25 Maret 2012

Kontrol Diri dan Disiplin Diri


Oleh : Lutfi A.S

Kontrol Diri

Kontrol Diri diartikan sebagai kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa ke arah konsekuensi positif . Kontrol diri merupakan salah satu potensi yang dapat dikembangkan dan digunakan individu selama proses-proses dalam kehidupan, termasuk dalam menghadapi kondisi yang terdapat di lingkungan yang berada disekitarnya, para ahli berpendapat bahwa kontrol diri dapat digunakan sebagai suatu intervensi yang bersifat preventif selain dapat mereduksi efek-efek psikologis yang negatif dari stressor-stressor lingkungan.

Kontrol diri merupakan suatu kecakapan individu dalam kepekaan membaca situasi diri dan lingkungannya serta kemampuan untuk mengontrol dan mengelola faktor-faktor perilaku sesuai dengan situasi dan kondisi untuk menampilkan diri dalam melakukan sosialisasi kemampuan untuk mengendalikan perilaku, kecenderungan untuk menarik perhatian, keinginan untuk mengubah perilaku agar sesuai untuk orang lain, menyenangkan orang lain, selalu konform dengan orang lain, menutup perasaannya. Calhoun dan Acocella[1] mendefinisikan kontrol diri (self-control) sebagai pengaturan proses-proses fisik, psikologis, dan perilaku seseorang dengan kata lain serangkaian proses yang membentuk dirinya sendiri.  Goldfried dan Merbaum[2], mendefinisikan kontrol diri sebagai suatu kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu ke arah konsekuensi positif. Kontrol diri juga menggambarkan keputusan individu yang melalui pertimbangan kognitif untuk menyatukan perilaku yang telah disusun untuk meningkatkan hasil dan tujuan tertentu seperti yang diinginkan.
Synder dan Gangestad[3] mengatakan bahwa konsep mengenai kontrol diri secara langsung sangat relevan untuk melihat hubungan antara peribadi dengan lingkungan masyarakat dalam mengatur kesan masyarakat yang sesuai dengan isyarat situasional dalam bersikap dan berpendirian yang efektif.
Menurut Mahoney dan Thoresen[4], kontrol diri merupakan jalinan yang secara utuh (integrative) yang dilakukan individu terhadap lingkungannya. Individu dengan kontrol diri tinggi sangat memperhatikan cara-cara yang tepat untuk berperilaku dalam situasi yang bervariasi. Individu cenderung akan mengubah perilakunya sesuai dengan permintaan situasi sosial yang kemudian dapat mengatur kesan yang dibuat perilakunya lebih responsif terhadap petunjuk situasional, lebih fleksibel, berusaha untuk memperlancar interaksi sosial, bersikap hangat dan terbuka.  Berinteraksi dengan orang lain, seseorang akan berusaha menampilkan perilaku yang dianggap paling tepat bagi dirinya yaitu perilaku yang dapat menyelamatkan interaksinya dari akibat negatif yang disebabkan karena respon yang dilakukannya. Kontrol diri diperlukan guna membantu individu dalam mengatasi kemampuanya yang terbatas dan membantu individu dalam mengatasi berbagai hal merugikan yang mungkin terjadi yang berasal dari luar[5].
Calhoun dan Acocella[6], mengemukakan dua alasan yang mengaruskan individu untuk mengontrol diri secara kontinyu. Pertama, Individu hidup bersama kelompok sehingga dalam memuaskan keinginannya individu harus mengontrol perilakunya agar tidak mengganggu kenyamanan orang lain. Kedua, Masyarakat mendorong individu untuk secara konstan menyusun standar yang lebih baik bagi dirinya, sehingga dalam rangka memenuhi tuntutan tersebut dibuatkan pengontrolan diri agar dalam proses pencapaian standar tersebut individu tidak melakukan hal-hal yang menyimpang.
Kontrol diri berkaitan dengan bagaimana individu mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan dari dalam dirinya[7]. Menurut konsep ilmiah pengendalian emosi berarti mengarahkan energi emosi ke saluran ekspresi yang bermanfaat dan dapat di terima secara sosial. Memang konsep ilmiah menitik beratkan pada pengendalian, tetapi tidak sama artinya dengan penekanan. Mengontrol emosi berarti mendekati suatu situasi dengan menggunakan sikap yang rasional untuk merespon situasi tersebut dan mencegah munculnya reaksi yang berlebihan.[8].  Ada dua kriteria yang menentukan apakah kontrol emosi dapat diterima secara sosial atau tidak kontrol emosi dapat diterima bila reaksi masyarakat terhadap pengendalian emosi adalah positif. Namun reaksi positif saja tidaklah cukup karenanya perlu diperhatikan kriteria lain, yaitu efek yang muncul setelah mengontrol emosi terhadap kondisi fisik dan praktis, kontrol emosi seharusnya tidak membahayakan fisik, dan psikis individu. Artinya dengan mengontrol emosi kondisi fisik dan psikis individu harus membaik.
Hurlock[9] menyebutkan tiga kriteria emosi yang masuk sebagai berikut:
a.       Dapat melakukan kontrol diri yang bisa di terima secara sosial.
b.      Dapat memahami seberapa banyak kontrol yang dibutuhkan untuk memuaskan kebutuhannya dan sesuai dengan harapan masyarakat.
c.       Dapat menilai situasi secara kritis sebelum meresponnya dan memutuskan cara beraksi terhadap situasi tersebut.
Dalam kontrol diri individu sendiri yang menyusun standar bagi kinerjanya dan menghargai atau menghukum dirinya bila berhasil atau tidak berhasil mencapai standar tersebut. dalam kontrol eksternal orang lainlah yang menyusun standar dan memberi ganjaran atau hukum. Tidak mengerankan bila kontrol diri dianggap sebagai suatu ketrampilan berharga[10].
Shaw dan Constanzo[11] mengemukakan bahwa dalam mengatur kesan ada beberapa elemen penting yang harus diperhatikan yaitu konsep diri dan identitas sosial. Asumsi dalam teori membentuk kesan bahwa seseorang termotivasi untuk membuat dan memelihara harga diri setinggi mungkin, sehingga seseorang harus berusaha mengatur kesan diri, sedemikian rupa untuk menampilkan identitas sosial yang positif. Dengan cara memantau dan mengatur suatu identitas dalam penampilannya terhadap orang lain. Ini berarti untuk dapat mengatur kesan seseorang harus memiliki konsep diri terlebih dahulu, selanjutnya dapat menampilkan dirinya sesuai dengan situasi interaksi sosial sehingga terbentuk identitas sosialnya.
Motivasi individu untuk mengatur kesan akan menguat apabila berada dalam situasi yang melibatkan tujuan-tujuan penting, seperti mengharapkan persetujuan atau imbalan materi, juga apabila individu merasa tergantung kepada orang lain yang berkuasa untuk mengatur dirinya. Kondisi-kondisi seperti itu merupakan kondisi penekanan (Pressure Condition) bagi individu, sehingga individu cenderung akan mengatur tingkah lakunya agar memberi kesan positif.[12]
Berdasarkan penjelasan di atas, maka kontrol diri dapat diartikan sebagai suatu aktivitas pengendalian tingkah laku, pengendalian tingkah laku mengandung makna yaitu melakukan pertimbangan-pertimbangan terlebih dahulu sebelum memutuskan sesuatu untuk bertindak. Semakin tinggi kontrol diri semakin intens pengendalian terhadap tingkah laku.

B. Perkembangan Kontrol Diri

Vasta[13]  mengungkapkan bahwa perilaku anak pertama kali dikendalikan oleh kekuatan eksternal. Secara perlahan-lahan kontrol eksternal tersebut diinternalisasikan menjadi kontrol internal. Salah satu menginternalisasikan kontrol dengan melalui kondisioning klasikal. Menurut Calhoun dan Acocella[14] langkah penting dalam perkembangan bayi adalah proses belajar melalui kondisioning klasikal. Orang tua mempunyai nilai yang tinggi karena bayi secara instingtif mengasosiasikan orang tuanya sebagai stimulus yang menyenangkan seperti makanan, kehangatan dan pengasuhan. Menurutnya bayi mempunyai kontrol terhadap perilakunya yang bersifat refleks, segera setelah dilahirkan, misalnya bayi secara refleks memejamkan mata sebagai respon terhadap cahaya yang terang.
Pada akhir tahun pertama bayi mengalami kemajuan dalam hal kontrol diri. Bayi mulai memenuhi perintah dari orang tuanya untuk menghentikan perilakunya. Perilaku bayi yang mulai mematuhi perintah merupakan suatu langkah maju dalam perkembangan kontrol diri. Bayi memodifikasi perilakunya sebagai respon terhadap perintah. Antara usia 18-24 bulan muncul true self control pada anak. Pada usia 24 bulan anak akan melakukan apa yang dilakukan oleh orang tuanya.  Kontrol diri akan muncul pada tahun ketiga ketika anak sudah mulai menolak segala sesuatu yang dilakukan untuknya dan menyatakan keinginannya untuk melakukan sendiri. Kontrol eksternal pada awalnya didapatkan anak melalui instruksi verbal dari orang tuanya.  Pada usia ini dilakukannya sendiri dengan meniru perintah yang sama untuk dirinya sendiri. Anak akan menginternalisasikan kontrol mengarahkan perilakunya dengan diam-diam melalui pikiran, tanpa banyak bicara. Oleh karena itu kontrol verbal terhadap perilaku anak yang awalnya berasal dari kekuatan eksternal menjadi berasal dari dirinya sendiri.  Setelah tiga tahun kontrol diri menjadi lebih terperinci dari pengalaman. Anak mengembangkan strategi untuk menekan godaan yang dialaminya setiap hari. Mereka harus belajar menolak gangguan sewaktu melakukan pekerjaan dan menunda hadiah langsung yang menarik untuk memperoleh hadiah lebih besar atau lebih penting belakangan[15].
Menurut Calhoun dan Acocella[16] kedudukan orang tua bernilai tinggi sehingga persetujuan dan ketidaksetujuan secara emosional memberikan ganjaran dan hukuman bagi anak. Oleh karena itu persetujuan atau ketidakpersetujuan orang tua mempunyai kekuatan untuk membujuk anak menunda kepuasan segera untuk kepentingan yang lebih besar yaitu ganjaran jangka panjang. Bahwa kontrol diri dilakukan guna mengurangi perilaku berlebihan yang dapat memberikan kepuasan dengan segera.
Delay gratification procedur, istilah yang diberikan Bernhard[17]  pada suatu prosedur yang digunakan oleh anak ketika dihadapkan pada dua perilaku yang sama-sama memberikan ganjaran. Anak belajar menunda kepuasan dengan melewatkan segera yang lebih kecil dan memutuskan untuk menunggu ganjaran yang lebih besar.  Pada usia empat tahun kontrol diri menjadi sifat kepribadian dengan nilai prediksi jangka panjang. Anak usia empat tahun yang dapat menunda kepuasan, pada usia empat belas tahun akan lebih lancar berbicara, lebih percaya diri, lebih mampu mengatasi frustasi dan lebih mampu menahan godaan.  Kemampuan mengontrol diri berkembang seiring dengan bertambahnya usia. Salah satu tugas perkembangan yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok darinya dan kemudian mau membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa harus dibimbing, diawasi, didorong dan diancam seperti hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak.
Pada remaja kemampuan mengontrol diri berkembang seiring dengan kematangan emosi. Remaja dikatakan sudah mencapai kematangan emosi bila pada akhir masa remajanya tidak meledak emosinya dihadapan orang lain, melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih diterima.  Beradasarkan teori Piaget, remaja telah mencapai tahap pelaksanaan formal dalam kemampuan kognitif  oleh karenanya remaja mampu mempertimbangkan suatu kemungkinan untuk menyelesaikan suatu masalah dan mempertanggungjawabkannya.[18] Ketika seorang individu mulai memasuki masa dewasa akan mampu menjadi individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat[19].

C. Jenis dan Aspek Kontrol Diri

Menurut Averill[20], kontrol diri terdiri dariu beberapa jenis, yaitu kontrol perilaku (behavior control), kontrol kognitif (cognitive control) dan mengontrol keputusan (decesional control).
a.  Behavioral
Merupakan kesiapan tersedianya suatu respon yang dapat secara langsung mempengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan. Kemampuan mengontrol perilaku ini diperinci menjadi dua komponen, yaitu mengatur pelaksanaan (regulated administration) dan kemampuan memodifikasi stimulus (stimulus modifiability).  Kemampuan mengatur pelaksanaan merupakan kemampuan individu untuk menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan, dirinya sendiri atau aturan perilaku dengan menggunakan kemampuan dirinya dan bila tidak mampu individu akan menggunakan sumber eksternal, kemampuan mengatur stimulus merupakan kemampuan untuk mengetahui bagaimana dan kapan suatu stimulus yang tidak dikehendaki dihadapi.  Ada beberapa cara yang dapat digunakan, yaitu mencegah atau menjauhi stimulus, menempatkan tenggang waktu di antara rangkaian stimulus yang sedang berlangsung, menghentikan stimulus sebelum waktunya berakhir dan membatasi intensitasnya.[21]
b.  Cognitive control
Merupakan kemampuan individu dalam mengolah informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterprestasi, menilai, atau menghubungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis atau mengurangi tekanan. Aspek ini terdiri atas dua komponen, yaitu memperoleh informasi (information gain) dan melakukan penilaian (appraisal). Dengan informasi yang dimiliki oleh individu mengenai suatu keadaan yang tidak menyenangkan, individu dapat mengantisipasi keadaan tersebut dengan berbagai pertimbangan.  Melakukan penilaian berarti individu berusaha menilai dan menafsirkan suatu keadaan atau peristiwa dengan cara memperhatikan segi-segi positif secara subyektif.[22]
c.  Decisional control
Merupakan kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya, kontrol diri dalam menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya suatu kesempatan, kebebasan atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih berbagai kemungkinan tindakan.[23]
Dari uraian dan penjelasan di atas, maka untuk mengukur kontrol diri digunakan aspek-aspek atau dimensi-dimensi sebagai berikut:
a.       Kemampuan mengontrol perilaku
b.      Kemampuan mengontrol stimulus
c.       Kemampuan mengantisipasi suatu peristiwa atau kejadian
d.      Kemampuan menafsirkan peristiwa atau kejadian
e.       Kemampuan mengambil keputusan

D. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kontrol Diri

Sebagaimana faktor psikologis lainnya kontrol diri dipengaruhi oleh beberapa faktor. Secara garis besarnya faktor-faktor yang memepengaruhi kontrol diri ini terdiri dari faktor internal (dari diri individu), dan faktor eksternal (lingkungan individu).

a. Faktor internal

Faktor internal yang ikut andil terhadap kontrol diri adalah usia.  Semakin bertambah usia seseorang maka, semakin baik kemampuan mengontrol diri seseorang itu[24].

b. Faktor eksternal

Faktor eksternal ini diantaranya adalah lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga terutama orangtua menentukan bagaimana kemampuan mengontrol diri seseorang. Hasil penelitian Nasichah menunjukkan bahwa persepsi remaja terhadap penerapan disiplin orangtua yang semakin demokratis cenderung diikuti tingginya kemampuan mengontrol dirinya. Demikian ini maka, bila orangtua menerapkan disiplin kepada anaknya sikap disiplin secara intens sejak dini, dan orangtua tetap konsisten terhadap semua konsekuensi yang dilakukan anak bila ia menyimpang dari yang sudah ditetapkan, maka sikap konsisten ini akan diinternalisasi oleh anak dan kemudia akan menjadi kontrol diri baginya.[25]
E. Pengertian Disiplin
Disiplin berasal dari kata latin disciple yang berarti mengajar atau memberi instruksi[26]. Pada bagian lain Hurlock juga mengartikan disiplin sebagai cara masyarakat mengajar anak tingkah laku moral yang dihargai kelompok.[27]
Dengan demikian disiplin adalah latihan untuk menumbuhkan kendali diri, karakter atau keteraturan, dan efisiensi. Sedangkan Bernhard[28] berpendapat bahwa disiplin merupakan latihan, bukan pengkoreksian, bimbingan bukan hukuman, mengatur kondisi untuk belajar bukan hanya pembiasaan.  Penjelasan yang berbeda diberikan oleh Meier dan Wichern[29], yang mengatakan bahwa disiplin merupakan cara menetapkan pembatasan-pembatasan sebagai suatu demonstrasi kasih sayang.  Penjelasan ini cukup unik, karena menyebutkan kasih sayang sebagai menyangkut latihan untuk melakukan tingkah laku tertentu dan tidak melakukan tingkah laku lainnya.
Narramore[30] mengemukakan pengertian disiplin, yakni stress yang sengaja diciptakan dalam hubungan orang tua-anak untuk membantu anak belajar dan tumbuh, Disiplin menempatkan anak dalam tugas latihan dan pengukuhan, serta membantu mereka mencapai proses kematangan.
Disiplin adalah merupakan pelaksanaan tata tertib keluarga yang pembentukannya dilakukan oleh orang tua dan ditujukan kepada anakanaknya, sedangkan yang dimaksud tertib dalam pelaksanaan tata tertib menurut Djaka adalah:
a.       Jika segala-galanya terjadi pada waktunya
b.      Jika segala-galanya pada tempatnya
c.       Jika segala-galanya menurut aturan yang tertentu.[31]
Sementara itu Perquin[32] berpendapat, bahwa hanya segala-galanya di selenggarakan dalam waktu yang sudah dipastikan, akan tetapi tiap-tiap benda dan rumah juga mempunyai tempat sendiri-sendiri. Lebih penting lagi ialah adanya aturan ketertiban menghargai di antara anggota keluarga dan menghargai orang lain.  Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa disiplin adalah tindakan atau perbuatan yang berupa bimbingan ke arah tertib, yaitu:
a.       Displin dalam hubungannya dengan waktu, misalnya yang berhubungan dengan masalah: (1) belajar, (2) tidur, (3) makan, (4) bermain, (5) bepergian, (6) kegiatan sehari-hari lainnya.
b.      Disiplin yang ada hubungannya dengan tempat, misalnya yang berhubungan dengan masalah: (1) belajar, (2) makan, (3) tidur, (4) meletakkan benda-benda pada tempatnya, (5) bermain.
c.       Disiplin yang ada hubungannya dengan kesusilaan, norma-norma masyarakat dan agama, misalnya yang berhubungan dengan masalah: (1) pakaian atau cara berpakaian, (2) orang tua, saudara, teman49 temannya dan orang lain, (3) cara berbicara dan perbuatan lainnya, (4) cara makan, (5) meninggalkan rumah, (6) pekerjaan dan kebiasaan sehari-hari, dan (7) ibadah.
F. Fungsi Disiplin dan Penerapannya
Anak didik sebagai tunas harapan bangsa diharapkan dapat memperlihatkan tingkah laku yang sesuai dengan keharusan dan batasbatas yang digariskan lingkungan hidupnya. Bila ia adalah seorang pelajar maka, ia diharapkan juga mematuhi perilaku yang mengarah pada batasbatas yang telah digariskan sebagai seorang pelajar. Disiplin belajar adalah aksentuasi perilaku bagi pelajar.
Menurut Gunarsa[33], bahwa disiplin berfungsi membentuk tingkah laku demikian, sehingga mengakar menjadi kebiasaan dan tidak lagi dirasa menekan atau menimbulkan ketegangan. Bila remaja telah memiliki tingkah laku demikian berarti pada dirinya telah tumbuh kontrol diri dan suasana hati yang mengarahkannya sehingga dapat membuat keputusan yang bijaksana.  Hurlock[34] mengemukakan fungsi utama disiplin bagi remaja yaitu mengajar remaja menyesuaikan diri dengan harapan sosial berdasarkan alasan dapat disetujui. Dua fungsi lainnya yang merupakan fungsi tambahan, yaitu mengajarkan pada remaja bahwa perilakunya akan direspon dan mendapatkan konsekuensi tertentu oleh dunia dengan pemberian hukuman untuk perilaku yang dinilai negatif dan penghargaan (hadiah) untuk perilaku yang dinilai positif. Bahwa disiplin bagi remaja dapat membantu kontrol diri dan petunjuk diri sehingga remaja dapat membuat keputusan yang tepat.
Disiplin dirasakan remaja sebagai kebutuhan khusus, terutama untuk membimbing perilaku yang tidak didapatkan pada pengalaman di masa kanak-kanak, yaitu perilaku dalam hubungannya dengan sesama. Disiplin diharapkan menjadi pembimbing perilaku remaja dalam menghadapi pengalaman yang baru yang tidak didapatkannya di masa yang lalu.
Dengan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi disiplin bagi remaja adalah mengajar remaja menyesuaikan diri dengan harapan sosial berdasarkan alasan yang dapat disetujui, membantu remaja mengembangkan kontrol diri dan arahan diri, sehingga remaja dapat mengambil keputusan dengan tepat dan mengajarkan pada remaja bahwa perilaku akan direspon oleh dunia dengan pemberian hukuman untuk perilaku yang dinilai negatif dan penghargaan untuk perilaku yang dinilai positif.
Ada tiga metode penerapan disiplin dari lembaga pendidikan kepada anak didik, yaitu outhoritarian (otoriter), democratic dan permissive[35] (Hurlock, 1973).
a. Disiplin outhoritarian (otoriter)
Disiplin ini selalu berarti mengendalikan melalui kekuatan eksternal dalam bentuk hukuman terutama hukuman badan.  Disiplin otoriter mempunyai ciri-ciri; (a) orangtua menentukan apa yang perlu diperbuat oleh anak, tanpa memberikan penjelasan tentang alasannya, (b) apabila anak melanggar ketentuan yang telah digariskan anak tidak diberi kesempatan untuk memberikan alasan atau penjelasan sebelum hukuman diterima anak, (c) pada umumnya hukuman berujud hukuman badan (corporal) dan (d) orangtua tidak atau jarang memberikan hadiah baik yang berwujud kata-kata ataupun bentuk lain apabila anak berbuat sesuai dengan harapan orangtua[36] (Hurlock, 1973)
b. Disiplin demokratis
Metode demokratis menekankan penggunaan penjelasan, diskusi dan penalaran untuk membantu anak mengerti mengapa prilaku tertentu diharapkan. Metode ini lebih menekankan aspek edukatif dari disiplin dari pada aspek hukumannya. Disiplin ini mempunyai ciri-ciri; (a) apabila anak harus melakukan sesuatu aktivitas, orangtua memberikan penjelasan alasan perlunya hal tersebut dilaksanakan, (b) anak diberi kesempatan untuk memberikan alasan mengapa ketentuan itu dilanggar, sebelum menerima hukuman, (c) hukuman diberikan berkaitan dengan perbuatannya dan berat ringannya hukuman tergantung kepada pelanggarannya, dan (d) hadiah atau pujian diberikan oleh orang tua untuk prilaku yang diharapkan.[37]
Disiplin permissive. Disiplin permisif sebetulnya berarti sedikit disiplin atau tidak berdisiplin. Biasanya disiplin permisif tidak membimbing anak ke pola prilaku yang yang disetujui secara sosial dan tidak menggunakan hukuman. Lebih lanjut Hurlock berpendapat bahwa disiplin permisif mempunyai ciri-ciri: (a) tidak ada aturan yang diberikan oleh orang tua, anak diperkenankan berbuat sesuai dengan apa yang dipikirkan anak; (b) tidak ada hukuman, karena tidak ada ketentuan atau peraturan yang dilanggar; (c) ada anggapan bahwa anak akan belajar dari akibat tindakannya yang sudah; dan (d) tidak ada hadiah karena social approval akan menjadi hadiah yang memuaskan.[38]
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ada tiga metode penerapan disiplin yang dipakai orang tua pada remaja, yaitu otoriter, demokratis dan permissive.


[1] Calhoun, J.F. Acocella, J.R.. Psychology of Adjustment and Human Relationship. New York: McGraw-Hill, Inc., 1990, hal. 21
[2] Lazarus, R.S.  Paterns of Adjusment, Tokyo: McGraw-Hill, Kogakusha, Ltd., 1976, hal. 37
[3] Snyder, M. and Gangested S. On the Nature of Self Monitoring: Matters of Assesment, Matters of Validity, Journal of Personality and social Psychology, 1986, hal.  125-133
[4] Michael, J. Mahoney and Carl E. Thoresen, Behavioral Self Control: Power to the Person, dalam Roberts, T.B. (ed). Four Psychologies Applied toEducation, New York: John Wlley and Sons, 1975, hal. 231
[5] Kazdin, A.E. Behavior Modification: In applied Setting. Monterey, California: Cole Publishing Comp., 1994, hal. 123
[6] Calhoun, J.F. Acocella, J.R., op-cit, hal. 29
[7] Hurlock, E.B., Adolecent Development, Tokyo: McGraw-Hill, Kogakusha, Ltd., 1973, hal. 78
[8] Elfida, D. Hubungan Kemampuan mengontrol diri dan Kecenderungan berprilaku Delikuen pada Remaja. Skripsi (tidak diterbitkan), Yogyakarta: Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada. 1995.
[9] Hurlock, E.B., op-cit., hal. 79
[10] Calhoun, J.F. Acocella, J.R., op-cit, hal. 35
[11] Herlina Siwi, W. Hubungan Kontrol Diri dengan Kecenderungan Kecanduan Internet, Laporan Penelitian (tidak diterbitkan), Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. 2000.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Calhoun, J.F. Acocella, J.R., op-cit, hal. 39
[15] Mussen, P.H., Conger, J.J., Kagan, J. Huston, A, Child Development and Personality (Seveth Edition). New York: Harper & Row Publishers, 1990, hal. 321
[16] Calhoun, J.F. Acocella, J.R., op-cit, hal. 45
[17] Bernhard, K.S. Discipline and Child Guidance. New York: McGraw-Hill Book Company, 1964, hal. 57
[18] Hurlock, E.B. Child Development. 2nd ed. Singapore: McGraw-Hill, Inc., 1984, hal. 47
[19] Ibid.
[20] Herlina Siwi, W., op-cit, hal. 78.
[21] Ibid.
[22] Ibid, hal. 78
[23] Ibid, hal. 79
[24] Walgito, B. Pengantar Psikologi Umum, Edisi Revisi, Cetakan keempat, Yogyakarta: Andi Offset, 1994, hal. 78
[25] Nasichah, U. Hubungan Persepsi Remaja Terhadap Penerapan Disiplin Orangtua dengan Kontrol Diri, Laporan Penelitian (tidak diterbitkan), Yogyakarta; Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, 2001, hal. 187.
[26] Hurlock, op-cit, hl. 172
[27] Ibid, hal. 173
[28] Bernhard, op-cit, hal. 175
[29] Elia, H. Persepsi Remaja Mengenai Keajegan Pemberian Disiplin Orang Tua Dengan Penyesuaian Diri Pada Remaja, hasil penelitian (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, 1987, hal. 120
[30] Ibid, hal. 125
[31] Pudjono, M. Perbedaan Persepsi Remaja Terhadap Disiplin Orang Tua. Laporan Penelitian (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, 1986, hal. 35
[32] Pudjono, op-cit, hal. 37
[33] Gunarsa, S.D., dan Gunarsa, Y.S.D. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Cet. 2. Jakarta: Penerbit PT. Multindo Auto Finance. BPK. Gunung Mulia, 1985, hal. 77
[34] Hurlock, op-cit, hal. 71
[35] Ibid, hal. 78-79
[36] Ibid, hal. 80
[37] Ibid.
[38] Ibid, hal. 87

Tidak ada komentar: