25 Maret 2012

Sekilas tentang Motivasi Berprestasi

Oleh : Lutfi A.S

Dalam hidup ini setiap orang pastilah memiliki tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Mereka yang sekolah mmemiliki target agar dapat nilai baik dan lulus dengan baik pula, mereka yang berusaha juga memiliki target agar usahanya lancar dan menghasilkan keuntungan, mereka yang bekerja berharap dapat menempati posisi strategis dan mendapatkan gaji yang memadai, dan mereka yang terjun di dunia politik memiliki keinginan menduduki jabatan-jabatan tertentu yang berimbas naiknya pamor mereka di mata masyarakat.
 Semuanya itu merupakan hal yang biasa kita jumpai.  Namun terkadang kita melihat ada orang-orang yang bisa berhasil dalam tempo yang tidak terlalu lama, ada pula mereka yang justru belum bisa mengubah nasib mereka. Banyak variabel memang yang bisa menentukan hal semua itu. di antara variabel itu adalah berkitan dengan motivasi individu.

Teori-teori tentang motivasi banyak dipelajari dalam ranah studi psikologi dan manajemen. Teori ini berkaitan dengan perilaku individu, dan kedua ranah studi tersebut memang berkaitan dengan perilaku individu. Salah satu tokoh yang cukup dikenal adalah Abraham Maslow. Beliau adalah pionir dari aliran psikologi humanistik. Teorinya yang cukup terkenal adalah mengenai Theory of Hierarchy Needs

Dia berargumen bahwa seseorang tidak akan mencapai tingkat kebutuhan yang lebih tinggi sebelum tercapai kebutuhan yang di bawahnya. Misalnya, seseorang akan sulit mendapatkan kebutuhan akan cinta kalau kebutuhan fisiologisnya belum tercapai. Begitu seterusnya hingga sampai kebutuhan aktualisasi diri. Namun dalam penelitian selanjutnya ternyata ada individu yang tidak begitu saja harus membutuhkan kebutuhan di bawahnya sebelum meraih kebutuhan yang di atasnya. Penelitian mengenai peak-experience terhadap orang-orang yang memiliki pengalaman spiritual seperti Mahatma Gandhi, Bunda Theresa, yang kemudian memfalsifikasi teori tersebut. Orang-orang semacam Gandhi atau Theresa yang langsung mencapai tingkat aktulaisasi diri tanpa melalui strata kebutuhan yang di bawahnya. 

Lalu sebenarnya apa sih motivasi itu? Secara sederhana motivasi dapat diartikan sebagai dorongan. Secara teknis istilah motivasi dalam psikologi diartikan sebagai berikut:
  • seluruh proses gerakan, termasuk situasi yang mednorong timbulnya kekuatan pada diri individu; sikap yang dipengaruhi untuk pencapaian suatu tujuan (Wulyo, 1990);
  • suatu variabel yang ikut campur tangan yang digunakan untuk menimbulkan faktor-faktor tertentu di dalam organisme, yang membangkitkan, mengelola, mempertahankan, dan menyalurkan tingkah laku menuju satu sasaran (J.P. Chaplin, 2001).
  • suatu kekuatan yang mendorong atau menarik  yang tercermin dalam tingkah laku yang konsisiten menuju tujuan tertentu (Lusi, 1996).

Sementara motivasi berprestasi (achievement motivation) merupakan teori yang dikenalkan oleh David McClelland. Dasar teorinya tetap berdasarkan teori kebutuhan Maslow, namun ia mencoba mengkristalisasinya menjadi tiga kebutuhan:
  • Need for Power (nPow)
  • Need for Affiliation (nAff)
  • Need for Achievement (nAch)

Dalam membangun teorinya ini ia mengajukan teori kebutuhan motivasi yang dipelajari yang erat hubunganya dengan konsep belajar. Ia percaya bahwa banyak kebutuhan yang didapatkan dari kebudayaan suatu masyarakat. Untuk melihat motivasi berprestasi ini ia menggunakan metode pengetesan dengan tes TAT (Thematic Apperception Test). Tes ini merupakan tes proyektif yang menggunakan analisa terhadap seseorang dari gambar-gambar untuk mengetahui perbedan individual (Gibson, et.al., 1996). Tes ini dikembangkan oleh seorang psikolog Henry Murray  dari klinik Psikologi Harvard, AS tahun 1943 (Groth-Marnat, 1984).

Dari penelitian yang dilakukan McClelland ini kemudian dihasilkan profil orang-orang yang memiliki kebutuhan berprestasi (nAch):
  • Orang dengan nAch tinggi memilih untuk mengindari tujuan prestasi yang mudah dan sulit. Mereka sebenarnya memilih tujuan yang moderat yang mereka pikir akan mampu mereka raih.
  • Orang dengan nAch tinggi memilih umpan balik lansung dan dapat diandalkan mengenai bagaimana mereka berprestasi.
  • Orang dengn nAch tinggi menyukai tanggung jawab pemecahan masalah.
  Adversity Quotient: Paradigma Baru Menghadapi Tantangan
Pada kesempatan ini saya akan menambahkan sekelumit tentang sebuah pendekatan baru dalam melihat, mengukur, dan meramalkan kesuksesan seseorang. Pendekatan teoritis ini disebut adversity quotient (AQ) yang dikembangkan pertama kali oleh Paul G. Stoltz.· Ia beranggapan bahwa IQ dan EQ yang sedang marak dibicarakan itu tidaklah cukup dalam meramalkan kesuksesan orang. Stoltz mengelompokkan individu menjadi tiga: quitter, camper, dan climber.

Pengunaan istilah ini memang berdasarkan pada sebuah kisah ketika para pendaki gunung yang hendak menaklukan puncak Everest. Ia melihat ada pendaki yang menyerah sebelum pendakian selesai, ada yang merasa cukup puas sampai pada ketinggian tertentu, dan ada pula yang benar-benar berkeinginan menaklukan puncak tersebut. Itulah kemudian dia mengistilahkan orang yang berhenti di tengah jalan sebelum usai sebagai quitter, kemudian mereka yang merasa puas berada pada posisi tertentu sebagai camper, sedangkan yang terus ingin meraih kesuksesan ia sebut sebagai climber.

Teori ini sebenarnya tetap melihat pada motivasi individu. Mereka yang berjiwa quitter cenderung akan mati di tengah jalan ketika pesaingnya terus berlari tanpa henti. Sementara mereka yang berjiwa camper merasa cukup puas berada atau telah mencapai sebuah target tertentu, meskipun tujuan yang hendak dicapai masih panjang. Dan mereka yang berjiwa climber akan terus pantang mundur menghadapi hambatan yang ada di hadapannya. Ia anggap itu sebagai sebuah tantangan dan peluang untuk meraih hal yang lebih tinggi yang belum diraih orang lain.

Profil Quitter, Camper, dan Climber
Tabel I

Profil
Ciri, Deskripsi dan Karakteristik
Quitter
§  Menolak untuk mendaki lebih tinggi lagi
§  Gaya hidupnya tidak menyenangkan atau datar dan “tidak lengkap”
§  Bekerja sekedar cukup untuk hidup
§  Cenderung menghindari tantangan berat yang muncul dari komitmen  yang sesunguhnya
§  Jarang sekali memiliki persahabatan yang sejati
§  Dalam menghadapi perubahan mereka cenderung melawan atau lari dan cenderung menolak dan manyabot perubahan

§  Terampil menggunakan kata-kata yang sifatnya membatasi, seperti “tidak mau”, “mustahil”, “ini konyol”, dsb.

§  Kemampuannya kecil atau bahkan tidak ada sama sekali; mereka tidak memiliki visi dan keyakinan akan masa depan, kontribusinya sangat kecil
Camper
§  Mereka mau untuk mendaki, meskipun akan “berhenti” di pos tertentu, dan merasa cukup sampai disitu.
§  Mereka merasa cukup puas telah mencapai suatu tahapan tertentu (satis-ficer)
§  Masih memiliki sejumlah inisiatif, sedikit semangat, dan beberapa usaha
§  Mengorbankan kemampuan individunya untuk mendapatkan kepuasan, dan mampu membina hubungan dengan para camper lainnya.
§  Menahan diri terhadap perubahan, meskipun kadang tidak menyukai perubahan besar karena mereka merasa nyaman dengan kondisi yang ada
§  Mereka menggunakan bahasa dan kata-kata yang kompromistis, misalnya, “Ini cukup bagus,” atau “Kita cukuplah sampai sini saja”
§  Prestasi mereka tidak tinggi, dan kontribusinya tidak besar juga
§  Meskipun telah melalui berbagai rintangan, namun mereka akan berhenti juga pada suatu tempat dan mereka “berkemah” di situ
Climber
§  Mereka membaktikan dirinya untuk terus “mendaki”, mereka adalah pemikir yang selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan
§  Hidupnya “lengkap” karena telah melewati dan mengalami semua tahapan sebelumnya. Mereka menyadari bahwa akan banyak imbalan yang diperoleh dalam jangka panjang melalui “langkah-langkah kecil” yang sedang dilewatinya
§  Menyambut baik tantangan, memotivasi diri, memiliki semangat tinggi, dan berjuang mendapatkan yang terbaik dari hidup; mereka cenderung membuat segala sesuatu terwujud
§  Tidak takut menjelajahi potensi-potensi tanpa batas yang ada di antara dua manusia; memahami dan menyambut baik risiko menyakitkan yang diimbulkan karena bersedia menerima kritik
§  Meyambut baik setiap perubahan, bahkan ikut mendorong perubahan tersebut ke arah yang positif
§  Bahasa yang digunakan adalah bahasa dan kata-kata yang penuh dengan kemungkinan-kemungkinan; mereka berbicara tentang apa yang bisa dikerjakan dan cara mengerjakannya; mereka berbicara tentang tindakan, dan tidak sabar dengan kata-kata yang tidak didukung dengan perbuatan
§  Memberikan kontribusi yang cukup besar karena bisa mewujudkan potensi yang ada pada dirinya
§  Mereka tidak asing dengan situasi yang sulit karena kesulitan merupakan bagian dari hidup
Diadaptasi dari Adversity Quotient: Mengubah Hambatan Menjadi Peluang, h. 18-37

Gambaran di atas, secara kualitatif, bisa dijadikan sebuah bentuk komparasi terhadap teori motivasi berprestasi McClelland. Sebenarnya teori McClelland ini sudah jarang digunakan seiring dengan munculnya  temuan-temuan dan inovasi-inovasi baru dalam ilmu pengetahuan. Sepengetahuan saya teori motivasi berprestasi booming sekitar tahun 80-an dan medio 90-an di Indonesia. Setelah itu teori ini kemudian jarang digunakan dalam pelatihan-pelatihan. Teori ini memang cenderung individualistik, sementara untuk pekerjaan yang dibutuhkan kerja sama tim diperlukan formula lain. Maka muncullah team building yang biasanya dalam bentuk outdoor atau outbond training. Semoga bermanfaat.


Referensi
Chaplin, J.P., Kamus Lengkap Psikologi, (terj. Kartini Kartono, Jakarta: Rajawali Press, 2001)
Gibson, Ivancevich, and Donelly, Organisasi: Perilaku, Struktur, Proses, (Jakarta: Binarupa Aksara, 1996)
Groth-Marnat, Gary, Handbook of Psychological Assessment, (New York: Van Nostrand Reinhold Co. 1984)
Stoltz, Paul G., Ph.D., Adversity Quotient: Mengubah Hambatan Menjadi Peluang, (Jakarta: Grasindo, 2000)
Wulyo, Drs., Kamus Psikologi, (Jawa Timur: Bintang Pelajar, 1990)
 

· Stoltz merupakan seorang ahli komunikasi dan organisasi. Bukunya dengan judul Adversity Quotient: Turning Obstacles Into Opportunities (1997). Pelatihannya tentang AQ ini dianggap cukup baik dalam memelesatkan motivasi untuk meraih kesuksesan. Dalam edisi Indonesia buku ini terbit dengan judul Adversity Quotient: Mengubah Hambatan Menjadi Peluang (Jakarta: Grasindo, 2000).

Tidak ada komentar: