interaksi sosial dengan budaya di luar lingkungannnya. Mereka terkungkung oleh tatanan nilai kesukuan yang dimilkinya, yang didasarkan pada tradisi nenek moyang yang diterima secara buta dan turun-menurun.

Hadits-hadits rasul tentang ilmu pengetahuan adalah tutur yang bertolak belakang dengan pandangan sosial bangsa Arab yang mendasarkan diri pada tradisi nenek moyang. Dimana, tatanan sosial bangsa Arab terbangun secara irasional dengan sentimen kesukuan yang berlebihan dan tidak memiliki hukum-hukum tertulis. Kesewenangan dan ketidakadilan menjadi fakta yang tidak terpisahkan dalam kehidupan mereka. Pandangan sosial berdasarkan pandangan tradisi nenek moyang menggiring suku-suku bangsa Arab  pada sikap chauvinis dan pertumpahan darah antar suku. Sehingga semua pandangan kehidupannya dikendalikan oleh takhayyul[9], yaitu berbagai mitos yang diyakini secara turun menurun tanpa kritik. Lebih-lebih pandangan tradisioanal berdasarkan nenek moyang tersebut, menjadikan bangsa Arab menyembah tuhan-tuhan yang mereka buat dengan tangan mereka sendiri.

Seruan Rasul akan pentingnya ilmu pengetahuan muncul ditengah-tengah maraknya pandangan aneh dikalangan orang Arab pada masa itu. Perendahan terhadap harkat dan martabat kaum wanita sebagai salah satu contohnya. Wanita dipandang sebagai makhluk yang lemah dan beban kehidupan. Perzinahan mewarnai setiap lapisan masyarakat, kecuali hanya sebagian kecil dari kaum laki-laki dan wanita yang masih memiliki keagungan.[10] Maka wajarlah, jika dengan buas mereka bunuh anak perempuan mereka, sebagaimana dilansir firman Allah berikut ini,

“Bila bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanyai karena dosa apa dia dibunuh”[11]
“Dan janganlah kalian membunuh anak-anak kalian karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rizki kepada kalian dan kepada mereka.”[12]

Konsistensi Rasul akan kesadaran ilmu pengetahuan muncul disaat kemiskinan melanda bangsa Arab. Problem kemiskinan ini telah memicu kekacauan moral sebagaimana kutipan di atas. Kemiskinan ini terjadi akibat dari tertutupnya sistem sosial bangsa Arab akan kemungkinan perubahan kehidupan masyarakat bawah. Diskriminasi kelas terjadi dengan sangat tajam antara kaum penguasa, pedagang, bangsawan, rakyat jelata dan budak atau hamba sahaya. Sehingga terjadi banyak perbudakan khususnya pada golongan kulit hitam yang datang dari penjuru Afrika.

Dari gambaran diatas, maka korelasi hadits-hadits tentang ilmu pengetahuan dengan konteks historisnya sangatlah relevan. Ternyata seruan tentang ilmu pengetahuan erat kaitannya dengan problematika historis yang melingkupi bangsa Arab yang sedang dirudung keterbelakangan. Hadits-hadits tentang ilmu pengetahuan yang secara konsisten dituturkan rasul merupakan sebuah alternatif sekaligus tawaran solutif. Maka secara logis, materi pendidikan Islam akan terkait erat dengan upaya solutif atas berbagai problem tersebut.


Analisa Tema Ujaran Hadits tentang Ilmu

Dua belas kutipan hadits di atas cukup untuk mempresentasikan cara pandang nabi terhadap ilmu termasuk materi-materi pendidikan yang penting dipelajari. Meskipun masih banyak hadits yang berbicara mengeai ilmu namun secara senada terma yang diangkat dalam hadits tersebut lebih kurang mendekati 12 hadits kutipan di atas.

Jika kita kategorikan, penuturan Rasul mengenai ilmu dapat dikategorisasikan kedalam beberapa terma, diantaranya :

1.      Transendensi Ilmu

Ilmu sebagaimana dituturkan Rasul dalam berbagai haditsnya dipandang sebagai sesuatu yang transenden, syakral, “penuhanan” atau “menuhan”, dan memiliki nilai yang sangat luhur. Ilmu tidak hanya dipandang sebagai pengalaman, pengetahuan, atau keterampilan atas sesuatu saja. Ilmu, dengan berbagai aktifitasnya, disejajarkan dengan berbagai aktifitas peribadatan yang syakral. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut,

Abu Darda dan Abu Huraira ra. berkata, Rasulullah bersabda; “Sungguh satu bab (ilmu) yang dipelajari oleh seseorang lebih kucintai dari daripada menjalankan shalat sunnat seribu raka’at...

Lebih dari itu,  ikon-ikon atau simbol bahasa agama yang melangit, menghiasi proses pensyakralan ilmu pengetahuan sebagai mana dapat dilihat pada salah satu kutipan penuturan Nabi berikut,

Abu Darda ra. berkata, “Saya mendengar Rasulullah bersabda ‘Barang siapa menempuh jalan yang dimanfaatkan untuk menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan jalannya menuju syurga dan malaikat membentangkan sayapnya untuk penuntut ilmu karena puas dengan apa yang diperbuatnya. Dan bahwa sanya penghuni langit dan bumi sampai ikan yang ada di lautan itu senantiasa memintakan ampun untuk orang ‘alim. Kelebihan ‘alim dan abid adalah bagaikan kelebihan bulan purnama dengan bintang-bintang yang lain...”  

Hadits-hadits di atas mempresentasikan sebuah cara pandang ketuhanan terhadap ilmu pengetahuan. Cara pandang ini dapat disebut sebagai Theologi Ilmu Pengetahuan. Bahwa dalam konteks Pendidikan Islam, Kesadaran ilmu pengetahuan didorong oleh kesadaraan theologis. Dimana penekanan akan kesadaran ilmu pengetahuan dirorong oleh kesadaran keagaman. Sehingga ilmu pengetahuan dengan berbagai aktifitasnya dipandang sebagai sesuatu yang suci, luhur dan transenden. Tidak syak lagi, cara pandang ini sangat lah maju dalam konteks bangsa Arab yang ‘bodoh’ dan asing dengan budaya ilmu pengetahuan.
 
2.      Kitab Allah Sumber Material Ilmu

Dasar-dasar ilmu pengetahuan, diindikasikan oleh Nabi dalam penuturanya melalui kegiatan “berhimpun”, “membaca”, dan “mempelajari”. Tiga kosakata ini menjadi dasar kegiatan pencarian ilmu atau proses kegiatan pendidikan. Sebagaimana dikutip dalam penuturan berikut,

Abu Huraira berkata, Rasulullah bersabda, “... Barangsiapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah mempermudah baginya jalan menuju syurga. Dan tidaklah segolongan manusia berhimpun pada sebuah rumah diantara rumah-rumah Allah, sedangkan mereka itu membaca kitab Allah dan saling mempelajarinya, melainkan turun atas mereka ketenangan jiwa,...”

Sumber material ilmu yang dipelajari adalah kitab Allah. Cara pandang ini berisisan dengan tema awal mengenai transendensi Ilmu pengetahuan. Dimana kesadaran ilmu pengetahuan didorong oleh kesadaran teologis. Dimana,  sumber kesadaran itu tersentral pada nash religius yang merujuk pada kitab Allah.

Selain mempresentasikan Kitab Allah sebagai sumber rujukan dalam kegiatan pendidikan atau pencarian ilmu. Secara teknis, hadits ini pun menngindikasikan detil kegiatan pendidikan atau pencarian ilmu. Pertama, kegiatan pendidikan dilakukan dengan “berhimpun”. Secara logis, perhimpunan ini merupakan sebuah ruang yang memungkinkan terjadinya proses dialektika dan pengembangan ilmu pengetahuan. Kedua, kegiatan pendidikan didasari oleh keterampilan dasar yaitu membaca. Ketiga, proses pendalaman dan mengembangkan pemahaman atas berbagai hasil pembacaan secara interaktif. Secara tekstual bunyi hadits nya adalah saling mempelajari”. Berarti proses pembelajaran tersebut dilakukan dengan melibatkan interaksi antar pihak dalam proses pembelajaran.

Sementara, tempat kegiatan pencarian ilmu pengetahuan adalah mesjid. Secara tekstual penuturan Nabi menyebutnya “sebuah rumah diantara rumah-rumah Allah”. Benarlah, Nabi mengajarkan bahwa ilmu pengetahuan berbanding dengan ibadah. Aktifitas penggalian ilmu pengetahuan dianggap sebagai aktifitas peribadatan yang bernilai luhur. Mesjid selain sebagai ruang aktifitas kegiatan ibadat, juga merupakan ruang aktifitas pencarian ilmu pengetahuan. Dalam pandangan Rasul, ibadah dan ilmu adalah sebuah kesadaran yang dibaca senafas dan terintegrasi.
  
3.      Tujuan Ideal Ilmu

Penuturan Nabi mengenai ilmu pun mengandung tujuan ideal. Tujuan ilmu yang dilansir oleh Nabi dapat dilihat pada kutipan hadits berikut,

Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah bersabda; “Barangsiapa yang mempelajari ilmu pengetahuan yang seharusnya ditujukan hanya untuk mencari ridla Allah kemudian ia tidak mempelajarinya untuk mendaptkan ridla Allah bahkan hanya untuk mendapatkan kedudukan/kekayaan dunia, maka ia tidak akan mendapatkan baunya sorga nanti pada hari kiamat”.

Secara tekstual, tujuan ilmu adalah “mencari keridlaan Allah”. Tujuan tersebut dilawankan dengan tujuan sesaat yang secara tekstual adalah “mendapatkan kedudukan/kekayaan dunia”. Secara pragmatis, tergambar sebuah situasi, bahwasanya dalam tradisi Bangsa Arab pencarian ilmu sudah ada. Hanya saja, pencarian ilmu tersebut hanya didorong oleh sebuah motivasi terbatas, hanya untuk mendapatkan kedudukan/kekayaan tanpa memiliki dimensi ilmu yang ideal. Dalam hal ini, Nabi pun menyadari jika sisi pragmatis dari penguasaan ilmu adalah kekayaan dan kekuasaan. Selain itu, ilmu dapat bermanfaat untuk perubahan status sosial seseorang.

Tujuan ilmu pada kutipan hadits diatas dinisbatkan kepada Allah. Dengan kata lain, tujuan ideal dari ilmu adalah sebuah upaya luhur untuk mengapresiasi atau mengejawantahkan berbagai titah Allah dan memberi kemanfaatan secara luas dalam berbagai dimensi kehidupan, tidak hanya terbatas kepentingan personal saja. Hal tersebut memperkuat anggapan awal bahwa pencarian ilmu itu sejajar dengan berbagai aktifitas peribadatan. Dengan kata lain, ilmu adalah ibadah.

4.      Implikasi Ilmu

Penuturan Nabi mengenai ilmu pengetahuan, menggambarkan implikasi yang sangat luas. Secara personal, ilmu pengetahuan memiliki implikasi totalitas pengabdian kepada Allah. Sebagaimana dapat dipahami pada kutipan hadits berikut,

Dari Abdullah bin Amr ra, bahwasanya Rasulullah bersabda; ... Cukuplah kiranya seseorang iu faham mendalam bila ia telah beribadah kepada Allah, dan cukuplah kiranya seseorang itu dikatakan bodoh bila ia mengagumi pendapatnya sendiri. Diriwayatkan oleh Thabrani.

Selain itu, implikasi ilmu pengetahuan diisayaratkan penuturan Nabi sebagai pola pikir yang terbuka. Kontras pada teks hadits di atas digambarkan jika kebodohan ditandai dengan ketertutupan cara pandang. Sementara kesadaran ilmu akan medorong cara berfikir yang terbuka.

Totalitas penghambaan kepada Allah sebagai motivasi utama pencarian ilmu menuntut keterbukaan cara pandang. Karena ilmu adalah landasan proses perwujudan aktifitas penghambaan. Berbagai “amal” atau “karya” dipandang bermanfaat jika dilandasi ilmu pengetahuan. Sebagaimana kutipan hadits berikut ini,

Amal yang sedikit akan bermanfaat dengan ilmu dan amal yang banyak tidak akan bermanfaat dengan kebodohan”. Diriwayatkan oleh ad-Dailami dalam al-Firdaus dari Anas bin Malik

“Amal” adalah kata yang umum yang membutuhkan penjabaran. “Amal” bergandengan dengan “ilmu” secara integral. Dalam hadits, Amal sebagaimana ilmu tidak dipandang dikotomis, antara “ ilmu dan amal keagamaan” dan “ilmu dan amal keduniaan”. Dalam konteks ini, semua bentuk “amal” atau perbuatan, tanpa terkecuali, haruslah dilandasi oleh ilmu pengetahuan.

Kalian lebih tahu tentang perkara dunia kalian”. Diriwayatkan oleh Muslim.

Barangsiapa telah belajar memanah kemudian ia melupakannya berarti ia telah kufur nikmat”. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, an-Nasa’i, dan al-Hakim.

Muawiyah ra berkata, Rasulullah bersabda; “Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah menjadi orang baik maka ia akan dipandaikan dalam ilmu agama”. Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.

Dalam konteks ini, objek material ilmu dalam hadits menjadi sangat luas dan tidak terbatas. Namun objek material ilmu yang dimaksud dalam hadits dibatasi oleh beberapa implikasi ilmu yang sekaligus merupakan indikator kemanfaat ilmu. Implikasi atau indikator tersebut dapat dipahami pada hadits berikut ini,

Abu Huraira berkata, Rasulullah bersabda; “Barangsiapa yang menghilangkan dari orang suatu kesusahan diantara bermacam-macam kesusahan di Dunia, maka Allah akan menghilangkan darinya suatu kesusahan dari kesusahan-kesusahan kelak pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang membuat kemudahan terhadap orang-orang yang sedang berkesulitan, maka Allah akan mempermudah kepadanya di dunia dan di akhirat. Barangsiapa yang menutup cela orang Islam, maka Allah menutup celanya di dunia dan akhirat. Dan Allah tetap menolong hamba-Nya selama dia mau menolong saudaranya. Barangsiapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah mempermudah baginya jalan menuju syurga. Dan tidaklah segolongan manusia berhimpun pada sebuah rumah diantara rumah-rumah Allah, sedangkan mereka itu membaca kitab Allah dan saling mempelajarinya, melainkan turun atas mereka ketenangan jiwa, dan mereka itupun ditutupi oleh rahmat Allah dan dikelilingi malaikat, serta Allah memuji mereka pada sekumpulan malaikat di sisi-Nya. Barang siapa yang amalnya lengah, maka nasabnya pun tidak akan mempercepat amalnya itu. Diriwayatkan oleh Muslim.

Dari hadits di atas, Nabi mengindikasikan beberapa indikator yang menjadi implikasi dari amal yang dilandasi oleh ilmu pengetahuan,

Pertama: Ilmu itu merupakan solusi atas berbagai problematika yang dihadapi oleh ummat manusia. Secara tekstual hadits berbunyi, “menghilangkan dari orang suatu kesusahan diantara bermacam-macam kesusahan di Dunia”.

Kedua: Ilmu itu merupakan solusi untuk mengatasi kesulitan dalam berbagai persoaalan. Secara tekstual hadits berbunyi “membuat kemudahan terhadap orang-orang yang sedang berkesulitan”.

Ketiga: Ilmu itu sebagai instrumen pemertahanan identitas dan harga diri kaum muslim. Secara tekstual hadits berbunyi “menutup cela orang Islam”.

Keempat: Ilmu itu digunakan untuk kepentingan damai dan menebar kasih sayang antar sesama, tidak untuk permusuhan. Secara tekstual hadits berbunyi, “menolong saudaranya”.

Kelima: Ilmu pengetahuan itu sebagai proses tiada henti dan terus berkesinambungan. Secara tektual hadits berbunyi, “menempuh jalan untuk menuntut ilmu”.


Materi Pendidikan Islam: Sebuah Perspektif Kenabian

Dari berbagai pemaparan di atas dapat disimpulkan, lingkup ilmu atau materi pendidikan dalam prespektif Rasul sangat lah luas. Materi Ilmu yang merupakan bahan ajar pendidikan yang melingkupi seluruh ilmu yang integral tanpa dikotomisasi antara ilmu agama dan ilmu dunia.

Setidaknya ada beberapa prinsip dasar “Formulasi Materi Pendidikan” dasar yang terkuak dari penuturan Rasul, diantaranya,

1.      Ilmu Pengetahuan itu transenden. Kesadaran ilmu pengetahuan mestilah didorong oleh kesadaraan theologis dengan semangat moral yang dibawanya. Sehingga ilmu pengetahuan dengan berbagai aktifitasnya adalah sesuatu yang suci, luhur dan transenden.
2.      Kitab Allah adalah sumber rujukan dalam kegiatan pendidikan atau pencarian ilmu dengan prinsip; Pertama, kegiatan pendidikan dilakukan dengan “berhimpun” dan membentuk sebuah ruang yang memungkinkan terjadinya proses dialektika dan pengembangan ilmu pengetahuan. Kedua, kegiatan pendidikan didasari oleh keterampilan dasar yaitu membaca. Ketiga, proses pendalaman dan mengembangkan pemahaman atas berbagai hasil pembacaan secara interaktif. Dimana, proses pembelajaran tersebut dilakukan dengan melibatkan interaksi antar pihak.
3.      Tujuan ideal ilmu adalah upaya luhur untuk mengapresiasi dan mengejawantahkan berbagai titah Allah yang bertujuan memberi kemanfaatan secara luas dalam berbagai dimensi kehidupan.
4.      Indikator implikatif dari amal yang dilandasi oleh ilmu pengetahuan adalah; Pertama: Ilmu itu merupakan solusi atas berbagai problematika yang dihadapi oleh ummat manusia; Kedua: Ilmu itu merupakan solusi untuk mengatasi kesulitan dalam berbagai persoaalan; Ketiga: Ilmu itu sebagai instrumen pemertahanan identitas dan harga diri kaum muslim; Keempat: Ilmu itu digunakan untuk kepentingan damai dan menebar kasih sayang antar sesama, tidak untuk permusuhan; Kelima: Ilmu pengetahuan itu sebagai proses tiada henti dan terus berkesinambungan.


[1] Nash Hamid Abu Zayd, Tekstualitas al-Qur’an, terj. Khoiron Nahdiyin, (Yogyakarta; LKIS, 2002). hal 1.
[2] Nasr Abu Zayd, Imam Syafi’i: Moderatisme, ekletiksisme, dan Arabisme. (Yogayakarta; LKIS, 1997). hal 28
[3] Ibid hal 28-29
[4] Hassan Hanafi mendefinisikan ilmu ushuluddin sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang digulirkan untuk menetapkan ideology-ideologi religius melalui dalail-dalil ideologis, ilmu ini membangun persepsi. Dilain pihak Hassan Hanafi mendefinisikan ushul Fiqh sebagai ilmu yang menginferensikan nilai-nilai yurisprudensial berdasrakan dalil-dalilnya. Ilmu ini membangun tindakan praksis. Lihat. Hassan Hanafi,  Islamologi 1, (Yogyakarta; LKIS, 2003) hal 1 diambil seperlunya
[5] Yusuf Qardhawi, Sunnah Rasul, Sumber Ilmu Pengetahuan dan Peradaban. ( Jakarta; GIF, 1998). hal. 125
[6] Suhudi Ismail, Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Telaah Ma’ani al-Hadits Tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal. (Jakarta: Bulan Bintang, 1994). Hal. 49
[7] Ibnu Hamzah, 3 Asbaab al-Wurud, Latar belakang historis penurunan hadits. (Jakarta: Kalam Mulia, 2002).  Hal 51
[8] At-Thabari via Engineer, Ashgar Ali, Islam And Liberation Theology, edisi Indonesia oleh Agung Prihantoro, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) h. 42.
[9] Engineer, ..., h. 43.
[10] al-Mubarakfury, Syaikh Syafiyyur-Rahman, Ar-Rahiqul Makhtum, Bahtsun fi as-Sirah an-Nabawiyyah ala Shahibiha Afdhalish-Shalati Was-Salam, edisi Indonesia oleh Kathur Suwardi, Sirah Nabawiyah, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2002) h. 61
[11] Al-Qur’an Surah at-Takwir (81): 8-9.
[12] Al-Qur’an Surah al-An’am (6): 151

1 komentar:

ItsMe mengatakan...

Kalo ingin tahu beberapa hadist tentang ilmu bisa kunjungi artikel "Hadist Tentang Ilmu" di www.blog.pusatsitus.com . Terima Kasih :)